Bayangkan jika menanam pisang dihalaman secuplik di Jakarta, er.... Contohnya seperti adik saya, Wiwin. Keluarga adik saya tinggal disebuah rumah cluster dimana setiap rumah tidak berpagar, dan dihiasi dengan sebuah halaman kecil untuk aneka tanaman hias. Nah sekitar dua tahun lalu, saya membawa bibit pisang mini dari rumah kakak di Batam. Pohon pisang yang di Batam bertubuh kerdil, tak dinyana tumbuh bongsor dan gendut di halaman rumah Wiwin, walau pendek namun batangnya kekar dan daunnya selebar pohon pisang normal. Dalam sekejap si pisang beranak banyak, beberapa ditransfer kemana-mana, siapapun yang berminat dipersilahkan mengambilnya sendiri.
Si pisang berbuah dahsyat, setiap 8 bulan sekali akan mengeluarkan bunga besar dan panjang yang terlihat konyol dibandingkan batang pendeknya, dan membutuhkan waktu sekitar 5 bulan untuk membuat buah matang sempurna. Sekali berbuah, minimal ada 10 sisir! Buahnya seperti pisang jenis Cavendish atau Sun Pride di supermarket, hanya karena kandungan gulanya yang tinggi sehingga mudah sekali matang dan busuk. Jika pisang mulai berbuah, Pak Satpam akan memberikan kode, "Wah pisangnya berbuah lagi, jangan lupa ya Bu, dibagi-bagi," dan memang itu selalu yang terjadi. Seingat saya, pisang dan anaknya itu telah berbuah tiga atau empat kali, hampir semua buah dibagikan ke tetangga dan Pak Satpam. Kami tidak mengatakan buahnya tidak enak, justru buahnya sangat manis, dagingnya lembut, hanya tobat banyaknya. Satu buah segede lengan bayi dan cukup megap-megap menyantapnya. Saya sudah mengolahnya menjadi aneka cake, kue dan adik saya meblendernya bersama buah lain menjadi smoothie. Tapi pada akhirnya kami semua merasa enough!
Hal yang dikeluhkan adik saya sebagai pemilik rumah adalah pohon pisang yang rimbun, walau hanya setinggi kurang dari 1,5 meter namun daunnya begitu banyak, lebar dan menutupi taman kecil itu. Daunnya bukan seperti pisang batu atau kepok yang cantik sebagai pembungkus makanan. Kami pernah menggunakannya untuk membungkus lemper, setelah dikukus warna daun akan berubah menjadi kehitaman. Walau begitu tetap bermanfaat untuk membuat aneka pepes, dan bothok. Hal lain yang menyusahkan adalah batangnya yang besar. Ketika buah selesai dipanen, Pak Satpam dan tetangga gembira menerima buah segar gratis, pemilik rumah dipusingkan bagaimana caranya membuang gedeboknya. Bahkan tukang sampah ogah membawanya bersama gerobak karena, "Dilarang membuang batang tanaman besar di tempat pembuangan sampah Bu," ujarnya. Akhirnya, si Mbak Yati, asisten rumah tangga adik saya harus mencacah batang pisang menjadi ukuran kecil sebesar sandal jepit, agar bisa masuk ke dalam plastik sampah. Dengan cara ini tukang sampah terpaksa mengangkatnya.
Saat ini adik saya sepertinya sudah bosan dengan si pisang yang terus subur mengeluarkan anak. Berulangkali dia berkata, "Kayanya aku tebang saja semua nih pisang, bikin jelek halaman saja." Ibu saya biasanya langsung protes, "Jangan lah Nduk, dia nggak ganggu lho, malah menghasilkan makanan." Saya sendiri, sebagai pembawa pisang dari Batam, hanya nyengir kuda. Yah, stock di rumah kakak saya masih banyak, kalau habis dirumah adik saya, bisa segera didatangkan lagi bibitnya dari Batam. 😅
Nah kembali ke resep, dulu ketika masih tinggal di Paron, Ibu saya memiliki sebuah pohon pepaya gantung yang tumbuh persis dihalaman belakang berdekatan dengan dapur. Pohonnya sudah tua, namun sangat subur dengan batang utama yang gendut. Telah ditebang beberapa kali sehingga bercabang banyak, dan dari cabang ini mengalirlah bunga-bunga pepaya gantung cantik yang sedap untuk aneka masakan. Terkadang Ibu begitu bosan dengan bunga pepaya, dan membiarkannya berubah menjadi buah. Sayangnya buah pepaya gantung kurang manis rasanya, jadi biasanya dipanen muda untuk diolah menjadi sayur pepaya.
Dulu di kampung, masakan bunga atau daun pepaya sebatas hanya diurap, pecel atau tumisan yang simple, namun di resto Manado di Jakarta, bunga pepaya ditumis bersama ikan cakalang dan menjadi sayur favorit saya jika bersantap disana. Banyak yang mengeluhkan rasa bunga atau daun pepaya yang pahit dan susah dienyahkan, alasan itu yang membuat mereka enggan mengolah jenis sayur ini. Saya justru suka dengan rasa pahitnya, sejak kecil lidah saya telah bersahabat dengan rasa pahit jamu 'godhong kates' (daun pepaya) atau rebusan daun pepaya dengan sambal terasi. Apa afdolnya menyantap daun dan bunga pepaya atau pare jika tidak ada rasa pahitnya bukan? Nah beberapa tips menghilangkan rasa pahit seperti meremas-remas bunga dengan garam beberapa kali, merebusnya beberapa kali, merebusnya dengan campuran daun jambu biji atau daun beluntas, atau jika di Jogya dan Solo, masyarakat disana merebus daun atau bunga pepaya dengan sejenis lempung / tanah liat yang khusus. Saya belum pernah mencoba tips terakhir, tetapi Ibu saya biasanya hanya mencampur bunga atau daun pepaya dengan daun beluntas saat merebus, cara itu cukup manjur mengurangi pahitnya.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Tumis Bunga Pepaya Ikan Tongkol
Untuk 6 porsi
Tertarik dengan resep tumis sayur lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Tumis Kangkung Belacan
Tumis Daun Pepaya dengan Ikan Asin
Tumis Acar Buncis dengan Ayam Cincang
Nasi padang or masakan manado? Sya pilih masakan manado. Favorit mbaaaa,cuma jarang sekarang dapat kembang pepaya di tukang sayur. Mba dapatnya di pasar?
BalasHapushahaha, saya dua2nya Mba, doyan nasi padang, doyan juga masakan Manado, dasar jrumbo wakakak.
Hapussaya beli di all fresh Mba, jarang ada di pasar
Ngilangin paitnya juga bisa dg cara direbus bersama daun singkong. Kl sy biasanya lalu ditumis bareng dan dicampur teri. Maknyus, mbak. Btw itu berbuah 10 tandan atau sisir? Kayaknya ga mungkin kl sekali berbuah 10 tandan. :-)
BalasHapuswakakakak 10 sisir mba, salah ketik, kepala gak konek juga, thanks koreksinya
HapusIya kalau pakai lempung tidak pahit sama sekali mbk,,di sragen banyak dijual dalam plastik kemasan 500 rupiah lempung itu,,
BalasHapusnah itu dia, saya belum ketemu lempungnya di jkt hehhee
HapusAlhamdulillaah..
BalasHapusPas banget ini, tiap Jumat di kantor jadwalnya botram kuliner lintas nusantara. Saya kebagian Manado an Jumat besok, so semua pilihan menu nyimak baik2 postingan mbak Endang: Bubur Manado, Ayam woku, dan Tumis Bunga Pepaya ini. Dessertnya Es kacang merah.. Makasi banget ya Mbak ❤❤❤
Bismillaah 💪💪💪
wah mantap Mbak Esti, enaak2 itu, jadi ngilerrr
HapusKalau saya buat ngilangin paitnya langsung saya rebus dicampur air asam jawa mba... Jadinya enak banget dan gak pait... biasanya ditumis campur udang ebi ^^
BalasHapuswah belum pernah coba rebus pakai air asam jawa, thanks yaa
Hapusini resep yg saya cari2 kemarin.
BalasHapusuntuk cara menghilangan pahit nya yg belum berhasil, pingin nya bener2 hilang rasa pahitnya.
Cara point 1 udah dicoba berkali2 tp masih kurang memuaskan hasilnya,
untuk cara no. 2 blm dicoba kayaknya perlu dicoba kapan2.
Pernah nyoba pake daun singkong direbus bareng, pahitnya jadi pindah ke daun singkongnya.
Klo pake lepung blm pernah soalnya di Surabaya susah kayaknya nyarinya.
ada yang ngasih tahu pake daun jambu mente atau daun senggani bisa tp belum sempet buat praktek.
susah2 gampang ya, saya sendiri suka dengan rasa pahitnya jadi gak pernah bermasalah hehhehe
Hapus