Rumah kami di Paron akhirnya masuk ke dalam bursa penjualan sejak beberapa bulan terakhir ini. Spanduk besar dipasang di pagar berharap bisa menarik pembeli yang berminat. Toko peralatan motor plus bengkel yang menempel didepan rumah dan sudah beroperasi sejak saya duduk di bangku SMP itu akhirnya ditutup. Semua onderdil dijual termasuk sisa barang-barang toko didalamnya. Ibu saya bahkan sudah melakukan sale besar-besaran isi rumah seperti lemari pakaian, sofa, buffet dan tempat tidur jati berukir yang tobat besarnya dan memiliki ukuran tidak standar. Kami memiliki 3 buah tempat tidur dari jati yang dibuat oleh seorang tukang mebel di Paron atas pesanan alm. Bapak. Waktu itu jati bukanlah jenis kayu langka yang memerlukan sertifikasi dan perijinan jika hendak memilikinya. Jadi Bapak membuat tiga buah tempat tidur dengan ukiran super rumit dan heboh di bagian headboard dan kakinya.
Walau tempat tidur kayu berukir bukanlah favorit saya, tapi harus diakui mereka cantik, bagus, kekar, kokoh dan bahkan bisa digunakan hingga 5 generasi. Masalah terbesar adalah tempat tidur tersebut memiliki ukuran tidak standar. Tidak ada satupun spring bed yang bisa pas masuk kedalamnya! Anda pernah menemukan bed berukuran 250 cm x 200 cm? Nah itulah ukuran tempat tidur yang ada di rumah Paron. 😄
Ibu terlihat sedih berpisah dengan tempat tidur peninggalan Bapak, beliau tahu Bapak sangat sayang dengan perabotan tersebut. Sejak wacana rumah Paron hendak dijual, Ibu telah menawarkan ke kami semua untuk mengadopsi setidaknya sebuah tempat tidur dan membawanya ke Jakarta. Berat hati, kami semua menolaknya. Selain alasan ukuran yang tidak standar, tempat tidur tersebut juga terlalu besar. Membutuhkan sebuah kamar berukuran minimal 5 x 5 m2 agar masih terlihat lega ketika bed dijejalkan kedalamnya. Untungnya dalam sekejap pembeli berdatangan dan membeli ketiga tempat tidur tersebut. Jadi kami semua terbebas beban harus mengadopsinya.
Sejujurnya timbul rasa sedih dihati ketika rumah Paron dijual. Kami dibesarkan disana dalam suka duka yang trilyunan banyaknya dan tak cukup rasanya jika dirangkai dalam tiga buah buku sekalipun. Toko yang dirintis Bapak dari nol hingga berhasil menyekolahkan kami semua ke jenjang universitas bukan hanya sekedar tempat mencari nafkah, tapi meninggalkan banyak cerita perjuangan orang tua yang bekerja tanpa kenal lelah, membanting tulang, siang dan malam demi anak-anaknya.
Menjual rumah Paron seakan memutus ikatan terakhir kami dengan kampung halaman dan semua yang ada disana. Selama ini, Paron selalu menjadi pelabuhan terakhir karena merupakan rumah dimana Ibu berada. Kondisi beliau yang semakin menua dan rasa khawatir kami yang harus tinggal berjauhan, membuat beliau saat ini lebih sering di Jakarta atau di Batam. Kami bahagia melihat Ibu bisa menikmati masa tua dengan banyak berkumpul bersama cucu, dan selalu ada didekat keluarga.
Bergepok-gepok album foto sejak kami masih kecil adalah barang terakhir yang tersisa ketika semua perabotan telah terjual. Kakak saya, Mbak Wulan, segera menyelamatkan benda yang menjadi ikatan terakhir kami dengan masa lalu di Paron tersebut. Ratusan foto berada disana, mungkin lebih, dan semuanya masih terjaga dengan baik. Beberapa foto discan, Mbak Wulan lantas mengirimkannya ke grup WhatsApp keluarga. Wow, semua langsung heboh berkomentar. Kami tampak sangat langsing! Saya bahkan terkagum-kagum sendiri dengan wajah yang terlihat tirus, tulang pipi menonjol dan dagu yang terkesan panjang. Saat itu saya masih duduk di bangku kuliah semester awal, berat badan mungkin dikisaran 50 kg. Bandingkan dengan kondisi saat ini dengan berat diatas 60 kg! "Aku mau kembali ke berat badan kaya dulu!" Cetus saya di WA yang langsung disambut dengan komentar kakak saya, "How?" Dan saya pun terdiam. 😉
Oke menuju ke resep upside down banana bread yang resep dan prosesnya sudah saya share di Instagram JTT kemarin. Terus terang hingga kini saya masih belum bisa membedakan antara banana bread dengan banana cake. Keduanya menurut saya menggunakan bahan-bahan yang sama, prosesnya pun sama, rasanya pun hampir serupa. Bahkan chef sekelas David Lebovitz kesulitan membedakannya, karena menurut beliau keduanya sama. Beberapa artikel menyebutkan sedikit perbedaan dilihat dari tekstur, rasa, dan ketika makanan tersebut dihidangkan. Banana cake umumnya menggunakan tepung untuk cake (protein sedang hingga rendah), memiliki tekstur lebih lembut, berpori, lebih manis dan umumnya dihidangkan dengan tambahan glaze atau frosting di permukaannya. Sementara banana bread bisa menggunakan jenis tepung terigu apapun, memiliki tekstur lebih padat, dibuat dengan hanya mengaduk-aduk adonan (tidak mengocok mentega hingga mengembang), tidak terlalu manis dan umumnya disajikan tanpa frosting. Karena banyak mengandung pisang dan lebih sedikit gula maka banana bread umum disajikan kala sarapan pagi di U.S.
Seeorang pembaca JTT memberikan komentar di IG perbedaan lainnya yaitu banana bread umumnya dipanggang didalam loyang loaf (loyang khusus untuk memanggang roti). Membuat bentuknya menjadi seperti sebongkah roti tawar, jadi tak heran kemudian nama 'bread' lantas disematkan. Well, saya setuju dengan pendapat tersebut. Tapi apapun alasannya yang jelas banana bread dan banana cake adalah dua makanan yang hampir serupa.
Membuat banana bread umumnya simple dan mudah. Bahan utama tentu saja pisang (apapun jenisnya bisa digunakan asalkan telah matang dengan baik), gula, tepung, mentega dan bahan pengembang (baking powder dan/atau baking soda). Biasanya mentega dilelehkan hingga mencair dan semua bahan lantas cukup diaduk-aduk saja. Proses sederhana ini membuat teksturnya menjadi padat. Saya pernah posting resep simple banana bread tersebut disini. Beberapa resep lainnya memiliki cara berbeda. Untuk tekstur kue lebih lembut dan moist maka mentega dikocok dengan gula hingga mengembang dan pucat. Cara ini untuk memasukkan banyak udara ke dalam adonan sehingga tekstur kue lebih berpori dan lembut, baru bahan-bahan lain kemudian ditambahkan.
Resep yang saya berikan dibawah menggunakan cara mengocok mentega dan gula hingga kembang, dan karena banyaknya pisang serta untuk mencegah adonan terlalu padat maka saya menambahkan baking powder. Baking soda bersifat optional, bahan pengembang ini selain membantu kue mengembang karena kandungan asam didalam adonan juga membuat warna kue lebih kecoklatan dengan permukaan yang lebih kering.
Banana bread yang saya buat kali ini memiliki tekstur sedikit padat. Sepertinya karena saya kurang menghaluskan pisang dengan baik. Saya menggunakan pisang uli, dan jenis pisang ini memang memiliki tekstur lebih keras dibandingkan pisang ambon. Pisang uli agak susah dihancurkan dengan garpu, akibatnya gumpalan pisang masih terlihat di dalam kue dan membuat irisan menjadi kurang mulus. Saran saya, hancurkan pisang dengan baik atau blender untuk memberikan tekstur smooth di kue.
Selebihnya membuat banana bread ini sangat mudah. Berikut proses dan resepnya ya.
Upside Down Banana Bread
Untuk 1 loyang tulban diamater 24 cm
Tertarik dengan camilan dari pisang lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Resep Bolu Pisang Coklat Super Pisang
Resep Pembaca JTT: Es Pisang Ijo -Tetap lembut walau keesokan harinya
Resep Crepe Pisang Isi Coklat & Keju
Balikkan di rak kawat atau piring datar dan potong ketika kue telah benar-benar dingin. Super yummy!
Ahh mbak keren banget penulisannya! Hanyut dengan ceritanya mbak Endang T_T Well... Sedih banget pasti ya mbak..
BalasHapusNgilerr mbak ngeliat toping pisangnya.
Btw, bisa gak mbak diganti dg gulmer yg biasa di pasaran?
Thanks Mba Fatimah, kalau ingat kenangan masa lalu jadi sedih. hehhehe
HapusJangan pakai gula merah Mba, nanti rasanya jadi strong gulmer, pakai gula pasir saja ya
wahh sedapnya dimakan panas3 bersama air teh o... yummyyyyy
BalasHapusPas hujan2 lagi waaaaak enaak
HapusSeneng ihh baca cerita tentang keluarga mba Endang, kapan2 ditampilin juga dong mba wajah mamanya, mba Wulan, mba Wiwin, mas Tedy, mas Dimas, Fatih dan adik terus Pak Lik yg tinggal sama mba Endang.. hehehe.. oh iya foto lebaran blm di upload nih.. wakakakak.. ehh sy malah gak fokus ke resep ya. Tobat (mba Endang banget ya seneng sama kata "tobat")
BalasHapusAnyway beberapa minggu ini hampir tiap hari sy praktek resep jtt, mulai dari nuget ayam, siomay ala abang, ayam betutu ala jtt, brownies starbuck, marble cake starbuck dan banyak lagi.. semuak sukses dan yummy.. terimakasih terimakasih terimakasih.. sehat dan sukses selalu ya mba Endang
Wakakkak, ntar saya bisa dicincang ramai2 smaa mereka Mba kalau menampilkan foto hehhehe.
HapusThanks sharingnya yaa, senang resepnya disuka.
Kok sy ikut merasa kehilangan rumah yg banyak memberi kenangan bwt mbak Endang yaa?tp pilihan yg sdh diambil apapun itu semoga itu adalah pilihan terbaik bwt keluarga besar mbak Endang..dan mamanya mbak Endang jg nyaman tinggal bersama putra-putri beliau.. terimakasih mbak Endang dah diijini nongol terus di kolom komentar jtt..anyway sy bingung mau nyoba resep yg mana dl ya?gampang2 ni resepnya mbak...
BalasHapusNur_padasan
Thanks ya Mba Nur, kita suka khawatir kalau Ibu di Paron sendiri, kalau ada apa2 wah repot banget Mba.
HapusDicari resepnya yang mudah dan cepat saja Mba hehhehe
Mbak Endang, saya benar benar larut dengan cerita mbak Endang... jadi semakin rindu sekali dengan ibu yang sudah tiada, rindu sekali dengan bapak di kampung yang hampir 3 tahun ini saya belum pulang, ahhh mbak Endang sukses membuat saya ngumpet bentar di toilet kantor buat mewek T_T
BalasHapusmbak Endang, saya sudah jatuh cinta dengan cake pisang 5 bahan, karena sehat buat anak anak, tapi saya penasaran dg resep ini, saya bayangkan legitnya pisang ketemu gula palem, hemmm
oh iya mbak Endang, jangan bosan dengan komentar komentar saya ya hehehe :)
terimakasih resep resepnya, sehat selalu mbak Endang...
Halo mba Leni, terkadang saya juga merasa berdosa, saya udaaaah lamaaa nggak pernah menginjakkan kaki ke paron, disana ada makam alm. bapak. Suka sedih kalau ingat beliau.
HapusCake pisang 5 bahan memang oke banget yaa, hehehhe
I feel you Mba Endang.. tahun lalu rumah orangtua dijual.banyak perabot dari jati yang sayang bgt klo dilungsurin.ade2 ga ada yang mau, akhirnya meja makan & kursi, lemari, meja rias jati dengan suksesnya masuk kedalam gudang sempit dirmh wkwkwkw..
BalasHapuspernah coba bikin pinneapple upside down nya mba. sok2an ga pake oven (alias maless kluarin otang ;D) dan hasilnya supeeerr bantet ekekekeke..
Mba Endang, share jus kombinasi sayur dan buah dong. lagi liyer nih pgn hidup sehat. Makasih yaaww mba resepnya
-Mala-
Halo Mba Mala, memang sayang ya sama perabotan jati berukir, kalau dijual juga murah padahal barang2 jaman dulu luar biasa kuat.
Hapussaya dirumah sering bikin smoothie mba, buah dan sayur apapaun yang ada dirumah saya ceburin wakkakakak
Sayang banget ya, kalo rumah peninggalan orangtua dijual.... Nilai historisnya itu lho, yang tidak bisa dinilai, meski dengan uang milyaran, bahkan trilyunan....
BalasHapusSaya sendiri saat ini berusaha membujuk ibu untuk bikin wasiat yang melarang rumah ibu dijual, kalau perlu pakai akte notaris atau apalah. Kalau keturunannya mau menempati, gak apa2, asal tidak dijual selama-lama-lamanya. Sama seperti mba Endang, ibu saya sudah tua, dan anak2nya terpencar2 dan sudah punya rumah sendiri2.
Tapi rumah inilah tempat kami sesekali berkumpul, kalau lebaran atau pas ada yang pulang. Baik anak-anak maupun cucu-cucunya ibu, semua sayang dengan rumah ini. Kami juga urunan agar rumah ibu terawat dengan baik. Rasanya gak rela kalau rumah tempat kami tumbuh, akhirnya terlepas. Serasa ada ikatan yang hilang.
Yah, itu yang saya alami, tentunya keluarga mba Endang punya pertimbangan yang lain, ya.
Salam cinta,
Yuli
Thanks Mba Yuli sharingnya. yep kita punya pertimbangan sendiri mba. selain memang kita jarang pulang ke paron, dan tidak mungkin membiarkan rumah kosong tanpa perawatan, kita juga memikirkan efek ke depan. rumah warisan seringkali menimbulkan sengketa ke depannya, jadi lebih baik diselesaikan ketika semua pemiliknya masih ada. memori dan nostalgia tentu banyak, tapi semua ada dalam hati kami masing2, tidak harus berwujud benda.
HapusMbk endang, saya nyerah di bagian masak gula sama mentega buat dasar loyang. Tiga kali bikin, tiga tiganya menggumpal. Akhirnya saya buat karamel saja, pas gula cair masukkan pisang. Belum tau kayak gimana jadinya karena pas nulis ini masih sementara di oven... Kayaknya bakalan bantet juga, adonan pisangnya kelamaan nunggu ...hiks...
BalasHapusHai Mba Aniek, kalau susah dimasak jadi karamel dicampur saja mba (tidak perlu dimasak) dan ditebarkan di dasar loyang baru adonan masuk. Kalau pakai baking powder double acting kecil kemungkinan bantat mba
HapusMba endang ini harus di oven yah.. Kalau di kukus bisa ga ya mba.. Makasih
BalasHapusbisa dikukus Mba, tapi brown sugarnya mungkin kurang cantik dibagian dasar karena kukus membuat cake lebih basah
HapusHai mb Endang, mau tanya, untuk pisang 400 gr, dalam keadaan sudah dikupas apa belum yah mb? Terima kasih, sukses terus buat mb Endang 😊
BalasHapusHalo Mba, semua resep saya berbahan pisang dalam kondisi sudah dikupas Mba, tdk ditimbang bersama kulitnya ya.
HapusDuh, mbak Endang nggak bakalan ke Paron lagi #merasakehilangan
BalasHapusTpp nggak pa pa mbak, kenangan memang berharga, tp lebih penting lagi ya masa sekarang. (Soalnya saya hbs bersihin kamar, mbuangin benda2 dr jaman dulu yg nggak kepakai, merasa syg,karena ada kenangan. Tp saya hrs realistis, benda2 itu nggak pernah kupakai, nyumpek2i kamar, malah jd sarang debu, bikin capek bersihinnya hehe).
Hai Mba Nana, iyaaa, selesai sudah dengan Paron hiks. Semua pasti lambat laun akan berubah, banyak kenangannya Mba, hehehhe. Yep, kadang kita sayang sama barang padahal mungkin tidak diperlukan, akhirnya rumah penuh tumpukan barang hiks
Hapus