Teman sekantor saya, Bang Berry, minggu lalu pulang ke Flores. Seperti biasa satu hari sebelum cuti beliau akan terlihat ceria, wajahnya tampak berseri-seri dan aneka lagu jadul tahun 70-an mengalir dari bibirnya. Beberapa teman disekeliling mejanya berteriak kesal, "Woi, pelan-pelan kalau nyanyi. Berisik tahu!" Maklum saja, dengan meja berbentuk cubicle yang saling berdempetan satu sama lain dan bersekat pendek maka suara sepelan apapun akan terdengar ke seantero ruangan kantor. "Aku mau pulang ke Flores ntar weekend," kata Bang Berry membuat pengumuman. "Dalam rangka apa?" Tanya Mba Ade berbasa-basi. "Lihat istri dong, kan aku sudah beberapa bulan nggak nengok rumah disana."
Saya yang ikut mendengar pembicaran tersebut langsung ikutan nimbrung, "Bang Ber, pesan beras jagung dong." Beras jagung yang saya maksud adalah jagung tumbuk seukuran menir dan menjadi salah satu makanan pokok masyarakat di NTT. Sudah lama saya dibuat penasaran setiap kali mendengar Bang Berry bercerita betapa lezatnya menyantap nasi jagung, ikan asin dan sambal setiap kali beliau pulang ke desa kelahirannya. "Oh jagung titi ya, gampang itu, murah harganya di Flores," jawab Bang Berry dengan senyum terkembang di bibirnya.