Jika berangkat ke kantor di pagi hari dengan waktu mepet, saya memilih menaiki taksi jenis konvensional. Terkadang Trans Jakarta yang walau memiliki jalur khusus, namun karena seringkali tidak steril, membuat perjalanan singkat menjadi super panjang. Suka duka saya bersama supir taksi sudah tak terhitung banyaknya, lebih sering sih suka, karena rata-rata saat ini supir taksi telah dibekali dengan pelayanan yang baik. Pengalaman saya, umumnya jika menaiki taksi dipagi hari, supir taksi lebih ramah dan bersahabat, mungkin karena masih fresh, belum stress terkena macet panjang dan masih penuh dengan semangat menyambut hari baru. Terus terang hingga saat ini saya jarang menaiki taksi daring, alasannya bermacam-macam, namun yang paling utama saya malas menunggu. Saya lebih suka menjemput bola, pergi ke tepi jalan, atau menghampiri supir taksi yang mangkal di jalan-jalan tertentu dibandingkan menanti supir datang ke rumah. Menunggu adalah pekerjaan yang sangat, sangat membosankan, dan penuh ketidakpastian. Well, seperti itulah yang saya rasakan. 😂
Selama dalam perjalanan bersama Bapak taksi, bermacam-macam percakapan bisa terjadi, walau banyak juga supir taksi yang diam seribu bahasa atau agak jutek. Dasarnya saya suka mengobrol, ketika bertemu supir taksi yang asyik, kami bisa bertukar pikiran dengan seru hingga tiba didepan lobi kantor. Umumnya supir taksi sangat berwawasan, dan positif, membuat perjalanan menjadi menyenangkan, apalagi jika terkena macet yang panjang. Terkadang saya terkagum-kagum dengan wawasan mereka yang luas dan up to date dengan berita terkini. Nah pada satu waktu, saya bertemu dengan Bapak supir taksi yang sedikit sepuh. Setelah bercerita ngalor-ngidul tentang politik dan kondisi DKI, kami terdampar ke kuliner, topik yang sepertinya sama-sama kami sukai. Sudah bukan rahasia lagi, jika memerlukan rekomendasi tempat makan enak, murah dengan porsi besar maka supir taksi bisa menjadi sumber yang terpercaya.
Awalnya si Bapak bercerita tentang harga semangkuk bubur ayam yang beliau makan di daerah Terogong, Fatmawati. "Tadi saya sarapan bubur ayam di Terogong, Mba. Masa semangkuk bubur ayam harganya tiga belas ribu. Kalau saya tambah tempe goreng jadi lima belas ribu. Saya makan bubur sajalah," keluhnya. "Wah mahal Pak, di belakang kantor saya saja harganya hanya delapan ribu. Enak dan banyak lagi porsinya," timpal saya sedikit kesal dengan si tukang bubur ayam yang belum pernah saya lihat batang hidungnya. "Mungkin karena dia mangkal didekat JIS (Jakarta International School), makanya jualannya mahal. Padahal sarapan bubur kan cuman numpang lewat, sebentar saja lapar lagi," lanjut si Bapak dengan nada sedikit sesal.
"Mending makan di warteg ya Pak, dua belas ribu udah dapat nasi lengkap dengan lauk dan sayur," ujar saya membandingkan. "Atau nasi Padang Mba. Ada tuh penjual nasi padang didaerah Grogol, murah banget jualannya. Saya sebulan sekali mampir kesana makan siang. Nasinya dikasih dua mangkuk, pakai sayur lengkap dan peyek udang segede piring cuman lima belas ribu. Mana sambal ijonya bisa ambil sesuka hati lagi," air liur saya langsung menetes membayangkan sedapnya nasi Padang yang digambarkan si Bapak. "Warungnya ditepi jalan Pak?" Tanya saya penasaran. "Nggak, masuk ke gang kecil, cuman rumah biasa yang disambi membuka warung nasi. Ramainya tapi minta ampun, orang-orang kantoran banyak yang makan disana, habis murah. Makan berempat paling cuma sembilan puluh ribu." Sayang lokasi si warung nasi Padang jauh dari base camp, kalau masih seputaran rumah dan kantor bisa-bisa saya jabanin saat liburan.
"Itu sambal ijonya gimana ya bikinnya? Enak banget! Pakai teri kecil-kecil, petai dan rasanya tidak pedas. Gurih! Si Uda-nya juga baik banget, ambil banyak-banyak sambal nggak perlu tambah bayar." Oke deh Bapak, penjelasannya mengenai sambal cabai hijau buatan si Uda membuat saya langsung berjanji untuk mengeksekusinya di hari weekend. Cabai hijau adalah jenis sayuran dan bumbu favorit saya, entah mengapa setiap kali melihat cabai keriting hijau dipasar pasti tangan saya gatal hendak membelinya. Mungkin karena warnanya yang hijau, tampilannya yang segar dan terlihat crispy, serta permukaannya yang kemilau membuat saya ingin mengunyahnya saat itu juga.
Cabai hijau keriting di pasar selalu ada setiap hari, jadi membuat sambal cabai hijau bukanlah masalah besar. Saya menambahkan tomat hijau yang banyak sehingga rasa sambal menjadi sedikit asam dan porsinya lebih banyak. Plus irisan petai dan teri Medan yang gurih, sambal cabai hijau ini menjadi juara rasanya. Membuatnya sama sekali tidak sulit, saya rebus cabai, tomat, bawang putih dan bawang merah terlebih dahulu untuk menghilangkan aroma dan rasa yang langu, walau nantinya sambal tetap ditumis namun merebusnya terlebih dahulu akan memberikan rasa berbeda. Sambal ini tahan lima hari didalam kulkas, dan sedap untuk menemani aneka lauk seperti tempe/tahu goreng, ayam goreng atau bakar dan ikan. Tapi saya paling suka mencocolkan irisan timun ke sambal sebagai pengganti saus salad umumnya, rasanya maknyus!
Berikut resep dan prosesnya ya.
Sambal Cabai Hijau
Resep hasil modifikasi sendiri
Bahan:
- 150 gram cabai hijau keriting, potong kasar
- 50 gram cabai rawit hijau
- 6 siung bawang merah
- 4 siung bawang putih
- 200 gram tomat hijau, rajang kasar
- 50 gram teri Medan
- 1 papan petai, kupas, rajang kasar
- 2 sendok teh garam
- 1 sendok makan air asam jawa
- 1 sendok makan gula pasir
- 3-4 sendok makan minyak untuk menumis
Cara membuat:
Masukkan cabai, bawang merah, bawang putih dan tomat ke dalam panci. Tambahkan air hingga bahan terendam. Rebus hingga mendidih, tambahkan waktu merebus selama 1 menit setelah air mendidih. Angkat dan tiriskan. Tumbuk kasar. Saya memasukkan semua bahan rebusan ke dalam chopper dan proses hingga hancur. Sisihkan.
Panaskan 3 sendok makan minyak di wajan, masukkan teri, tumis hingga warnanya berubah agak keemasan. Masukkan petai, aduk dan tumis selama beberapa detik. Tuangkan bahan sambal yang sudah ditumbuk, aduk dan masak hingga warnanya berubah lebih gelap. Tambahkan minyak jika sambal terlalu kering. Masukkan garam, gula dan air asam jawa. Masak sambal hingga matang. Cicipi rasanya, sesuaikan rasa asinnya. Angkat dan sajikan. Super yummy!
wahh yummyy..nampak sedap ni... :)
BalasHapusmantap Mba Julie, hehehe
HapusMbaa.. Makasih banyak resepnya yaa. Ini ajib bgt. Aku selalu stock teri nasi. Jadi ngileerr liat resep ini. Aku mau coba bikin ah
BalasHapusSamaaa saya juga selalu stock teri nasi hahhaha, habis apa2 enak kalau dikasih teri ya, jadi gurih.
HapusBangeett.. Nasgor, dicabein pake pete, digoreng kering. Ah mantap lah teri nasi itu
Hapuswuihhhh sedappp
HapusMba Endang terima kasih, ini resep yang aku tunggu-tunggu Mba. Aku belum bisa bikin sambel hehehe. Terima kasih Mba Endang
BalasHapusHalo Mba Aulisa, silahkan dicoba yaa, bikinnya sangat mudah dan sedaapp, swear hehhehe
HapusGampang banget, nggak perlu ngulek ini. Asyik dicoba ah
BalasHapusyeep, pekerjaan paling menyebalkan kan ngulek yaa hehhee
HapusWah buat menu arisan keluarga nanti akhir bln ini. Dr kemaren bingung mau masak menu apa. Makasih mba endang.
BalasHapussip Mba Dewi, moga suka yaa
Hapusmbak endang.. saya mau coba resep sambel ijonya, tapi saya salah beli teri nasi yang basah. kira2 gimana ya mbak solusi nya?? maaf ya mbak saya masih pemula 🙏🙏
BalasHapusHalo Mba, goreng saja teri basahnya sampai agak kering, dan campur ke sambal yang sudah matang
HapusHi mbak, kalau mau simpan lama..bagaimana ya? In a fridge or just put outside normal temperature?
BalasHapusbisa 2 minggu dalam kulkas, sy tdk pernah simpan di suhu ruang
Hapusmbak.. kok ga bisa keluar kuah nya ya.. saya tambahin minyak , juga ga keluar kuah hitam nya..
BalasHapuskuahnya nggak akan keluar, itu semua minyak jadi kembali ke selera saja ya, makin banyak minyaknya teksturnya akan terlihat berkuah
Hapusooo.. ya ya ya.. terimakasih banyak.. :)
HapusTeri medannya lagsung ditumis bareng dgn sambalnya ya mbak? Gak direndam dan digoreng dulu kah? Terimakasih sblmnya mbak🙏🙏
BalasHapussaya nggak Mbak, tapi kalau mau direndam dan goreng dulu juga gpp.
Hapus