Resep ini sudah lama sekali masuk dalam list untuk dieksekusi, resep aslinya adalah pindang bandeng yang saya peroleh dari Ci Ling Ling, kakak dari Mba Fifi, rekan kantor saya. Versi pindang bandengnya sendiri sudah saya coba beberapa tahun yang lalu, resepnya juga sudah saya share diblog, bisa klik link disini untuk melihatnya. Sejak mencicipi pindang bandeng versi Ci Ling Ling, saya tidak pernah lagi melirik resep pindang bandeng lainnya. Komposisi bumbunya sangat pas, mulai dari rasa asam, manis dan asinnya. Proses pengolahannya pun mudah dan cepat dimasak. Bagi masyarakat China yang merayakan Imlek, pindang bandeng wajib hadir di meja makan kala hari besar itu tiba. Jadi tidak salah jika saya mendapatkan resep langsung dari ahlinya.
Nah resep pindang cumi-cumi ini tidak jauh berbeda dengan pindang bandeng sebelumnya, saya hanya merubah proses mengolah cumi-cumi segarnya. Tips Ibu saya, untuk menghilangkan aroma amis cumi-cumi maka remas terlebih dahulu dengan asam Jawa dan garam. Kedua bumbu ini mampu menumpas bau amis seafood yang kadang membuat beberapa orang tak tahan dengan aromanya. Hujan deras yang mengguyur Jakarta setiap hari seperti saat-saat ini memang paling mantap jika ditemani dengan semangkuk pindang berkuah plus nasi segunung. Ah indahnya dunia!
Tiga hari libur kemarin memang luar biasa menyenangkan, saya menghabiskan waktu hanya 'ngendon' di rumah, enggan hendak kemana-mana. Begitu tidak inginnya waktu cepat berlalu maka setiap menitnya benar-benar saya nikmati. Agar stok makanan selalu full terisi, sejak pagi saya telah pergi berbelanja ke pasar tradisional membeli aneka sayuran dan ikan segar. Saya selalu kalap jika berbelanja ke pasar, rencana awal hanya membeli sayur dan ikan berakhir menjadi sayur, ikan plus cumi-cumi, udang, dua renteng rambutan, dan manggis. Si Bapak Bajaj sudah hapal dengan kebiasaan saya, langsung datang menghampiri dan mengambil barang belanjaan. Biasanya saya suka menitipkan belanjaan di dalam bajaj, sambil masih berputar-putar mencari bahan lain yang belum terbeli. Ongkos bajaj tentu saja ditambah karena ada servis menunggu. Tapi saya sangat terbantu sekali dengan cara ini, bayangkan betapa menderitanya harus menenteng barang yang berat di pasar yang becek.
Sebenarnya saya lebih suka berbelanja ke pasar tradisional terutama untuk sayur dan lauk pauk. Kualitasnya jauh lebih segar dibandingkan supermarket dan dengan varian yang lebih banyak. Hanya saja pasar tradisional didekat rumah kondisinya amburadul, pasar aslinya pindah beberapa blok jauhnya karena lokasi awal sedang direnovasi seiring dengan pembangunan MRT dikawasan itu. Beberapa pedagang masih berjualan dilokasi pasar lama, dipinggiran rumah penduduk disekitar situ. Nah disanalah saya membeli aneka lauk-pauk dan sayuran segar setiap minggunya.
Selain kondisi pasar yang kacau balau, beberapa pedagang terutama ibu-ibu galaknya minta ampun. Ditawar sedikit langsung mengomel, atau marah ketika sayurannya dipilih. Saya pernah saat sedang asyik memilih tumpukan sawi mendengar seorang Mbak berusia sekitar 20 tahunan terkena damprat ketika meminta plastik untuk daun seledri seharga tiga ribu rupiah yang dibelinya. Si Mbak tidak membawa tas belanja dan akan sangat lucu sekali jika harus menenteng beberapa tangkai seledri sambil berjalan berkeliling. "Belanja kok nggak bawa tas!" Damprat si Ibu Penjual kasar, si Mbak terlihat kaget dan menjawab, "Ya sudah Bu, saya beli kantung plastiknya," jawaban itu bukannya membuat si Ibu senang malah justru mengamuk, "Lho kamu nantangin saya?!" Selesai mendamprat si Mbak kemudian giliran saya yang kena semprot karena memilih gunungan sawi diatas tumpukan sayur lainnya yang dijual, "Semua bagus Mbak! Nggak perlu dibolik-balik." Minggu depannya, saya pindah berbelanja persis disebelah si Ibu galak dan dia hanya menatap saya dengan mulut cemberut.
Tentu saja saya memiliki bebeberapa penjual langganan, tapi saya memang tidak ingin selalu terpaku membeli di penjual yang sama. Terkadang ketika kualitas sayur atau barang yang mereka miliki tidak bagus, saya tidak enak hati harus berpindah ke penjual lainnya, atau menolak ketika mereka memanggil. Jadi saya berusaha untuk membeli secara acak, mahal sedikit tidak masalah yang penting tidak harus mengantri, penjualnya ramah dan baik, serta tentu saja barang dagangannya memuaskan. Well begitulah sekelumit cerita saya berbelanja di pasar tradisional, saya yakin pasti banyak yang mengalami kejadian seperti yang diceritakan diatas. Berbelanja di pasar memang memiliki seni tersendiri, dan selalu berhasil membuat saya tertarik untuk berkunjung kesana.
Nah kembali ke resep pindang cumi-cumi, proses membuatnya sangat mudah. Anda bisa memotong cumi-cumi menjadi ukuran kecil, atau membiarkannya utuh seperti yang saya hadirkan pada resep disini. Saya suka bentuk utuhnya karena terlihat lebih menarik ketika difoto. Bumbu-bumbu segar perlu dibakar hingga gosong, cukup cuci bersih bumbu beserta kulitnya yang melekat, tusukkan pada sebatang lidi dan panggang di kompor hingga terbakar. Bersihkan permukaan bumbu yang menghintam kala akan direbuis. Bumbu perlu dimemarkan sebelum dimasak, jadi pukul dengan ulekan hingga pipih.
Menurut Ci Ling-Ling, jenis kecap mempengaruhi rasa pindang. Kecap merk tertentu seperti cap Benteng rasanya lebih sedap dan memberikan warna coklat gelap yang cantik. Sayangnya kecap merk ini agak susah dicari di Jakarta Selatan, tetapi untungnya online shop banyak yang menjualnya. Salah satu pembaca JTT, pernah mengirimkan saya kecap asin dan manisnya, saya akui rasanya memang mantap. Kecap asinnya bahkan saya gunakan untuk membuat saus salad ketimun dan tomat favorit, rasa dan aroma terasi yang unik didalam kecap asinnya yang membuat saus salad terasa berbeda.
Berikut resep dan proses membuat pindang cumi-cumi ya.
Pindang Cumi-Cumi
Resep diadaptasikan dari Ci Ling Ling
Bahan:
- 1 kg cumi-cumi, isi sekitar 6 - 7 ekor
- 1 bongkah asam Jawa
- 1 sendok makan garam
- 5 - 6 sendok makan kecap manis
Bumbu:
- 5 siung bawang merah
- 2 cm jahe
- 4 cm kunyit
- 4 buah cabai hijau besar
- 4 buah cabai merah besar (saya pakai cabai merah keriting)
- 15 buah cabai rawit merah
- 2 sendok makan air asam Jawa yang kental
- 2 sendok teh garam
- 1 sendok makan gula merah, sisir halus
- 1 sendok makan gula pasir
- 700 - 800 ml air
Cara membuat:
Siapkan cumi-cumi, buang insang plastiknya, ujung mulut, isi perut dan tintanya. Biarkan kulit cumi-cumi. Cuci bersih, tambahkan asam jawa dan garam. Remas-remas hingga cumi-cumi mengeluarkan busa. Diamkan selama 20 menit, cuci hingga bersih.
Masukkan cumi-cumi ke panci/wajan untuk memasak pindang. Tambahkan kecap manis, aduk rata. Masukkan dan jejalkan kepala cumi-cumi ke dalam badannya. Semat ujung badan cumi-cumi yang terbuka dengan lidi agar kepalanya tidak keluar selama pindang dimasak. Sisihkan.
Tusuk bawang merah, jahe, kunyit, cabai merah besar dan cabai hijau besar dengan sebatang lidi atau besi. Panggang dikompor hingga permukaannya terbakar. Kupas kulit jahe, kunyit dan bawang merah, dan memarkan bumbu hingga pipih.
Siapkan panci, masukkan bumbu yang dibakar, cabai rawit, dan air. Masak hingga mendidih. Tuangkan rebusan bumbu ini ke panci berisi cumi-cumi. Tambahkan air asam, garam, dan gula. Masak hingga cumi-cumi empuk dan matang. Cicipi rasanya, sesuaikan asin, manis dan asamnya. Angkat dan sajikan panas. Super yummy!
Mba Endang...mau resep salad tomat ketimunnya hehe
BalasHapusHalo Mba Arie, simpleee: cabai rawit rajang, saus cabai botolan (optional), air jeruk lemon/nipis, garam, gula, dan kecap asin cap benteng (kecap asin lain jadi lain rasanya), mayo dikit kalau suka. Saya suka bikin banyak sekalian heheheh.
HapusOh, begitu ya caranya biar kepalanya tidak terpisah dari badannya. Terimakasih banyak infonya, mba Endang.
BalasHapusSama2 Mba Ima ^_^
HapusCumi" nya kayaknya sedap mba, boleh dicoba nih mba resepnya :D
BalasHapusiyaa, kemarin bikin, cuminya habis, masih banyak kuahnya, saya ceburin ikan bandeng wakakkak, enaaakk
HapusSedep banget, aku bayanginnya manis, asem, asin sama agak pedes gitu. Bikin nelen ludah, Mbak. Hehe
BalasHapussaya suka dgerus cabai rawitnya di kuah, adooooh makan nasi pakai kuahnya saja udah enaaakk
HapusJadi ingat pengalaman pribadi... sekarang kalau mau belanja di pasar saya tanya dulu sama penjualnya boleh ga dipilih, dari pada kena semprot .
BalasHapusPindang bandeng pernah saya coba dan hasilnya enak banget. Makasih resepnya mba Endang.
Gita, Tarakan
wakkakak, bener Mba Gita. Saya pikir hari gini masak masih kaya jaman dulu gak boleh dipilih barangnya.
HapusAaah Mba Endang... Ceritanya itu yang bikin saya makin betah dateng berkunjung ke blog ini terus.. Sukses terus mba Endang!
BalasHapusResepnya sama gak mba dengan pindang patin?
Thanks Mba Fatimah, senang resep dan artikelnya disuka ^_^
Hapuspindang patin palembang beda resepnya dengan ini Mba, tapi patin juga enak dimasak pindang cara ini ya.