|
Sindhu Beach, Bali |
Melanjutkan cerita jalan-jalan saya ke Bali yang bisa dilihat di postingan pertama pada link disini. Malam pertama di Sanur, saya manfaatkan untuk berjalan-jalan di seputar pantai. Di tepian pantai Sindhu banyak sekali penjual jagung menjajakan jagung bakar dengan kursi-kursi kecil disediakan diseputaran alat pemanggang. Jajaran turis domestik serta warga lokal duduk menikmati manisnya jagung hangat. Saya enggan mengotori gigi, jadi cukup melihat-lihat seputaran pantai dan mengambil foto. Sejak medsos meraja, fotografi sepertinya menjadi kegiatan yang mendominasi turis kala berkunjung ke suatu negara atau daerah. Saya biasanya akan meminta ijin sebelum menjepretkan kamera, tidak semua orang suka difoto, dan tidak semua orang suka foto mereka dishare di internet. Kian hari semakin banyak negara dan kota yang melarang turis mengambil gambar karena warga lokal yang semakin merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, foto yang kita ambil adalah kehidupan sehari-hari mereka yang kemudian diekspose ke media sosial.
Hari kedua, di pagi hari saya berjalan ke tepian pantai Sindhu. Saya dan Lily kemudian duduk di Kafe Luhtu's yang memiliki lokasi strategis di sudut jalan didekat pantai. Kafe ini menyediakan produk bakery seperti cake, muffin, roti, serta hidangan breakfast baik internasional maupun lokal. Harganya berkisar dari 30 ribu hingga 100 ribu rupiah, tergantung jenis makanannya. Favorit saya disini adalah blended iced coffee dengan es krim vanilla sebagai toppingnya. Terkadang kami nongkrong hanya ditemani es kopi saja dan duduk berjam-jam disana menikmati suasana adem dan deburan ombak dipantai. Nyaman dan tidak bikin kantong jebol. 😅
|
Sindhu Beach Bali |
Ada satu pengalaman yang agak tidak mengenakkan di kafe ini, kala itu saya datang sendirian dan duduk di meja yang kosong. Tidak ada satupun pelayan yang datang menghampiri walau saya telah memanggil dan melambaikan tangan. Beberapa pelayan yang bersliweran justru sibuk menyambut turis-turis asing yang masuk ke restoran setelah saya. Seorang pelayan begitu ekstra ramah ke pasangan paruh baya dari Belanda yang duduk disebelah meja saya, dan tak menghiraukan panggilan walau jarak kami hanya 1 meter jauhnya. Dia justru mengobrol cukup lama, bertanya ke turis mengenai lama tinggal di Indonesia dan hal remeh-temeh lainnya yang mungkin bisa dilakukan jika kafe sedang kosong. Saya menunggu hingga obrolan mereka mereda, dan ketika si Mbak pelayan hendak beranjak pergi saya pun berteriak agak kencang memanggil. Akhirnya dia menoleh dan bertanya, "Belum pesan Bu?" Saya langsung menjawab dengan muka sedikit muram, "Belum, dari tadi saya panggil tidak ada yang bersedia datang." Si Mbak menoleh ke pelayan lain yang berdiri disekitar saya dan menegur pelan, "Gimana sih?" Si teman hanya tersenyum sumir. Gubrak!
|
Luhtu's Cafe, Sindhu Beach, Bali |
Menjelang siang, saya manfaatkan untuk mencari oleh-oleh. Pikiran saya, jika urusan oleh-oleh kelar di awal liburan maka nantinya saya tidak akan terpontang-panting dibebankan dengan urusan yang menjadi ciri khas orang Indonesia jika pergi keluar kota. Mengapa ya kita ini jika pergi keluar kota atau keluar negeri selalu memikirkan oleh-oleh orang disekitar? Terkadang waktu, tenaga, dan pikiran habis tercurah demi membeli oleh-oleh. Begitu banyak saudara, teman, rekan kantor, yang perlu dibagi barang atau makanan khas daerah yang sedang dikunjungi, jika dikumpulkan akan menghabiskan space bagasi yang terbatas. Karena fokus saya adalah perlengkapan food photography yang umumnya berat maka saya mencari oleh-oleh yang ringan. Jika di Bali, maka kacang-kacangan, pie susu dan kerupuk ikan bisa menjadi pilihan.
|
Jalan Pungutan, Bali |
|
Sindhu Beach, Bali |
Target tempat saya berburu oleh-oleh adalah Pasar Kumbasari dan Pasar Badung di Denpasar. Rekan saya, Sintya, yang merekomendasikan tempat ini, dia baru saja kembali dari Bali beberapa bulan yang lalu, dan menemukan banyak pernak-pernik lucu di Pasar Kumbasari dengan harga murah. Agar lebih yakin dan pasti, sebelum pergi berbelanja kami bertanya ke Bu Kanti, penjaga hotel D'Astri. Berdasarkan pengalaman kami, beliau kurang begitu tahu mengenai jalanan tapi pusat perbelanjaan murah mungkin cukup memiliki info. Diluar dugaan Bu Kanti tidak merekomendasikan Pasar Badung dan Kumbasari, tetapi memberikan satu nama yaitu Erlangga. "Kenapa nggak belanja di Erlangga? Murah, barangnya bagus-bagus dan harganya sudah pasti. Apa saja ada disini, baju, kain-kain, batik, makanan buat oleh-oleh. Enak dan dingin tokonya." Keterangan beliau membuat kami penasaran.
|
Badung Market, Denpasar, Bali |
Saya dan Lily memutuskan untuk tetap pada rencana yaitu ke Pasar Badung dan Kumbasari, baru kemudian meluncur ke toko Erlangga. Kami lantas memesan taksi online yang mudah ditemukan di seputaran Sanur, Kuta dan Denpasar. Dari lokasi hotel di Sanur ke Pasar Badung biayanya sekitar 40 ribu rupiah. Taksi konvensional seperti Blue Bird juga banyak bersliweran di jalanan sebagai alternatif lainnya. Sebenarnya menyewa mobil dan menyetirnya sendiri jauh lebih murah dan memudahkan kita menjangkau lokasi dengan mudah. Biaya sewa mobil saja berkisar di 200 ribu rupiah sehari, sementara sewa mobil beserta supir sekitar 500 ribu rupiah selama 10 jam. Sayangnya, saya dan Lily sama-sama tidak bisa menyetir mobil jadi mengandalkan motor milik Lily (yang sering tidak dipakai karena tak tahan dengan panas terik) dan taksi online. Untuk taksi, kami selalu memilih yang disupiri orang Bali asli, bukan karena membedakan ras, tapi dari pengalaman selama menggunakan taksi online maka supir yang asli Bali lebih ramah, sopan dan friendly. Selain tentu saja mereka juga cukup tahu tempat-tempat seru di Bali yang umumnya supir pendatang kurang mengerti.
|
Badung Market, Denpasar, Bali |
Cuaca Bali yang luar biasa panas dan teriknya matahari membakar kulit membuat taksi adalah moda transportasi paling nyaman dibandingkan ojek. Turis-turis asing bertelanjang badan tampak bersliweran mengendarai motor di jalanan, sementara saya mengenakan pakaian lengan panjang tertutup. Berjalan sebentar disini akan membuat keringat sebesar jagung mengalir cepat di leher, jidat dan sekujur badan. Dalam sebentar rambut menjadi lepek, muka berminyak dan kucel, serta badan menguarkan aroma keringat dan pakaian lembab. Tobat!
Pasar Badung yang baru saja diresmikan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu berdiri megah di jalan Sulawesi no. 1, Denpasar. Pasar ini berwarna dominan coklat dan krem, terdiri dari 4 lantai, disebelahnya berdiri Pasar Kumbasari yang terlihat lebih tua bangunannya. Diantara kedua pasar mengalir sungai bernama Tukad Badung, karena dirancang seperti sungai-sungai di Korea maka banyak yang menyebutnya dengan nama Tukad Korea. Sungai ini benar-benar dijaga kebersihannya dan ditepiannya ditanami dengan weeping willow dengan ranting-rantingnya yang menjuntai ke tengah sungai. Banyak lampion dan lampu tergantung di tengah dan tepian sungai, pada salah satu sisi sungai tampai pelataran kosong yang katanya biasa dipakai untuk panggung pertunjukan.
|
Tukad Korea, Denpasar, Bali |
|
Tukad Korea, Denpasar, Bali |
Banyak yang mengatakan jika ke pasar Badung datanglah sejak dini hari, sekitar pukul 3 hingga 5 subuh dimana produk segar seperti ikan, seafood, sayur dan buah-buahan baru saja diturunkan dari truk-truk besar. Pedagang akan menjajakannya ditepian jalan dan harganya pun murah. Tapi bagaimana mungkin saya akan berkunjung kala hari masih gelap gulita bukan? Jika kami menyewa mobil di Bali maka tempat-tempat seperti ini bisa dijangkau kapanpun tanpa terhalang waktu. Kami tiba di pasar Badung pukul sebelas siang, langsung berjalan ke arah jembatan yang terbentang diatas Tukad Korea. Jembatan ini memiliki pemandangan lumayan indah dan bisa menjadi lokasi foto yang seru. Pasar Badung sendiri tidak lah terlalu ramai, entah apakah karena sudah terlalu siang (pasar tradisional besar di Bali biasanya mulai beroperasi dari jam 2 pagi) atau karena memang tidak terlalu banyak pengunjung yang masuk ke dalam gedung.
|
Badung Market, Denpasar, Bali |
Lantai pertama berisi sayuran, sembako, dan aneka bumbu seperti cabai, rempah-rempah. Karena ini termasuk pasar grosir maka umumnya barang-barang harus dibeli dalam partai besar, tapi beberapa pedagang bersedia menjual eceran. Lily membeli cabai merah keriting dan sebenarnya berminat pada kayu manis dengan potongan besar dan panjang. Seorang Ibu pedagang menawarkan kami ikatan kayu manis, sekilo harganya 80 ribu rupiah. Begitu tahu kami hanya akan membeli dalam jumlah sedikit, beliau langsung kehilangan minat dan sibuk mengobrol dengan pedagang lainnya. Disini kami belajar, jika pedagang enggan melayani maka mereka akan berpura-pura tidak memperhatikan pembeli. Walau saya memanggilnya sambil menyodorkan ikatan kayu manis untuk dikembalikan, si Ibu sama sekali tidak menyambutnya dan tetap asyik berbicara dengan pedagang didepan kiosnya. Akhirnya saya meletakkan kayu manis tersebut dan ngeloyor pergi dengan hati bete.
|
Badung Market, Denpasar, Bali |
Lantai kedua berisikan buah-buahan segar, kami tidak terlalu memperhatikan lantai ini karena didominasi dengan pisang dan buah naga. Pada lantai ketiga yang merupakan pusat camilan seperti kacang-kacangan dan snack khas Bali, saya membeli sekilo kacang goreng seharga 35 ribu rupiah saja dan sekilo kacang koro Bali dengan harga sama. Kacang panggang kulit hanya seharga 15 ribu rupiah saja. Disini saya akui harga kacang-kacangan dan camilannya sangat murah dibandingkan lokasi lainnya. Rasa kacangnya setelah dicicipi dikantor juga lezat, renyah, dan asinnya pas. Pasar Badung saya rekomendasikan jika anda hendak mencari oleh-oleh berupa makanan ringan khas Bali.
Lantai paling atas diisi dengan kain, batik dan kebaya, serta tentu saja kerajinan tangan yang terbuat dari anyaman bambu, rotan, gerabah, kayu, dan batu alam. Disini saya membeli mangkuk kecil dari kayu kelapa seharga 20 ribu rupiah, sebenarnya saya tertarik untuk mengeksplore lebih jauh hanya saja waktu yang semakin siang dan masih ada beberapa lokasi yang harus dikunjungi membuat kami memutuskan untuk pindah ke pasar Kumbasari yang terletak disebelahnya.
Cerita mengenai pasar Kumbasari dan toko Erlangga saya lanjutkan ke postingan Berburu Oleh-Oleh di Bali bagian kedua disini ya.
Mba Endang, jujur, saya suka baca JTT selain krn resepnya juga krn curhatnya Mba sebagai pembuka, hehe.
BalasHapusDuh, Mba, sebel deh ama kelakuan pegawai kafe dan ibu pedagang tadi. Nggak berubah ya mereka dalam melayani konsumen. Ditunggu ya cerita selanjutnya.
thanks ya Mba Pipit, senang ceritanya disuka
Hapus😍😍😍
BalasHapusSiang mba endang....
lagi berlibur ya mba endang......
seneng dech ngebacanya serasa ikut mba endang jalan jalan ke bali...😉😉😉
Sore Mba Umy, sudah balik ke JKT lagi mbak hehhehe. thanks ya sudah menyukai ceritanya
Hapus