Pantai Sanur |
Mencicipi makanan dan masakan lokal khas Bali menjadi tujuan utama saya saat berwisata kesana Minggu lalu. Masakan Bali memiliki cita rasa unik, dan walaupun memiliki benang merah yang sama dengan kuliner Jawa, tetap memiliki ciri khas tersendiri. Bumbu genep atau bumbu lengkap adalah salah satu bumbu wajib masakan Bali, bahkan mungkin hampir semua jenis masakannya menggunakan bumbu ini. Bumbu genep terdiri dari cabai, bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, serai, daun salam, daun jeruk, ketumbar, merica, kencur dan terasi. Dua rempah yang saya sebutkan terakhir sering disebut-sebut menjadi ciri khas masakan Bali yang membedakannya dengan masakan Jawa pada umumnya.
Sepanjang jalan di Pantai Sanur |
Jalan Hang Tuah tidak terlalu jauh dari Pantai Sindhu, berjalan kaki hanya 10 menit saja. Warung Mak Beng berada tepat di muka jalan, berdekatan dengan pantai Sanur. Restoran ini cukup luas, jajaran meja-meja besar dan tebal tersebar didalam restoran, beberapa meja bulat berpayung tampak ditepian jalan. Karena baru jam setengah sepuluh pagi, warung pun cukup sepi, saya bahkan mendapatkan meja diruangan yang terpisah dari bagian warung lainnya, asyiknya hanya saya sendiri yang menggunakan meja tersebut. Tentu saja saya sangat bersuka cita, sendiri berarti bebas mengambil foto-foto makanan dan suasana disekitar warung tanpa merasa sungkan dengan tamu lainnya. Warung Mak Beng menyajikan sup kepala ikan dan ikan goreng. Hm, tepatnya Warung Mak Beng hanya menyajikan sup kepala ikan dan ikan goreng, okeh plus nasi dan sambal terasi tentunya. Yep, menunya hanya dua itu saja, dan kita bisa membeli paket yang terdiri dari dua menu sekaligus, plus nasi, dan sambal tanpa minuman seharga 55 ribu rupiah.
Warung Mak Beng |
Makanan datang sangat cepat, saya langsung menyeruput es jeruk Kintamani tanpa gula yang manis dan segar rasanya. Sup ikannya berwarna kekuningan, agak bening dengan serpihan cabai dan sedikit rempah di permukaannya. Rasa kuahnya khas bumbu genep Bali, pedas dan gurih. Tastenya berbeda dengan sup ikan umumnya. Bumbu inilah yang menjadikan sup kepala ikan Mak Beng lebih spesial dibandingkan dengan jenis sup ikan lainnya. Potongan ikan (yang sepertinya adalah ikan kakap) didalam sup tidak terlihat seperti kepala ikan, cukup tebal dan banyak dagingnya. Daging ikannya sendiri saya akui tidak terlalu fresh, tapi tertutup dengan rasa kuah yang lezat. Saya menemukan potongan ketimun Jepang didalam sup ikan, teksturnya lembut dan menyerap rasa bumbu. Di Bali, ketimun Jepang lebih populer dan lebih mudah ditemukan di pasar dan supermarket dibandingkan dengan jenis ketimun lainnya, harganya pun lebih murah, berbeda dengan di Jakarta dimana ketimun lalap yang renyah dan berukuran kecil lebih disuka. Ternyata ketimun Jepang terasa sangat sedap didalam masakan berkuah dan itu sudah saya buktikan ketika mencoba memasak sup ikan ini dirumah. Resep copy cat sup ikan a la Mak Beng ini sudah saya posting sebelumnya, artikelnya bisa ditemukan pada link disini.
Untuk potongan ikan goreng ukurannya cukup besar. Ikan hadir dalam kondisi sudah dingin, sepertinya sudah digoreng dalam jumlah banyak beberapa waktu sebelumnya. Rasa bumbu ikan gorengnya kurang nendang, kurang asin dan kurang bumbu, selain tentu saja karena sudah dingin maka permukaan ikan agak keras teksturnya. Saya hanya sanggup menghabiskan setengah bagian ikan goreng padahal saya adalah pelahap ikan sejati. Sambal pedamping ikan mirip seperti sambal terasi yang biasa disajikan oleh Ibu saya dirumah. Terbuat dari cabai merah yang digoreng dan ditumbuk agak kasar bersama terasi dan gula Bali. Cita rasanya sangat pedas! Saya hanya berani mencicipinya sedikit, takut perut menjadi mulas. Tips membuat sambal terasi seperti ini agar lezat adalah pemilihan terasi yang berkualitas baik dan menggunakan gula aren, di Bali disebut dengan gula Bali. Cita rasa sambal terasi ini pedas dan dominan manis, jadi masukkan porsi gula agak banyak di sambal.
Warung Mak Beng |
Jika anda penasaran dengan sup ikan a la Bali, sebenarnya ada beberapa restoran lainnya yang bisa dicoba, di IG banyak yang memberikan rekomendasi, salah beberapanya adalah resto Be Sanur di Renon, Warung Bambu Lulu di Suka Merta, Sanur, atau resto sup ikan di kawasan Singaraja, dan di pantai Lebih, Gianyar. Saya sendiri setelah mencicipi sup ikan di Warung Mak Beng merasa sudah cukup menjajal jenis sup seperti ini, target kuliner lainnya yang hendak dicoba masih banyak. Mungkin jika waktu saya panjang disana, maka masing-masing resto sup ikan ternama yang direkomendasikan itu akan dicicipi satu persatu.
Sup kepala ikan Mak Beng |
Lanjut ke petualangan kuliner berikutnya adalah nasi campur, bubur Bali dan tipat kuah khas Bali. Saya menemukan satu warung bernama Warung Khrisna di TripAdvisor, website ini benar-benar menjadi penyelamat jika kita kebingungan mencari ide kuliner seru yang sudah teruji dan mendapatkan banyak rekomendasi. Satu hal yang cukup menyulitkan bagi muslim jika mencari makanan lokal di Bali adalah kehalalannya. Tentu saja jangan berharap menemukan logo halal dan sejenisnya jika kita hendak mencicipi kuliner khas Bali di resto-resto lokal karena tidak akan ditemukan. Bagi saya pribadi, itu hal yang lumrah, mengingat warga lokal Bali adalah pemeluk agama Hindu. Tidak menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyediakan makanan yang sesuai dengan keinginan turis yang berkunjung. Pedoman saya jika mencicipi kuliner Bali lokal adalah selama restoran tersebut tidak menyediakan hidangan dari babi maka saya akan mencobanya. Di TripAdvisor biasanya banyak yang berbagi mengenai hal ini. Saya membaca satu persatu review yang diberikan. Nah di Warung Khrisna, mereka meyajikan nasi, bubur, dan tipat kuah Bali dari daging ayam dan tidak menyediakan menu babi. Setelah membaca reviewnya di TripAdvisor, saya dan Lily langsung meluncur kesana.
Warung Khrisna, Sanur |
Warung Khrisna terletak di Jalan Kutat Lestari, no.4, Sanur, kami naik GoCar dengan biaya sekitar 25 ribu rupiah dari jalan Pungutan. Warung ini berbentuk rumah Joglo khas Bali yang luas dengan langit-langit yang tinggi di bagian depannya terpisah dari bangunan utama yang berfungsi sebagai tempat memajang makanan. Di bagian belakang rumah terdapat ruang terbuka yang luas dengan jajaran kursi dan meja yang cukup banyak. Kami memilih duduk di rumah Joglo, saya sangat kesengsem dengan bangunan cantik ini. Rumah Joglo di Warung Khrisna terbuat dari kayu kelapa dan atapnya dari anyaman bambu, meja-meja besar dari kayu jati tersebar didalamnya. Langit-langit bangunan yang tinggi dan kondisi yang terbuka membuat ruangan terasa sejuk dipenuhi oleh semilir angin yang tak bosan-bosannya mengipasi, membuat saya merasa betah dan nyaman. Saya bisa membayangkan, betapa sedap dan indahnya duduk berjam-jam disini bersama laptop, mencari inspirasi menulis dan ngeblog.
Bubur Bali dan Tipat Kuah di Warung Khrisna |
Makanan di Warung Khrisna terdiri dari tiga jenis yaitu nasi, bubur dan tipat (ketupat). Nah ketiga jenis karbo ini kemudian dilengkapi dengan kondimen yang sama yaitu suwiran ayam kampung yang direndam dalam kuah santan, urap-urapan, sate lilit ayam, potongan telur rebus, sambal matah, tumisan bumbu genep yang berwarna coklat gelap, kuah santan yang juga dipakai untuk merendam ayam, dan taburan kacang goreng. Saya memesan tipat kuah yang terdiri atas potongan ketupat legit dengan guyuran kuah santan yang banyak dan aneka kondimennya, sementara Lily memesan bubur. Satu hal yang membuat saya berkesan dengan makanan yang disajikan disini adalah ayam kampungnya. Potongan ayam kampung yang dipanggang ini memiliki rasa dan aroma smoky unik yang berbeda dengan ayam panggang umumnya. Feeling saya ayam diasap hingga matang karena aroma smokynya cukup kuat. Potongan ayam kemudian disuwir-suwir dan direndam dalam sedikit kuah santan untuk disajikan mendampingi nasi, bubur atau tipat.
Tipat Kuah di Warung Khrisna |
Ada dua jenis urap yang disajikan, yaitu urap kacang panjang dan tauge, serta urap pare pahit yang dipisahkan dari sayuran lainnya. Ketika si Mbak penjual yang cantik bertanya, "Mau dipakai semua?" Saya langsung menjawab, "Apapun yang ada tolong dimasukkan dalam piring saya Mbak." Rasa urapnya mirip dengan urap umumnya yang biasa ditemukan di Jakarta dan daerah Jawa lainnya, sementara kuah santannya memiliki cita rasa seperti mangut hanya versi ini lebih encer dan tidak pekat seperti kuah mangut. Secara overall makanan di Warung Khrisna cukup lezat cita rasanya, pelayannya ramah dan tidak keberatan ketika saya meminta ijin memotret aneka makanan yang diletakkan di mangkuk dan piring didalam rak display. Kami datang di warung ini sejak pukul 9 pagi, duduk cukup lama disini, bersantai menikmati hari dan baru beranjak pergi ketika menjelang jam makan siang. Beranjak pulang saya masih memesan sebungkus nasi campur dan satu cup kecil es krim kelapa muda homemade yang lezat. Tobat!
Sayangnya untuk masalah penyajian makanan di etalase warung, rumah makan di Bali masih kalah dengan restoran Padang. Disini lauk dan makanan hanya diletakkan di piring-piring, mangkuk dan baskom yang tak tampak dari luar etalase, berbeda dengan restoran Padang yang begitu antusiasnya memanjakan mata kita dengan aneka makanan yang menggoda. Harga makanan di warung ini baik nasi, bubur atau tipat kuah adalah 26 ribu rupiah, porsinya cukup besar dan mengenyangkan. Saya dan Lily meminta 2 buah piring tambahan karena kami saling bertukar makanan yang dipesan. Walau cita rasanya sama namun karena karbo yang dipakai berbeda maka sensasinya pun tidak sama.
Nantikan kelanjutkan berburu kuliner lokal khas Bali di bagian kedua ya, dan untuk cerita perjalanan saya selama di Bali pada postingan sebelumnya bisa diklik pada link di bawah ini:
Pantai Sindhu dan Pasar Sindhu
Berburu Oleh-Oleh di Bali (Part 1)
Berburu Oleh-Oleh di Bali (Part 2)
😍😍😍
BalasHapusSiang mba endang.....
emmmmmmm.....
jadi pingin ke bali lagi...
👍👍👍
saya juga pengeeen hikks
Hapus