Weekend yang super heboh, dimulai dengan gempa di hari Jumat, dilanjutkan dengan mati listrik di hari Minggu. Tobat dah! Di hari Jumat itu, saya pulang cepat dari kantor karena ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Perut lapar memaksa saya untuk mengeluarkan beberapa chicken wings dari kulkas dan menceburkannya ke dalam minyak panas. Sambil menunggu ayam berubah matang dan crispy, saya mengisi waktu dengan menonton video di You Tube. Saat sedang asyik di depan laptop itulah saya merasakan kursi bergetar dan bergerak, terkaget-kaget saya menoleh ke arah pintu kamar dan menemukan daun pintu berayun kesana kemari. Otak saya langsung berteriak, "Gempa!" Sejak akhir-akhir ini gempa sering mendera di daerah Jawa Barat walau dalam skala kecil, membuat saya lebih alert akan bencana ini. Isu gempa megatrust yang semakin santer membuat saya banyak membaca informasi ini di net. Saya lantas berdiri dari kursi dan sempat terhuyung-huyung merasakan pusing kala bumi tempat kaki berpijak bergoyang cukup keras dibandingkan gempa sebelumnya yang pernah saya alami, padahal dalam posisi dilantai dasar, bukan sedang berada didalam gedung kantor di lantai 21.
Tergopoh-gopoh saya lantas menukar celana pendek rumahan dengan jeans dan lari ke dapur mematikan kompor. Menyambar tas berisi dompet dan handphone saya langsung lari terbirit-birit keluar rumah. Ternyata jalanan didepan sudah dipenuhi orang yang keluar dari rumah masing-masing sambil berteriak-teriak, "Gempa! Gempa!" Saya sepertinya termasuk orang yang terlambat ngacir ke halaman. Pot-pot anggrek yang bergantungan tampak bergoyang-goyang cukup heboh, sementara tidak ada semilir angin sedikitpun yang lewat. Saya segera membuka handphone dan pesan WA mengalir deras di grup kantor dan grup keluarga. "Gempa, kita masih di lantai 21," tulis Yuni, rekan kantor saya yang dipukul tujuh malam itu masih bekerja di kantor bersama beberapa rekan lainnya. Aduh mengerikan! Saya tahu gempa ini akan terasa sangat kencang ketika berada dilantai 21, dan saya yakin betapa paniknya teman-teman disana. Apalagi saat itu karyawan yang bekerja tidak sampai 10 orang. Walau merasa kasihan dengan teman-teman yang harus mengalami gempa di gedung tinggi, saya bersyukur hari itu segera pulang. Walau bagaimanapun mengalami gempa kala kaki menapak bumi, jauh lebih baik dibandingkan berada di lantai gedung nan tinggi. Untungnya gempa hanya berlangsung selama 3 menit dan tidak ada kerusakan yang terjadi selain jantung dibuat ngap-ngapan.
Belum habis hebohnya berita mengenai gempa, hari Minggu terjadi lagi musibah berikutnya. Hari itu saya berniat membersihkan rumah yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengan sapu, pel dan kain lap. Sejak pagi saya mulai berjibaku dengan lantai yang super jorok dan perabotan rumah yang berdebu. Pukul satu siang, kala badan sedang panas-panasnya karena berolah tubuh, kipas angin di sebelah laptop padam. Saya langsung lari ke meteran listrik mengecek, tidak ada tombol yang turun jadi memang PLN sedang bermasalah. Awalnya saya tidak terlalu menghiraukan, percaya bahwa mati listrik ini tidak akan lama. Selama saya tinggal di Jakarta Selatan bertahun-tahun lamanya, mati listrik adalah kejadian langka disini. Jikalau ada maka waktu matinya tidak terlalu lama, maksimal hanya satu atau dua jam saja. Ketika dua jam berlalu dan tidak ada tanda-tanda listrik akan menyala saya mulai was-was memikirkan isi freezer yang penuh. Minggu lalu saya baru saja menyetok dada ayam dan fillet kakap buat persediaan sebulan. Pagi harinya saya juga memborong segambreng sayuran dari pasar. Jika listrik mati terlalu lama, bakalan mencair isi kulkas dan sayuran menjadi rusak.
Ketika empat jam berlalu, dilanjutkan dengan enam jam, saya mulai mencak-mencak dan berteriak-teriak sendiri di rumah yang sepi. Musim kemarau nan garing, udara yang pengap panas, benar-benar menguji mental dan fisik jika harus mendekam didalam rumah tanpa AC atau kipas angin. Pintu rumah yang selalu tertutup karena menghindar aneka hewan masuk, akhirnya saya buka lebar-lebar agar angin bisa masuk. Ketika lapar mendera, saya bahkan membawa sepiring makanan didepan pintu. Saya teringat petuah nenek dan para orang tua Jawa yang melarang anaknya makan didepan pintu, tapi saat itu saya tidak peduli. Bagaimana mungkin menyantap sayur asem yang panas didalam rumah yang panas juga? Tentu saja sambil mengutuk kebodohan diri, mengapa memasak sayur asem dan bukan meracik salad yang adem dan simple.
Kondisi ini diperparah dengan tiadanya internet, ketika listrik mati semua provider internet ikut KO. Di rumah, saya menggunakan Speedy yang mati bersamaan dengan raibnya listrik. Tanpa internet, saya benar-benar kehabisan gaya dan buta informasi seputar negeri. Kalau dipikir-pikir betapa mengerikannya ketergantungan saya dengan internet. Untuk mengisi waktu saya kembali ke koleksi novel, berbaring di lantai didepan pintu bersama sebuah bantal dan buku. Dari sumah sebelah terdengar suara anak menangis sejak dua jam yang lalu, sementara di rumah lainnya terdengar tetangga saya riuh mengobrol didepan rumah. Listrik mati membawa musibah sekaligus juga membuat orang lebih bersosialisasi dengan orang lain dan melupakan handphone ditangan. Listrik baru menyala di pukul setengah sepuluh malam, kala saya sedang heboh mengipasi muka dengan selembar koran bersama sebuah lilin aromatherapy. Jangan sampai kondisi ini terjadi lagi dah. Tobat!
Menuju ke resep acar cabai ini. Sudah lama saya ingin membuat acar cabai jalapeno, acar ini dijual dalam kemasan botolan di supermarket dengan merk dari Meksiko, harganya tobat mahalnya. Acar cabai jalapeno sedap untuk menemani salad, pizza, burrito dan taco, atau sekedar untuk pendamping mi goreng dan rebus. Ketika melihat cabai ini dijual disebuah online shop yang menjual sayuran dan buah, saya langsung memesannya bersama beberapa sayuran lainnya. Betapa kesalnya saya ketika yang datang bukannya jalapeno melainkan cabai gendot yang bulat seperti jempol. Cabai gendot sering saya lihat dijual di supermarket dan saya tidak pernah tertarik untuk membelinya, bayangan saya karena bentuknya yang bulat seperti paprika maka rasanya pasti tidak pedas.
Didorong dengan rasa kesal dan kecewa, saya lantas mengirimkan komplain WA ke si penjual, "Mas yang dikirim itu bukan jalapeno, tapi cabai gendot! Harusnya diganti itu gambar display di aplikasinya dengan cabai gendot!" Jawabannya membuat saya semakin kesal, "Itu jalapeno Bu, kalau di lokal cabai gendot sama dengan jalapeno." Sejak kapan gendot juga dipanggil jalapeno? Dari bentuknya saja berbeda dan saya yakin rasanya pun lain. Menurut saya, cabai gendot lebih mirip dengan cabai habanero, jenis cabai pedas khas Meksiko lainnya. "Gendot kan gak sepedas jalapeno Mas, saya itu perlunya jalapeno." Mas penjual meminta maaf telah salah mengirimkan produk, saya sendiri lantas memasukkan si gendot kedalam kulkas dan melupakannya. Pupus sudah keinginan hendak membuat acar cabai jalapeno.
Dua hari kemudian di Lotte Mart saya menemukan cabai jalapeno segar, langsung saja sebungkus saya masukkan ke keranjang belanja. Malam harinya si gendot keluar dari kulkas untuk dipermak bersama jalapeno menjadi acar. Hingga detik itu saya belum tertarik merasakan seberapa pedasnya cabai gendot hingga akhirnya hidung saya mencium bau pedas yang lumayan keras ketika cabai diiris. Iseng seiris cabai masuk kedalam mulut tanpa ditemani tahu atau tempe goreng, dan langsung mengunyahnya. Detik itu juga saya langsung berjingkrak-jingkrak sendiri didapur. Tobat, cabai gendot yang saya remehkan ini ternyata luar biasa pedasnya, lebih pedas dari cabai rawit yang biasa saya makan. Jalapeno yang saya kira akan terasa sangat pedas ternyata sama sekali tidak pedas! Segelas air dan sebongkah roti digelontor untuk mengurangi pedasnya gendot, cara ini tidak berhasil mengurangi penderitaan lidah saya. Saya langsung teringat dengan komplain yang pernah diajukan ke penjual cabai, terus terang saya merasa malu jika teringat hal itu. Saya yakin saat itu si penjual terbengong-bengong dengan kata-kata saya yang meragukan pedasnya gendot, dan mungkin justru menyumpah, "Makan itu pedasnya gendot!"
Berikut ini resep dan proses membuat acar cabai ya.
Acar Cabai Gendot dan Jalapeno
Resep modifikasi sendiri
Untuk 600 gram cabai
Tertarik dengan resep awetan lainnya? Silahkan klik link dibawah ini
Bahan:
- 600 gram cabai gondot dan jalapeno, iris melintang tipis
- 1/2 buah bawang bombay, rajang kasar
- 3 siung bawang putih, memarkan
- 1/2 sendok makan merica hitam butiran
- 1/4 sendok teh jintan butiran, optional
- 2 sendok makan gula pasir
- 1/2 sendok makan garam
- 400 ml air
- 4 sendok makan cuka
Cara membuat:
Siapkan cabai, iris tipis. Masukkan cabai ke botol kaca berselang seling dengan bawang bombay dan bawang putih. Taburkan merica dan jintan.
Siapkan panci, masukkan 400 ml air, gula dan garam, rebus hingga mendidih dan gula larut. Masukkan cuka, aduk rata. Tuangkan larutan cuka panas-panas ke botol berisi cabai hingga permukaan cabai tertutup air. Diamkan hingga tidak panas. Tutup botol dan simpan di kulkas. Acar siap dikonsumsi setelah 2 minggu.
kalo mbak Endang kumpulkan cerita2 sehari-harinya dan dibikin buku, pasti saya beli. Gaya menulisnya ringan tapi berisi, lucu tapi gak sok lucu. Pokoknya top deh mbak Endang. Soal cabe gendotnya, jadi ingat pengalaman saya yg sok2an melahap habanero segar. Merasa jago makan pedas, saya dengan pede mengunyah fresh habanero dari kebun, biarpun sudah sering dengar akan pedasnya cabe ini. Pikir saya, "ah orang2 bule kan gak bisa makan pedas, jadi pasti habanero ini gak separah yg mereka sering bilang", happpp..dan langsung saya ngibrit ke kulkas minum susu satu liter sambal menyumpah-nyumpah sendiri.Itu pertama dan terakhir kalinya saya makan habanero. Kalo jalapeno, satu pohon biasa ada beberapa yg benar2 pedesnya ajubileehh..Jadi 95% tidak pedas,sisanya 5% pedasnya luar biasa dari pohon dan pot yg sama. Saya suka bakar/grill jalapeno ini sambil diolesi minyak dan ditaburi garam, buat teman makan nasi, sedappp (kecuali pas dapet yg super pedas).
BalasHapusHahaha seru juga kali ya kalau bikin buku yang berisi cerita pengantar dan resepnya, tapi susah keknya cari penerbitnya hahhaha.
HapusWah saya juga sama mikirnya Mba, saya pikir orang bule gak doyan pedes, pastinya habanero gak seheboh rawit setan di indonesia hahhaha. Di supermarket sebelah kantor jual habenero, saya gak berani beli
Mbak Endangggg, Saya ngakak kenceng bacanya. Jadi ingat beberapa bulan lalu Saya dibawakan 1 kantong penuh cabe gendot dari lembang. Saya pikir paprika mini, yang pastinya ga pedas. Saya tumis dengan labu, pas test rasa, berapa kagetnya Saya dengan pedasnya. Padahal Saya termasuk penggemar makanan super pedas. Saya ingat sekali waktu itu udah beberapa Kali cuci tangan bahkan Mandi, waktu kucek Mata masih perih krn sisa2 cabe gendot. Kapok!
BalasHapusMba endang, kalo cuka diganti air lemon atau jeruk nipis, bisa kah?
BalasHapus