Puasa Ramadhan tahun 2019 akhirnya tiba, luar biasa cepatnya waktu berlalu bukan? Tak terasa sudah mencapai hampir pertengahan tahun, padahal tahun baru serasa baru saja kemarin dirayakan. Seperti biasa, di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbanyak didunia, maka bulan puasa adalah bulan yang penuh kesibukan dan aktifitas ekstra. Hidangan menu sehari-hari pun ikut-ikutan ekstra, membuat pusing para Ibu yang harus mempersiapkannya. Bangun di pukul tiga pagi memang cenderung membuat orang merasa malas karena itu menu sahur harus dibuat so special agar anggota keluarga tetap bersemangat menyantapnya.
Kesibukan menjelang bulan puasa tersebut mulai terpancar di pasar Blok A di weekend lalu. Pasar yang biasanya tidak terlalu ramai hari itu penuh sesak, terutama penjual daging sapi, ayam dan ikan, tak heran jika harganya merayap naik. Ayam pejantan yang biasanya dihargai 25 ribu per ekor (ukurannya super imut), hari Sabtu kemarin naik menjadi 30 ribu per ekor. Saya terpaksa membelinya karena ada satu menu yang harus dieksekusi untuk keperluan endorse. Jika tidak teringat dengan pe-er tersebut ingin rasanya saya tidak berbelanja apapun dan berniat menghabiskan bahan makanan apapun yang ada di kulkas.
Beberapa bulan ini puasa Senin dan Kamis rutin saya jalankan, memasuki bulan Ramadhan bagi saya tak ada bedanya dengan puasa yang dijalani sehari-hari. Tapi euforia puasa yang ditunjukkan para pengunjung pasar dan supermarket terlihat menarik untuk disimak. Bulan puasa membuat orang mudah mengeluarkan uang untuk membeli makanan karena perut kosong memicu lapar mata. Tak heran penjual gorengan, jajanan dan makanan bermunculan bak jamur dimusim penghujan karena pasti ludes diserbu pembeli. Wajarlah jika bulan Ramadhan disebut bulan penuh berkah karena banyak yang memang mendapatkan berkah rejeki dibulan suci ini.
Bagi saya sendiri saat puasa tidak ada menu spesial yang harus diolah dan disantap, tidak ada istilah berbuka dengan yang manis karena justru mengudap makanan manis kala perut masih kosong akan menaikkan gula darah dengan cepat dan membuat kita mudah lapar. Tidak mempersiapkan menu sahur juga, karena saat sahur saya biasanya hanya minum dua gelas air putih agar tidak dehidrasi selama seharian berpuasa. Hal ini berbeda dulu ketika masih duduk di kelas sekolah dasar. Saat puasa berarti saatnya menimbun aneka makanan. Entah cenil, gethuk, tape singkong, tahu goreng, kolak, apapun makanan tradisional yang bisa diperoleh di pasar, seakan semua itu akan disantap kala buka tiba.
Bicara tentang puasa, ada satu cerita tentang sahur yang sampai sekarang masih terkenang dalam kepala saya, bahkan Ibu saya baru beberapa waktu lalu menceritakannya kembali. Dulu, ketika kami semua masih kecil dan tinggal bersama alm. Mbah di Paron, karena urusan dapur adalah tanggung jawab Mbah maka Ibu saya hampir tidak pernah memasak. Semua makanan yang kami makan disiapkan oleh Mbah Wedhok (nenek), porsinya sudah dijatah sedemikian rupa, terserah apakah itu cukup atau tidak. Seringkali saat sahur Mbah tidak pernah memasak lebih dan hanya ada nasi serta sambal, tempe atau ikan asin secukupnya yang bahkan tak cukup dimakan Mbah sendiri. Ibu saya biasanya di pagi buta pergi ke warung kopi disebelah rumah. Ada satu warung kopi yang juga menjual lontong kecap, kami di Paron menyebutnya tepo kecap. Hidangan ini berupa potongan lontong, irisan tahu, kol dan tauge yang diguyur dengan air kecap yang terasa manis, asin sedikit asam.
Pemilik warung menyewa emperan rumah toko disebelah, membuka lapaknya mulai jam sembilan malam hingga pagi jam lima. Jam tiga pagi, Ibu, saya dan Mbak Wulan berjalan ke warung di sebelah, si Bapak Tua pemilik warung masih tertidur lelap. Ketika kami bangunkan, tergopoh-gopoh beliau mulai meracik lontong dengan mata setengah tertutup. Tidak ada pembeli atau orang lain di warung emperannya itu, dan saat itu jalanan begitu gelap dan sepi. Seingat saya, listrik belum masuk di Paron, semua masih menggunakan lampu minyak. Bungkusan lontong terlihat jumbo, si Bapak memasukkan semua sisa lontong dan tahu ke dua bungkusan besar. "Pedes nggih Pak (pedas ya Pak)," instruksi Ibu saya, dan si Bapak mengguyurkan semua isi di wadah sambal bahkan hingga sambal yang tumpah ditatakannya. Kami pulang dengan riang membayangkan sedapnya tepo kecap yang jumbo porsinya. Dua bungkus bisa dimakan kami bertiga, saat itu adik saya, Wiwin, masih balita jadi tidak ikut berpuasa.
Setiba dirumah, bungkusan daun dibuka didepan sebuah lampu teplok minyak dengan jilatan api yang redup-redup. Walau sahur ditengah kondisi yang sangat terbatas semangat berpuasa kami tetap tinggi. Saat hendak menyendokkan sebongkah lontong samar-samar dibawah pijaran lemah lampu minyak saya melihat ratusan makhluk-makhluk kecil menggeliat-geliat dipermukaan lontong. Tobat, ternyata makhluk tersebut adalah ulat-ulat kecil berwarna putih yang terdapat didalam sambal terguyur ke permukaan lontong. Saya dan Mbak Wulan sambil menjerit langsung kabur melarikan diri menjauhi meja, sedangkan Ibu saya segera sigap membungkus kedua lontong tersebut dan membuangnya. "Sudah nduk, jangan dimakan ya. Sahur ini kita minum air teh manis saja ya," katanya lembut tapi dengan muka terpancar muram. Saya tahu betapa sedihnya Ibu membayangkan kami menjalani puasa hari itu tanpa sahur. Kami berdua hanya mengangguk, antara kesal, sebal, sedih dan keinginan untuk melemparkan bungkusan tepo berulat itu ke si Bapak yang menjualnya. Sepertinya wadah sambal tersebut tidak pernah dicuci, atau dibersihkan isi dan tatakannya hingga ulat-ulat kecil bertumbuhan. Hiks!
Wokeh lupakan cerita menjijikkan diatas, kembali ke sup kepala salmon hari ini. Saya selalu craving dengan sup ini jika ke supermarket menemukan kepala salmon yang terlihat fresh. Saya akui kepala salmon ini jauh terasa lebih sedap dibandingkan dagingnya yang mahal. Walau banyak ide bersliweran untuk mengolahnya menjadi aneka hidangan lainnya namun hanya diolah menjadi sup sajalah yang saya suka. Potongan nanas, tomat hijau dan belimbing wuluh akan membuat sup menjadi lebih segar dan sedap, usahakan jangan di skip ya. Bumbu boleh langsung direbus seperti yang saya lakukan dibawah atau tumis sebentar hingga wangi. Berikut resep dan prosesnya ya.
Sup Kepala Salmon
Resep modifikasi sendiri
Untuk 5 porsi
Tertarik dengan resep sup ikan lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Sup Pedas Ikan Kakap dengan Nanas
Sup Ikan ala Singapore
Lempah Ikan Kakap dengan Daun Kedondong
Bahan dan bumbu:
- 3 buah kepala salmon, 1/2 sendok makan garam, 1 butir jeruk nipis
- 400 gram nanas, potong dadu
- 1200 ml air
Bumbu:
- 8 siung bawang merah, dimemarkan
- 5 siung bawang putih, cincang kasar
- 3 cm jahe, dimemarkan
- 2 batang serai, dimemarkan
- 3 cm kunyit, dimemarkan
- 4 lembar daun jeruk, sobek kasar
- 15 buah cabai rawit merah utuh
- 6 buah cabai rawit rajang kasar
- 6 buah tomat hijau / belimbing wuluh, rajang kasar
- 1/2 sendok makan garam
- 2 - 3 sendok makan air jeruk nipis / lemon
- 1 1/2 sendok makan gula pasir
- 2 sendok teh kaldu jamur / kaldu bubuk (optional)
- 2 batang daun bawang, rajang kasar
- 2 buah tomat merah, rajang kasar
Cara membuat:
Siapkan semua bumbu dan bahan. Cuci bersih kepala salmon, buang insangnya. Belah membujur menjadi 2 bagian.
Selamat menjalankan ibadah puasa mba Endang, makin berumur makin sadar dengan apa yg harus diasup tubuh ya. Kalau ikan aku lebih suka ekor yg banyak dagingnya hehe. Eh mba, ibunya mba Endang suka baca2 blognya mba Endang gak sih, hal2 kecil di masa lalu yg dulu kelihatannya tdk menyenangkan ternyata bisa jadi sumber inspirasi. Blessing in disguise mba..
BalasHapusThanks Mba Herlina, selamat berpuasa juga ya Mba.
HapusSaya juga pilih suka ekor kalau makan potongan ikan, tapi kalau salmon bagian kepalanya memang beda teksturnya dan tulangnya rawan jadi lunak.
Ibu saya untungnya tidak pernah baca blog saya Mba, wakakkaka
betapa sabar dan penuh kelembutan Ibunda mbak Endang. dan betapa hangatnya cerita2 ttg masa kecil mbak Endang & keluarga di Paron maupun Tanjung Pinang. cerita2 yg sungguh saya nikmati :)
BalasHapusSaya akui Ibu saya memang sosok paling sabar yang pernah saya kenal Mba, luar biasa takjub saya.
Hapus