Melihat kedua keponakan saya, Rafif dan Fatih, membuat saya bersyukur betapa penuh warnanya masa kecil saya dulu. Kedua bocah tersebut - sepertinya juga hampir semua bocah lainnya yang hidup di kota besar - sebagian besar waktu mereka penuh diisi dengan sekolah, segambreng tugas dan kegiatan sekolah, aneka les tanpa henti dan kemacetan dijalan. Bahkan di Sabtu atau Minggu pun mereka harus les piano, gitar, karate, berenang, dan kursus Bahasa Inggris. Jika masih terdapat sisa waktu untuk beristirahat saya melihat keduanya duduk di depan komputer asyik bermain game, atau bergeletakan di sofa dengan gadget di tangan. Bagi saya, betapa stress dan tidak penuh warnanya kegiatan seperti itu.
Bandingkan kala saya masih kecil dulu. Ketika kami masih tinggal di Tanjung Pinang, rumah kami terletak didekat pantai dan rawa. Jarak antar rumah tetangga cukup berjauhan dan dipisahkan dengan hutan kecil yang tidak terlalu lebat. Pohon bakau memenuhi parit disamping rumah, pohon kelapa menjulang tinggi dengan buah yang bergelantungan. Sebuah parit selebar dua meter mengalir didepan rumah, airnya berasal dari laut dan ketika pasang tiba akan penuh terisi ikan-ikan kecil. Setiap hari sepulang sekolah saya akan menghabiskan waktu dihutan, atau diparit mencari ikan.
Ketika kami sekeluarga pindah ke Paron, Ngawi, lingkungan pedesaan berbeda dengan kondisi rawa, hutan dan laut seperti di Tanjung Pinang. Perbedaan itu bukannya tidak menyenangkan, karena masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Sawah yang menghijau, sungai dengan udang atau ikan kecil didalamnya, parit di tegalan sawah berisi lubang-lubang belut, atau jangkrik kala tanah disawah mulai mengering. Hampir setiap hari kehidupan saya penuh warna, entah terjun ke sungai dangkal mencari kijing (sejenis lokan, kerang sungai), mencuri tebu di kebun tebu nan luas di Paron dan menikmati sari manisnya disemilir udara panas kemarau atau memanjat pohon mangga di rumah teman. Saya hampir tidak pernah berada dirumah, setiap hari adalah petualangan. Walau kehidupan orang tua saya saat itu penuh dengan kekurangan namun secara batin kami sangat kaya. Saya bersyukur pernah mengalami masa kecil yang penuh warna sehingga saat ini saya bisa bercerita hingga berjilid-jilid banyaknya. Semua pengalaman itu tidak bisa digantikan dengan materi apapun.
Wokeh kembali ke resep bihun yang saya share kali ini. Dulu, bihun goreng dan mie rebus adalah dua makanan yang sering sekali dibuat Ibu kala kami semua masih kecil. Murah, porsi besar, lauk sayur dalam satu panci dan tentu saja mengenyangkan. Tak peduli bahwa bihun dan mi adalah karbohidrat, kami tetap menyantapnya dengan nasi segunung. Jaman itu boro-boro memikirkan mengenai empat sehat lima sempurna, bisa makan kenyang saja sepertinya sudah harus disyukuri. Walau banyak modifikasi bihun bertebaran, entah dimasak dalam bumbu kari atau a la Singapur (resepnya pernah saya share disini dan disini), tetap saja selera saya selalu kembali ke bihun goreng polos tanpa tambahan apapun kecuali sayuran 'segambreng'. Saya bahkan anti menambahkan irisan bakso, sosis, atau telur orak-arik. Berkali-kali membuat bihun dengan tambahan protein (kecuali suwiran ayam kampung), selalu berakhir dengan bihunnya saja yang disantap sementara bahan tambahan lainnya disisihkan.
Sebuah warteg di dekat rumah menjual bihun goreng super murah, hanya lima ribu rupiah saja dan porsinya sepiring! Jika tidak ingat makanan ini termasuk karbohidrat sederhana, ingin rasanya setiap hari saya membeli bihun goreng porsi jumbonya. Dibesarkan dengan bihun goreng, maka makanan ini menjadi salah satu favorit. Saya bahkan bisa menghabiskan bihun sewajan sendiri dalam sekejap. Tobat!
Tidak ada tips khusus membuat bihun goreng, saya menggunakan bihun beras kiloan dari pasar, bisa menggunakan bihun jagung. Untuk sayurannya saya suka kol dan wortel karena teksturnya keras, tidak berair sehingga tidak membuat bihun basah. Sayuran lain seperti pakcoy dan sawi juga sedap digunakan. Pastikan untuk meniriskan sayuran setelah habis dicuci hingga benar-benar kering, menumisnya (tanpa garam) hingga tidak basah, baru bihun rebus dimasukkan.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Humble Bihun Goreng
Resep hasil modifikasi sendiri
- 250 gram bihun kering
- 1/4 kol, rajang kasar
- 2 batang wortel, iris korek api
- 2 batang daun bawang, rajang halus
- bawang merah goreng untuk taburan
Bumbu:
- 2 sendok makan minyak untuk menumis
- 8 siung bawang putih, cincang halus
- 2 sendok makan ebi, dihaluskan dengan blender
- 2 sendok makan saus tiram
- 1 1/2 sendok teh merica bubuk
- 3 sendok makan kecap manis
- 1/2 sendok makan garam
Cara membuat:
Siapkan panci, masukkan air yang cukup untuk merebus bihun. Rebus hingga air mendidih. Masukkan bihun, aduk dan masak hingga bihun matang. Jangan berlebihan merebus hingga bihun terlalu lunak. Angkat dan segera tiriskan. Potong-potong bihun dengan gunting agar ukurannya lebih pendek. Sisihkan.
Siapkan wajan, beri 2 sendok makan minyak. Tumis bawang putih hingga harum dan berubah sedikit kecoklatan. Masukkan ebi, aduk rata. Tambahkan saus tiram, merica, kecap manis, aduk dan tumis selama 1 menit.
Masukkan sayuran, aduk dan masak hingga sayur matang dan tumisan tidak basah. Tambahkan garam, aduk rata, matikan api kompor.
Masukkan bihun rebus, aduk hingga bihun, bumbu dan sayuran tercampur rata. Cicipi rasanya, sesuaikan asinnya. Hidupkan kembali kompor dan masak dengan api kecil sambil bihun diaduk-aduk agar tidak gosong didasarnya. Masak hingga bihun panas dan semua bahan matang sempurna. Angkat dan sajikan dengan taburan bawang merah goreng, cabai rawit atau guyuran sambal pecel. Super yummy!
Saya aja yang dibesarkan di Jakarta iri dengan mbak Endang, warnanya banyak... kalau saya paling naik sepeda atau main ke kuburan...
BalasHapuswakakkak, saya mainnya ke kali gedhe mba, mandi disungai pulang kakinya disabet pakai tali sama bapak wkakakaka
HapusAnak jaman now memang tangannya harus ditarik biar mbolang kok mbak...
BalasHapusSenangnya hidup didesa eksploitasi nya kenyang
Nur_padasan #sudut boyolali
Iyaa, hidup didesa itu membuat anak2 lebih tough, mandiri dan kreatif ya.
HapusHahaha...masa kecil mba endang sama kayak aku. Aku tinggal di kaki gunung gede cipanas puncak. Yg samping kiri kanan masih banyak ladang sayur, dan kebun arbei, serta sungai sungai. Aku sering nge bolang main di sungai dan kebun arbei sampai kulit pada baret baret kena duri arbei, tapi happy aja mba pakai celana pendek dan topi. Kulit menghitam dan busik, hahahaha....beda sama anakku sekarang, waktu main ke kebun raya bogor, injak rumput aja takut dan geli mba, harus pakai alas kaki...😂😂 btw mba endang yang baik, apakah bihun ini bisa di ganti soun ? Dan methode nya sama ajakah mba...? Mhn pencerahan yaaa..ini cocok utk bekal anak TK mba. Simple dan cepet masaknya. Tinggal tambah scrambel egg di atasnya hehe....
BalasHapusWaaah enak kayanya itu, mana cipanas adem banget, saya sukaa dan dah bayangin betapa indahnya, banyak tanaman seru2. Bihun bs diganti soun, tapi saya belum pernah pakai soun. Kayanya rebus soun, lumuri dengan kecap manis dan sedikit minyak dulu biar gak menggumpal, baru diaduk bersama tumisan bumbu
HapusAlhamdulillah saya walaupun kecil dan besar di Jakarta tp sering mudik klo libur ke desa tempat bapak saya lahir di Slawi, mandi di kali, kejeblos jeblos jalan di pematang sawah, makan tebu di kebon tebu pabrik, bolak balik lewatin pabrik teh pagi2 dan menghirup wanginya teh melati yg lg diproduksi, kenyang makan sate dan sauto Tegal. Tapi jakarta masa sy kecil jg menyenangkan, blm macet, masih ada becak, masih ada kuda lumping, barongan dan ondel2 lewat. Masih main ciplek, lompat karet, benteng dll. Enaaak deh. Cuma mungkin ngga semenarik di daerah ya, spt mba Endang di Tj Pinang enak bgt ya tinggal dkt hutan, pantai, nyari ikan, lokan dll. Kalau di Jkt paling nyari ikan betok, sapu2 di got, beli ikan cupang di tk ikan sepulang sekolah 😂😂
BalasHapusOh ya di tempat tinggalku skrg depan rumahku tk nasi uduk jual bihun gorengnya malah seporsi 3000 perak. enaak bgt bihun goreng bumbu jawa terasa ebi, kemiri dan mericanya. Saya jg bingung untungnya dr mana ya sepiring bisa 3000 perak.
Halo Mba Nila, Slawi pasti adem ya, banyak kebun teh dan sayuran, wah saya pengen one day pensiun bisa stay dikaki gunung wakakkak. Bihun goreng di rumah saya juga boleh beli 3000 perak cuman saya suka beli 5000 biar makin banyak, wakakkakak maruk.
HapusSaya beberapa kali masak bihun ini pake resep mie gireng jawa nya Mba Endang, enak juga Mbak, ^_^. Btw, kalo ebi sama bawangnya diuleg ja, bisa kali ya Mbak (males mblender ebi)?
BalasHapusEka
Hai Mba Eka, bisa Mba, langsung ulek barengan saja, yamg penting kan dihaluskan
Hapussiip Mbak, matur nuwun... tetep ditambahin resep2 rumahan yang oke kayak gini ya Mbak ^_^
HapusDear mbak endang...
BalasHapusWah tanggung jawab nih mbk... bihun kesukaan saya dan sya lg diet ketaat sgala karbo... tp sungguh stlh liat postingan ini saya ngecesh bangeet 😢😢
pengen diet karbo Mba Rini, apa daya saya masih suka mie, bihun dan spaghetti wakakaka
HapusKemaren bikin bihun goreng ini untuk berbuka puasa. Biar komplit bikin bakwan sayuran juga. Bihun dan bakwan diguyur dengan sambal pecel cap djeruk purut dan toppingnya krupuk bawang. Bihunnya ga pakai ebi krn ga punya. Diganti sama kaldu bubuk no MSG aja. Sedapnyaaa...anak2 pada semangat nambah makannya...Alhasil dendeng cabe ijo, sayur lodeh, telor balado ga ada yg nyolek...Makasih ya Mba Endang buat resep2 jempolannya
BalasHapusWawww mantap Mba Ify, thanks sharingnya yaa, saya bisa membayangkan betapa nikmatnya wakkakka, ngilerrr
Hapus