"Monggo mampir Mas"! Teriakan kencang Mbah Lanang dari kursi reotnya yang nangkring di dekat pintu cukup memekakkan telinga. Teriakan itu diulang, dan diulang berkali-kali setiap kali pengendara sepeda onthel lewat di depan rumah. Beberapa pengendara berhenti dan masuk ke rumah yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penitipan sepeda itu, namun banyak pula yang terus mengayuhkan pedal membawa sepeda mereka ke dalam pasar. Saya, Wulan dan Wiwin berdiri di depan pintu menunggu sepeda-sepeda datang. Hari itu adalah hari libur sekolah karena Lebaran akan segera tiba. Biasanya pada hari-hari menjelang Lebaran seperti ini pasar Paron di depan rumah kami menjadi sangat ramai, jalan raya sesak dengan pengendara sepeda dan pejalan kaki yang berlalu-lalang. Tugas kami saat libur panjang sekolah seperti ini adalah membantu penitipan sepeda Mbah Lanang.
Seingat saya, Mbah Lanang (alias kakek dalam bahasa Indonesia) telah membuka usaha penitipan sepeda ini sejak jaman kolonial. Okeh, itu mungkin terlalu lebay, namun yang jelas usaha penitipan sepeda ini telah ada sejak kami sekeluarga pindah ke Paron, saat itu saya masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Rumah Mbah Lanang yang besar dan merangkap toko di bagian depannya memang lapang dan pas untuk diisi dengan sepeda. Lokasinya yang strategis dan tepat terletak di depan pasar Paron menjadi kelebihan tersendiri yang membuat pengunjung pasar berbondong-bondong menitipkan sepedanya ke kami.
Seingat saya, Mbah Lanang (alias kakek dalam bahasa Indonesia) telah membuka usaha penitipan sepeda ini sejak jaman kolonial. Okeh, itu mungkin terlalu lebay, namun yang jelas usaha penitipan sepeda ini telah ada sejak kami sekeluarga pindah ke Paron, saat itu saya masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Rumah Mbah Lanang yang besar dan merangkap toko di bagian depannya memang lapang dan pas untuk diisi dengan sepeda. Lokasinya yang strategis dan tepat terletak di depan pasar Paron menjadi kelebihan tersendiri yang membuat pengunjung pasar berbondong-bondong menitipkan sepedanya ke kami.