Pagi ini saya pergi ke timbangan badan yang berdebu dan tergeletak tak tersentuh berbulan-bulan (atau tahun!) di sudut dapur. Betapa terperanjatnya melihat jarum berlari keangka mendekati 70 kg. Tobat! Ini adalah beban terberat yang pernah dipikul si timbangan sejak hidup bersama saya bertahun-tahun lamanya. Tidak terima dengan kondisi mengerikan ini, saya pun mulai menyalahkan kondisi disekitar, mulai dari jarum timbangan yang bergeser tidak akurat hingga handuk yang melingkar di kepala karena habis keramas. Walau saya dengan sadar mengakui jika akhir-akhir ini kaki terasa berat melangkah, nafas 'sedikit' ngos-ngosan kala menaiki anak tangga, atau celana jeans mulai susah dimasukkan melewati paha, rasanya tetap susah mengakui jika diri ini gendut.
Ibu saya minggu lalu ketika kami bertemu langsung berteriak ketika melihat saya, "Haduuh, tambah gendut! Tapi Mama juga di Paron naik berat badannya, makan terus." Saya hanya diam pasrah, kali ini saya enggan berjanji hendak diet dengan serius karena yakin Ibu pasti hanya mendelik tidak percaya. Sepatu kets yang susah payah dibeli dengan harga mahal, kini berdebu didepan pintu rumah, entah kapan saya akan menginjaknya lagi dan menyelusuri jalan-jalan di seputar komplek rumah.
Jika mau serius, saya sebenarnya tipe yang tidak terlalu susah menurunkan berat badan. Dalam seminggu mengurangi porsi makan dan banyak aktifitas maka pipi sudah mulai terlihat tirus, perut rata dan celana terasa longgar. Tapi sifat moody saya yang 'angot-angotan' dan terkadang susah termotivasi membuat tahap serius diet itu jarang muncul. Apalagi beberapa minggu terakhir ini saya tergila-gila dengan lontong dan ketupat, bukan karena efek menyambut Lebaran yang akan tiba 2 bulan lagi, tapi saya memang maniak dengan makanan ini. Di keluarga saya, hanya adik saya, Tedy dan Dimas, yang tidak menyukainya, namun yang lainnya sama seperti saya, penggemar berat. Mungkin karena dulu ketika kecil di Paron, kami selalu sarapan lontong. Lontong di sana dijual dalam dua jenis, lontong sayur dan lontong kecap. Saya menyukai keduanya! Lontong sayurnya terbuat dari sayur lodeh dengan kacang panjang, labu air (jipan) dan kacang tolo, sedangkan lontong kecapnya (kami menyebutnya tepo kecap) hanya diberi irisan tahu goreng, tauge dan kol yang disiram dengan kuah kecap yang terasa manis, asam, pedas. Walau tiap hari menyantapnya, saya tidak pernah merasa bosan.
Saking tergila-gilanya dengan lontong, setiap kali ke Pasar Blok A, saya pasti akan memesan lontong ke Bapak penjual tahu. Beliau selalu menyediakan lontong yang cepat sekali diserbu pembeli, jadi saya memesannya di hari Sabtu, dan di hari Minggunya tinggal ditenteng pulang. Lontong-lontong ini tahan hingga lima hari lamanya di kulkas, setiap hari sepulang kantor saya akan menyantapnya, bukan dengan sayur lodeh melainkan dengan apapun yang ada di rumah. Sambal pecel, asem-asem daging, sayur asem, tumis tempe, sambal terasi, selama dimakan dengan lontong maka apapun menurut saya sedap rasanya.
Ketika membuat lontong sendiri terasa susah, saya bahkan 'bela-belain' membuat lontong instan dari nasi lembek yang ditumbuk halus dan dicetak di wadah plastik. Hasilnya tentu saja tidak semantap lontong asli, tapi it's still okay demi bisa menyantapnya dengan sayur lodeh dipanci. Saya berusaha mengerem kegilaan tersebut, namun apa daya iman saya lemah, bahkan saat ini saya sedang membayangkan potongan lontong yang disiram dengan kuah asem-asem iga yang gurih dan pedas. Tobat! Mungkin saya harus stop ke pasar agar tidak melihat Bapak penjual lontong, atau ke depan pasar agar tidak melihat Ibu penjual lontong sayur, atau disamping pasar kala malam hari agar terhindar dari penjual sate ayam. Swear, apakah ada cara untuk menyetop kegilaan akan lontong? Dua bulan lagi Lebaran tiba, saya ingin saat itu badan 'sedikit' tidak sebesar kulkas tiga pintu (saya tidak pede hendak menuliskan kata langsing). Saat itu setidaknya akan terlihat agak manis ketika berfoto keluarga dan tentu saja agar bisa balas dendam menyantap ketupat segambreng. Gubrak!
Wokeh menuju ke resep laksa ayam kali ini. Saya sebenarnya pernah share resep sejenisnya bertahun-tahun yang lalu, bumbu dan komponen bahannya tidak terlalu jauh berbeda. Ada banyak ragam jenis laksa, jika ke Singapura kita akan menemukan laksa versi Peranakan yang berkuah kental, berbumbu kari, dan menggunakan mie khusus laksa. Di Penang, Malaysia, jenis laksa berkuah ringan, asam pedas, dengan potongan ikan didalamnya dan biasa disebut dengan Penang Asam Laksa. Indonesia juga memiliki versi laksa sendiri dan yang terkenal adalah laksa Betawi. Nah laksa jenis ini berkuah santan berwarna kuning, biasanya disajikan dengan ketupat, bihun, potongan ayam, tahu dan tauge. Rasanya tidak seberat laksa kari di Singapura, segar dan gurih. Sayangnya laksa Betawi mulai jarang diperjualbelikan di Jakarta, jikalau ada pun hanya di tempat-tempat tertentu, tidak seperti ketupat sayur yang bisa ditemukan hampir disemua pelosok kota. Hore!
Membuat laksa Betawi sangat mudah, yang agak ribet mungkin menyediakan pernak-pernik pendukungnya. Saya terkadang skip semua bahan pendukung tersebut, yang penting masih terdapat kuah laksa, suwiran ayam, bihun dan tauge. Maknyus!
Berikut resep dan prosesnya ya.
Laksa Ayam
Resep hasil modifikasi sendiri
Untuk 4 porsi
Tertarik dengan resep masakan Betawi lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
- ½ ekor ayam, potong menjadi 4 bagian
- 500 gram bihun yang sudah direbus hingga matang, ditiriskan
- 1200 ml kaldu ayam atau air biasa
- 75 ml santan kental instan
Bumbu dihaluskan:
- 5 siung bawang merah
- 4 siung bawang putih
- 1 ½ cm kunyit
- 5 butir kemiri sangrai
- 1 cm jahe
- 2 sendok makan ebi dihaluskan
Bahan dan bumbu lainnya:
- 2 sendok makan minyak untuk menumis
- 1 batang serai, dimemarkan
- 3 lembar daun salam
- 3 lembar daun jeruk purut
- 2 cm lengkuas, memarkan
- 2 sendok teh garam
- 2 sendok makan gula jawa sisir halus
- 1 sendok makan air asam jawa
- 1 batang daun bawang, rajang halus
Pelengkap:
- 4 buah telur rebus, belah dua
- Tauge, rendam air panas dan tiriskan
- Ketimun iris korek api
- Jeruk nipis, iris
- Daun kemangi
- Bawang merah goreng
Sambal (rebus dan dihaluskan):
- 5 buah cabai merah keriting
- 10 buah cabai rawit
Cara membuat:
Siapkan panci, masukkan sekitar air dan ayam. Rebus hingga ayam matang. Tiriskan ayam dan sisihkan air kaldu rebusannya. Suwir-suwir ayam, sisihkan.
Siapkan wajan, panaskan 2 sendok makan minyak. Tumis bumbu halus hingga harum dan berubah warnanya menjadi lebih gelap. Masukkan serai, daun salam, daun jeruk, dan lengkuas. Tumis hingga rempah layu. Masukkan air kaldu rebusan ayam ke wajan berisi tumisan.
Rebus hingga mendidih, masukkan gula, garam dan air asam. Kecilkan api, tambahkan santan dan suwiran ayam, aduk dan masak dengan api kecil hingga mendidih dan kuah sedikit mengental. Cicipi rasanya, sesuaikan gula dan garamnya. Angkat.
Siapkan mangkuk saji, tata bihun rebus, suwiran ayam, tauge, dan ketimun. Siram dengan kuah laksa dan ayam. Sajikan bersama daun kemangi, telur rebus dan sambal. Kucuri dengan jeruk nipis dan taburan bawang merah goreng. Super yummy!
Sumber:
Wikipedia - Laksa
Dear Mbak Endang...
BalasHapusCuma ingin berbagi, saya bisa turun 10 kg dengan diet ketogenik klasik dalam kurun waktu 2 bulan. Berbeda dg diet keto yang mb Endang jalanin dulu, kalau di ketogenik klasik kita fokusnya ke good fat, good protein dan good carb. Jadi bukan makan jeroan gajih dll. Sangat dianjurkan makan sayuran berdaun hijau. So far hanya diet ini yang bisa saya lakukan dengan konsisten sampai hampir 3 bulan ini setelah selama ini mencoba berbagai macam diet karena kita tidak perlu menahan lapar. Sudah banyak jurnal-jurnal penelitiannya. Coba deh mb Endang 2 bulan aja setelah target BB mb tercapai mb bisa meningkatkan jumlah asupan karbo dengan sistem Cyclical Ketogenic Diet atau beralih ke diet low carb yang tidak terlalu ketat gpp.
Arie
Halo Mba Arie, wah thanks infonya ya Mba, saya lagi coba kembali ke selera lama, kalori dikurangi, banyak sayur buah dan protein. Masalahnya memang cuman keteguhan hati wakkakkakak. sukses yaa
HapusDear mbk endang. Sepertinya saya akan secepatnya eksekusi resepnya karna 1 alasan. Ada bihun nya 😃. Kalo mbak endang tergila gila lontong maka saya adalah orang yang tergila gila dengan mi putih jenis apapun. Sohun,bihun,mi jagung. Thanx resepnya mbak. Dan pesan saya nikmati aja lontongnya dan jangan berfikir untuk berhenti mencintainya 😄😄
BalasHapusWakaka, teman kantor saya sama seperti Mba Rini, maniak sama bihun, dia bisa seharian cuman makan bihun dan gak bosan. Saya juga suka bihun, tapi gak semaniak lontong wkakakak
HapusWah sama mbak, aku sekeluarga juga maniak lontong. Karena jaman dulu dari pasar jajannya pasti tepo sih, ditambah lagi ada "bada kupat"..,mendarah daging deh menu lontong ini. Btw, di Paron nggak ada tepo pecel kah? Di tempatku ini paling banyak dijual.
BalasHapuswaaak iyaa lupa 1 lagi tepo pecel adaaaa, dan yep sukaaa. paling enak kalau pakai bunga turi, hadoooooohhh
HapusLontong,tepo,ketupat emang asli bikin ketagihan...anti eneg jg ko mbak Endang
BalasHapusNur_padasan
betul Mba Nur, mungkin karena kita penggemar lontong kali ya wakkakak
HapusMbak Endang, laksa ayamnya menggiurkan. Saya yang suami orang Betawi belum pernah nyobain laksa ayam.
BalasHapusMertua kalau buat laksa betawi yang notok kuahnya pakai teri medan, udang rebon dan ebi. Plus parutan kelapa muda.... enaaaak bin koletrol... 😝 kalau rajin mau nyoba insyaaAllah saya bagi resepnya
Halo Mba Rina, waaah saya tertarik dengan resep laksa betawinya yang otentik. Kayanya mantep banget. Apakah resepnya bs diemail ke endangindriani@justtryandtaste.com? Terima kasih yaaaa
Hapus