Ibu penjual cenil itu selalu duduk disana, saya bahkan hafal letaknya meski harus berjalan dengan mata tertutup. Terlalu 'lebay', tapi memang seperti itu kenyataannya. Sekitar 100 meter dari pintu masuk pasar Paron, di depan deretan penjual daging, dan tak jauh dari sumur yang terletak dibelakang pasar. Itu dulu, puluhan tahun yang lalu, kala saya masih kecil dan tinggal di Paron. Si Ibu duduk di sebuah dingklik (bangku kecil) di lantai berdebu pasar, dan menjual cenilnya setiap hari. Masih segar dalam ingatan, beliau selalu mengenakan baju kebaya brokat dengan jarit batik yang rapi jali menempel di tubuhnya. Rambut panjangnya tersanggul rapi dalam gelungan sederhana khas wanita Jawa jaman dulu. Jemari tuanya yang keriput dan berkulit coklat gelap terlihat cekatan mencuil masing-masing cenil yang berwarna merah, hijau, putih, hitam, membungkusnya dengan selembar daun pisang dan menyematnya dengan sebatang biting (lidi yang diruncingkan ujung-ujungnya). Gerakannya luwes, menghipnotis, membuat semua pasang mata terpaku mengikuti setiap langkahnya. Termasuk saya, fans beratnya. 😅
Cenil bukan makanan favorit saya, dari segunung aneka ragam cenil yang diletakkan didalam sebuah baskom terbuat dari bambu, mungkin hanya ketan hitam dan getuk yang saya sukai. Tapi saya selalu, dan selalu datang membeli aneka cenil yang dijualnya jika memiliki uang jajan ditangan. Biasanya itu terjadi setelah selesai membantu penitipan sepeda Mbah Lanang kala hari Minggu tiba, atau saat liburan bulan puasa. Si Ibu merupakan satu-satunya penjual cenil di Paron saat itu, jadi tak heran jika setiap hari pembeli selalu ramai mengerubuti dagangannya, saya salah satu bocah yang berdesak-desakan diantara orang dewasa yang dengan sabar mengantri.
Ada banyak ragam jajanan anak kecil lainnya di pasar, tapi cenil selalu mengundang saya untuk melangkahkan kaki kesana. Alasannya simple. Saya sangat menikmati lincahnya jemari si Ibu, menari luwes diatas gunungan cenil, menjumput masing-masing jenisnya, mengguyurnya dengan kinca gula jawa, dan membungkusnya. Semua kegiatan untuk menghasilkan sebungkus cenil ini seakan menghipnotis, membuai, dan memberikan perasaan yang susah untuk saya ungkapkan. Entah apakah manusia lainnya merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan kala melihat penjual cenil, namun saat itu seperti itulah keadaannya. Jadi walau harus menunggu lama kala membelinya, saya sama sekali tidak merasa keberatan.
Bagi anda yang belum pernah mengenal snack tradisional Jawa ini, maka cenil adalah makanan yang terbuat dari pati ketela pohon, diberi aneka pewarna dan dibentuk kotak atau bulat. Biasanya cenil disajikan bersama kelapa parut dan taburan gula pasir, namun di Paron, cenil disajikan dengan guyuran gula jawa yang legit. Ada banyak ragam varian makanan yang mendampingi si cenil kala dijajakan mulai dari ketan hitam, ketan putih, tiwul, getuk, gatot dan aneka makanan lainnya yang hampir semuanya terbuat dari ketela pohon. Sangat menakjubkan betapa kreatifnya orang Jawa jaman dulu memberdayakan ketela pohon menjadi aneka camilan penuh warna dan bentuk yang memiliki nama berbeda-beda, dengan cita rasa yang tidak sama. Saat ini cukup sulit menemukan penjual cenil terutama di kota besar seperti Jakarta. Tapi saya cukup beruntung karena ada seorang Ibu yang menjual cenil di sebuah jembatan penyeberangan busway, rasanya pun lumayan, dan seporsi hanya lima ribu rupiah saja. Tapi sayangnya cenilnya dipacking didalam plastik mika bening dan gerakan tangan si Ibu tidak seluwes penjual cenil di Paron, jadi feeling yang dirasakan kala membelinya berbeda. 😂
Membuat cenil super duper mudah, resep ini saya peroleh dari Inry, rekan kantor saya yang beberapa waktu yang lalu membawa cenil ke kantor. Kala itu saya melihat Inry sedang memanaskan cenil beku bersalut kelapa parut di microwave. Makanan ini hanya terbuat dari tepung tapioka, atau biasa disebut dipasaran dengan nama tepung sagu tani, yang disiram dengan air panas mendidih, dibentuk sesuai keinginan dan diceburkan ke air panas hingga mengapung dan matang. Cenil kemudian dilumuri dengan kelapa parut kukus untuk mencegahnya menempel satu sama lainnya dan disajikan bersama taburan gula pasir atau guyuran gula jawa cair. Saya sendiri lebih suka menggunakan gula jawa cair yang dimasak bersama daun pandan, sedikit maizena dan air, hingga menjadi larutan yang kental namun mudah dikucurkan ke permukaan makanan. Kolaborasi cenil yang elastis dan tanpa rasa, kelapa parut yang gurih dan asin, serta manis dan legitnya gula Jawa menciptakan rasa yang mantap!
Kendala membuat makanan ini mungkin pada berapa lama waktu merebus si cenil, terlalu lama maka cenil akan larut di air dan berkurang ukurannya. Jika kurang lama maka cenil akan terasa mentah dibagian tengahnya. Saya sendiri merebus hingga cenil mengapung, menambahkan waktu sekitar 5 menit sejak cenil mengapung, saat itu cenil akan terlihat mulai transparan. Cenil langsung diangkat dengan saringan kawat dan dilumuri kelapa parut kukus untuk mencegahnya lengket. Jangan merebus cenil sekaligus banyak (seperti yang saya lakukan!), karena akan membuatnya lengket satu sama lain dan menjadi pekerjaan tambahan kala harus memisahkannya satu persatu.
Untuk kelapa parutnya, gunakan kelapa muda yang diparut kasar, campur bersama sedikit garam dan kukus selama beberapa menit agar matang. Nah kelapa parut ini bisa disimpan di freezer jika terlalu berlebihan, cukup bungkus rapat di plastik dan bekukan. Kelapa parut tahan hingga 1 bulan lamanya dan kondisinya masih baik ketika akan dipergunakan kembali.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Cenil dengan Saus Kinca
Resep diadaptasikan dari Inriany
Untuk 5 porsi
Tertarik dengan kue tradisional lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Singkong Thai versi Mall Ambassador
Dadar Gulung Pandan & Vanilla Isi Cream Custard
Kue Bawang Renyah
Bahan:
- 2 lembar pandan
- 1/2 sendok teh garam
Siapkan panci, masukkan kelapa parut, tambahkan garam, aduk rata. Kukus kelapa bersama dua lembar daun pandan hingga matang, sekitar 15 menit. Angkat, tuangkan kelapa di mangkuk lebar, buang pandan, dan sisihkan.
Siapkan panci, masukkan air, garam, gula pasir, dan pandan, rebus dengan api sedang hingga mendidih. Angkat.
Tuangkan air panas bertahap ke dalam mangkuk berisi tepung tapioka, aduk rata dengan spatula. Jika adonan terlalu kering dan susah tercampur maka tambahkan porsi air panas. Lakukan dengan hati-hati karena sangat panas, jika sudah tercampur, uleni dengan jemari tangan hingga menjadi adonan yang kalis. Jika terlalu lengket tambahkan sedikit tepung tapioka.
Bagi adonan menjadi 3 bagian yang sama, beri pasta warna merah dan hijau pada 2 bagian adonan, biarkan 1 buah adonan berwarna putih. Tutup adonan dengan kain agar tidak kering kala kita membentuknya.
Siapkan panci, beri air agak banyak, dan panaskan hingga mendidih.
Ambil sejumput adonan, gelindingkan di telapak tangan hingga berbentuk seperti cacing dengan panjang sekitar 5 cm. Ceburkan adonan yang sudah dibentuk ke dalam air panas mendidih. Lakukan pada sisa adonan, jangan masukkan terlalu banyak adonan ke dalam air panas, karena akan membuatnya lengket satu sama lain. Aduk isi panci, dan masak hingga adonan mengapung.
Beri tambahan waktu 5 menit setelah mengapung hingga cenil terlihat sedikit transaparan, angkat cenil dengan saringan kawat. Ceburkan cenil di mangkuk berisi kelapa parut kukus, aduk rata. Lakukan pada semua cenil lainnya. Sisihkan.
Membuat saus kinca:
Siapkan panci, masukkan semua bahan saus, rebus dengan api sedang hingga gula larut dan mendidih. Jika terlalu pekat tambahkan sedikit air panas agar agak encer. Kuah kinca akan lebih pekat jika telah dingin. Angkat.
Siapkan cenil dimangkuk, taburi gula pasir jika suka dan guyur dengan saus kincanya. Super yummy!
Jadi penasaran sama rasanya. Kenyal-kenyal ya, mba?
BalasHapusKalau hanya disiram gula merah tanpa diberi kelapa, sepertinya enak juga. Tapi bukan cenil lagi namanya.
Baca ini saya malah ingatnya sama cendol sagu. Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah merasakannya lagi karena yang jual berhenti jualan cendol, hiks.
Hai Mba Ima, kalau nggak pakai kelapa saya takutnya legket satu sama lain secara ini benar2 sagu kek cilok hehhehehe. Mungkin mirip2 cendol ya, beda ukuran saja hehhehe
HapusMbak ini makanan favoritku juga. Misalnya merebusnya air rebusan diberi minyak sedikit seperti merebus empek-empek gimana ya mbak,,,
BalasHapusMungkin bisa ya Mba, supaya gak lengket ya, memang masalahnya lengket, tapi kalau langsung dikasih parutan kelapa sih nggak ya
Hapuswaaa jd kangen pasar ada getuk telo, getuk kacang, tiwul, gatot, cenil, lopis dll serasa surga tp herannya anakku mlh gak doyan mba jadinya klo beli habis tak sikat sendiri hehehe.... mba itu mlintir adonan kok bisa kecil2 kurus y aku kok mesti gendut2 jadinya -anni smg-
BalasHapusHai Mba Anni, wakakkakak dipelintirnya agak lamaan supaya panjang, saya malah maunya agak gendut2 pendek supaya gak mirip sama cacing wakakka
HapusAku selalu menikmati prolog postingan mbak Endang, ceritanya bisa runtut, renyah, nggak membosankan. Aku nunut belajar ya mbak, aku kalau nulis pengalaman kok penuh kata "kemudian, terus, lalu, setelah itu", terasa membosankan.
BalasHapusBtw, itu bener 500 m mbak? Nggak 50 m? Nanti sampai Ndawu klo 500 m hehe
Hahahaha, diusahakan kata kemudian, lalu, setelah itu, dll diganti pakai titik atau koma saja Mba. Jadi kalimatnya dimatikan supaya gak panjang. Dibaca juga lebih ringkas dan gak bertele2.
Hapuswkakakak iya 500 m bs sampai Ndawu yaaaa, baru nyadar 500 m itu kan jauh banget, dulu matematika dapat 5 terus nilainya hhahhahah
Saya selalu suka dengan semua resep-resep yang Mba Endang muat di sini karena menurut saya resepnya itu mudah untuk dijalani untuk orang awam seperti saya ini.
BalasHapusUntuk resep cenil ini, saya jadi ingat waktu saya kecil saat ikut Ibu mudik ke Klaten. Sejak kecil saya memang lebih suka makanan jadul seperti cenil, gethuk,tiwul, gatot, dan lainnya daripada jajanan instan. Tapi entah kenapa saya baru ngeh kalau setiap penjual cenil, gethuk dan gatot ini selalu saja Mbah-Mbah (wanita setengah baya) yang mengenakan jatik batik, kebaya,dan selalu sanggulan. Jajanan pasar menurut saya lebih variatif rasanya daripada jajanan instan yang mirip semua rasanya karena terlalu banyak penyedap rasa.
Mba Endang saya mau tanya sedikit,kalau bentuk cenilnya saya ganti jadi bulat-bulat kecil boleh kan Mba? Karena waktu saya kecil di Klaten yang namanya Cenil itu bentuknya bulat-bulat.
Terima kasih
Thanks Mba Farida sharingnya ya, senang resepnya disuka. Sampai sekarang saya paling suka jalan2 di pasar tradsional terutama yang di daerah jawa, penjualnya masih pakai pakaian tradisional, jadi ingat masa lalu hahhahah.
Hapusbisa dibentuk bulat ya mba, sama sjaa ya. sukses selalu
Dear mba Endang,
BalasHapusJadi teringat masa kecil dulu.....
Saat itu ibu setiap hari selalu memberi uang jajan Rp 10,- dan selalu saya belikan cenil di pasar yg dekat banget dengan rumah. Meski ada macem2 jajan pasar, tp saya hanya beli cenil, mungkin karena warna warninya itu ya yg menarik untuk anak kecil. Dapet 1 pincuk cenil yg ditaburi kelapa parut & air gula merah.Tapi sy gak pernah perhatikan gimana penjualnya mewadahi.....
Sayangnya pas sy umur 5 tahun, sy pindah ke kota lain dan rumahnya jauh pasar, jadi jarang makan cenil lagi....
Yuli, Surabaya
Hai Mba Yuli, wah pengalamannya mirip saya, mungkin memang warna-warni cenil semarak itu yang membuat saya sellau beli cenil walau ada jajanan lain wakkakkaka. Thanks sharingnya yaaa
HapusMakanan favorit saya juga, mbak. Di tempat saya namanya cetot. Dan taburannya hanya kelapa dan gula putih. Kalau pulang kampung saya suka ke pasar hunting cetot, getuk, tiwul, dan makanan khas tempat saya namanya horog-horog dan hoyog-hoyog...super ngangenin, ya mbak. Salam, Heni
BalasHapusHalo Mba Heni, wakakkak saya belum pernah dengar nama cetot, mungkin karena diambilnya seperti dicetot ya.
HapusHalo Mbak Endang, sama kayak saya, cenil bukan jadi favorit, tapi liat cemilan warna-warni selalu jadi kegiatan yg menarik. Saya sendiri lebih suka lupis, gathot, thiwul maupun gethuk. Jadi nostalgia jaman masih kecil sering disuruh ibu belanja ke pasar deket rumah, trus gak pernah absen beli jajanan pasar.
BalasHapusHana-Jogjakarta
Halo Mba Hana, yep cenil manis kinyil2 sebenarnya saya gak begitu suka, samaaa kalau ke jajan pasar lbh milih klepon, lupis hehehhe
HapusMbak Endang, kalau misalnya adonan cenilnya ditambah terigu dikit bisa gak ya? Biar gak terlalu kenyal. Sy agak iyuh gtu sama cenil yang kenyal2 bgt gtu, geli aja rasanya hehhe. tapi lagi kangen makan cenil nih, dan sy lagi di Melbourne jd gak bs beli cenil di pasar huhu. Kudu bikin sendiri euy hehe.
BalasHapusHalo Mba Tiwie, bisa mix dengan terigu mba, tapi saya belum pernah coba ya.
HapusAssalamualaikum, salam kenal mba...
BalasHapusMba mau tanya Klo cenil yg sudah direbus apakah bisa disimpan, Klo bisa disimpan dimana, brp lama & bagaimana bila mau dimakan lagi?
Terimakasih mba 😊🙏
saya masukkan tuperware saja dan simpan di chiller kulkas (bukan freezer) ketika akan dimakan dikukus sebentar atau rebus
Hapus