Pertama kali saya tahu tentang tanaman bernama anggrek adalah saat di
sekolah dasar, kala itu di sepanjang jalan desa dari Ngawi menuju ke Paron,
banyak sekali jajaran pohon asam yang usianya sudah puluhan tahun. Pohon-pohon
asam ini memiliki batang kekar, dengan diameter besar, tubuhnya pendek untuk
ukuran pohon tua. Berjajar rapi di sepanjang sungai kecil atau parit, yang
memisahkan antara jalan dengan area persawahan milik petani. Paron merupakan
desa sentra padi dan palawija di mana sawah bertebaran di mana-mana. Saya paling
suka menelusuri jalan utama Paron ini, karena indah, hijau, sejuk dengan
deretan pohon asam yang rapi memagari tepian jalan. Di pohon-pohon asam ini lah
saya melihat anggrek liar menggelayuti dahannya, tertutup rimbunnya daun asam,
membuatnya aman dari terpaan sinar matahari Paron yang gahar.
Setiap kali naik angkutan umum menyelusuri jalanan ini, mata saya
jelalatan memandangi kerimbunan pohon asam, berusaha menghapal, pohon mana yang
ditumbuhi anggrek. Tidak semua pohon ada. Saya bertekad satu hari nanti, jika
saya memiliki sepeda, akan saya kayuh kendaraan roda dua itu ke sepanjang jalan
ini dan menjarah semua anggrek di sana. Mimpi yang penuh rasa greedy, seorang
bocah usia 9 tahun yang ingin merawat dan menanam anggrek tapi apa daya orang
tua tak mampu. Tapi sebuah kemauan kuat, sebuah tekad kuat yang muncul dari
dalam dada, akan didukung semesta. Seperti juga mimpi saya hendak mememelihara
anggrek liar.
24 Januari 2025
Resep Tomat dengan Telur & Kisah Anggrek Liar di Pohon Asam
23 Januari 2025
Mengadopsi Kucing Part 2 - Perjuangan
Semua orang punya jiwa keibuan yang lembut dan nurturing, atau
jiwa kebapakan yang maskulin dan melindungi. Kombinasi keduanya di dalam diri
kita akan saling melengkapi dan mengisi satu sama lain, yang membedakan hanyalah
kadarnya. ~ Me
Saya suka merawat tanaman. Ada kepuasan tersendiri memperhatikan mereka tumbuh, berkembang dan menjadi dewasa. Ada kebahagiaan di dada ini kala menyaksikan semua susah payah itu terbayarkan di ujung. Ada kebanggaan, bahwa seorang manusia biasa seperti saya, bisa menumbuhkan sayuran atau tumbuhan lainnya. Bukan hanya sekedar tumbuh, tapi subur dan lezat dipandang mata. Saya lebih menikmati setiap proses dan step-nya, dibandingkan memetik hasilnya kala panen. Tetapi tanaman tentunya berbeda dengan hewan, untuk yang satu ini saya hanya memiliki pengalaman yang sangat minim.
Dalam puluhan tahun kehidupan saya, hanya beberapa kali saja keluarga saya memelihara hewan peliharaan. Pertama adalah burung dara yang dibawa seorang sepupu dari desa nun jauh. Sepasang burung dara itu kemudian berkembang cepat menjadi puluhan ekor. Lambat laun, burung-burung ini lenyap satu persatu. Ada yang sakit, hilang tak jelas rimbanya, atau dimakan kucing. Penyebab terakhir yang paling banyak terjadi. Hewan peliharaan kedua adalah kelinci. Seorang tetangga di Paron memiliki banyak kelinci yang disukai bocah seperti kami. Akhirnya Ibu setuju memeliharanya di dapur, di dalam sebuah kandang berukuran 1 x 1 meter dan berisikan sekitar 4 ekor kelinci. Tak pernah terkena sinar matahari, tak pernah menginjak tanah, tak pernah hidup bebas, sementara pemiliknya tak mengerti cara memeliharanya. Waktu itu belum ada internet, sehigga informasi susah didapatkan. Kelinci-kelinci ini lantas terkena penyakit jamur di ujung telinga dan hidungnya, sebagian mati, sebagian disembelih menjadi lauk hari itu.
20 Januari 2025
Spicy Odeng & Arti Kebahagiaan
Dulu, ketika masih tinggal bersama orang tua, kebahagiaan saya simple. Saya paling bahagia ketika Bapak membelikan sepatu baru. Rasa bahagia yang membuncah di dada, yang membuat saya ingin menari dan tak sabar melalui malam itu agar esok pagi bisa berangkat ke sekolah dengan si sepatu. Saya ingat merk sepatu yang lumayan terkenal saat itu dan harganya cukup mahal untuk kondisi perekonomian orang tua saya yang pas-pasan, yaitu Spotec. Sepatu hitam mengkilap yang terlihat gagah di kaki kala dipakai, kuat, dan super awet bertahun-tahun lamanya. Alasan terakhir itulah yang membuat Bapak membelikan merk ini. Sekali beli bisa dipakai selama 3 tahun di SMA, walau sebenarnya harganya cukup menguras dompet.
Malam harinya sepatu saya letakkan persis di bawah ranjang, seakan takut jika besok benda itu raib menguap. Berangkat ke sekolah hati menjadi ceria, dunia terasa indah, cerah, dada terasa plong dan semangat berapi-api. Bukan untuk niat menuntut ilmu, tapi lebih hendak pamer sepatu baru ke teman-teman. Sepatu Spotec ini seakan meningkatkan value saya dari anak keluarga kurang mampu menjadi anak keluarga sedikit mampu. Seakan eksistensi saya mampu terdongkrak bukan karena saya anak paling pintar di kelas, tapi karena kaki saya bersepatu baru. Entah apa yang saya pikirkan saat itu, tapi di usia belasan tahun, usia mencari jati diri, dan usia dimana rasa percaya diri setipis iman saya, maka urusan materi menjadi hal paling penting dalam hidup, di tengah ekonomi keluarga yang susah.