Hari Sabtu, seperti biasa jadwal saya adalah mengunjungi Ibu ke Mampang, rumah adik saya, Wiwin. Kami berencana hari itu berkumpul bersama untuk membakar sate jatah pembagian daging kurban yang lalu. Adik saya, Tedi, datang dari Cilebut bersama istrinya, Diar dan kedua putrinya yang imut. Hari itu saya memasak sate kambing, sate ayam dan tongseng daging, menu yang selalu dibuat kala Lebaran Haji tiba. Menjelang sore, ketika perut telah kenyang dengan tongseng dan sate, saya duduk di kamar Ibu menonton pertandingan bulu tangkis Asian Games. Sejak era emas bulu tangkis telah berlalu dari bumi Indonesia, saya kurang mengikuti perjalanan olah raga ini, jadi walau pertandingan bulu tangkis dimainkan di televisi dan ditonton dengan serius oleh Ibu dan adik saya, Dimas, saya lebih memilih browsing internet di hape.
"Semoga Anthony Ginting hari ini nggak cedera kram lagi," komentar Ibu saya, beliau berbaring di matras tebal dilantai dekat televisi agar bisa melihat lebih jelas. Walau tidak terlalu tertarik, saya ikutan nimbrung, "Memang si Ginting hebat Mba?" tanya saya tanpa mengalihkan tatapan dari layar handphone. "Hebat kalau mainnya dua set saja, kalau sudah tiga set biasanya kalah." Saya menatap layar kaca ketika mendengar jawaban itu.