Betapa senangnya kalau pasar tradisional didekat rumah tetap aktif hingga malam atau justru dini hari sebagaimana pasar-pasar seperti pasar Jatinegara, pasar Minggu atau pasar di Ciputat. Seringkali saya iri jika mendengar rekan kantor yang berbelanja kala pulang kantor di pukul tujuh atau delapan malam, dan menurut pengalaman mereka, saat itu sayuran baru saja tiba dari truk-truk besar sehingga kondisinya sangat segar. Daging sapi dan ayam masih terasa hangat karena baru saja keluar dari rumah jagal. Ikan dan seafood juga fresh kondisinya. Harga bahan segar di pasar-pasar yang beroperasi di malam hari ini sangat miring, bahkan terbilang murah dan variannya juga lebih banyak. Jika datang pada jam yang tepat sebelum habis diborong para tengkulak maka kita bisa menemukan jenis ikan atau sayur unik yang di pagi hari biasanya sudah habis terbeli orang.
Sayangnya pasar Blok A didekat rumah adalah jenis pasar yang beroperasi pada pagi hingga siang hari, bukan jenis pasar grosir besar dimana tengkulak dan penjual-penjual kecil datang membeli dalam partai besar untuk dijual kembali. Sedangkan saya adalah manusia yang baru aktif berbelanja kala sore hari saat pulang kantor, dan hanya bisa meluangkan waktu ke pasar kala weekend yang akhir-akhir ini jarang saya lakukan. Berjalan ke pasar yang walau bisa ditempuh berjalan kaki dalam waktu 10 menit terasa berat dilakukan. Di pagi weekend, paling afdol jika dinikmati diatas kasur, tidur hingga siang menjelang.😄
Bulan lalu saya baru tahu jika di pasar sisi sebelah kiri banyak penjual yang masih menjajakan dagangannya. Biasanya saya selalu berjalan ke rumah dari stasiun MRT melalui jalan sisi sebelah kanan dari pasar, ketika hari itu berganti rute saya dibuat girang kala menemukan seorang Bapak penjual yang masih menjajakan aneka sayur, tempe, dan bumbu dapur walau jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Kebetulan saat itu saya kehabisan stok wortel dan ketimun untuk jus dan melihat si Bapak punya banyak sekali kedua sayuran tersebut di meja dagangannya. Beliau adalah pria tua yang berusia sekitar 65 tahunan, tubuhnya kurus agak membungkuk, perawakannya kecil. Baju dan celananya lusuh mungkin oleh kerja seharian di pasar. Wajahnya terlihat lelah tapi semangatnya untuk mencari nafkah tetap tinggi. Beliau berjualan sejak pagi dan hingga pukul enam sore masih membuka warungnya.
Warungnya hanya berupa sebuah meja kecil memanjang yang menempel di dinding pagar, yang memisahkan sebuah tanah kosong bekas bangunan pasar Blok A lama dengan jalanan gang sempit dimana banyak pedagang yang berjualan di emperan rumah penduduk dan tepian jalan tersebut. Semua barang dagangan miliknya tumplek blek dalam wadah keranjang dan besek, bahkan terkadang beliau lupa dimana meletakkan satu atau dua jenis barang ketika diperlukan. "Pasar relokasi kebakaran Buk, habis semua dagangan saya. Ya terpaksa pindah kesini, nggak tahu lagi harus kemana, yang penting masih bisa dagang," keluhnya yang membuat hati saya terenyuh.
Sejak pasar Blok A dihancurkan di jaman Gubernur DKI masih dipegang Djarot Saiful Hidayat, hingga gubernur berganti menjadi Anies Baswedan, tak ada sedikitpun tanda-tanda pasar baru akan segera dibangun. Para pedagang tadinya direlokasi ke sebidang tanah di daerah Lamandau, tidak jauh dari pasar Blok A lama, tapi kebakaran hebat menghancurkan pasar relokasi yang hanya terbuat dari tripleks seadanya. Semua bangunan beserta isinya hangus terbakar. Pedagang aktif katanya diberi kompensasi, tapi tidak diberikan alternatif tempat berjualan, dan mereka akhirnya kembali ke lokasi pasar lama yang sebenarnya bukanlah pasar hanya berupa sepanjang jalanan sempit. Betapa susahnya menjadi rakyat kecil yang semangat juang bekerja mencari nafkahnya tinggi tapi sarananya berjualannya tidak disupport pemerintah daerah. Padahal sebidang tanah dimana pasar seharusnya berada kini kosong melompong, dijadikan penimbunan material tak jelas dan dipenuhi dengan belukar. Andai sebidang tanah itu didirikan bangunan memadai untuk rakyat mencari nafkah, betapa banyak jiwa-jiwa pejuang ini bisa memanfaatkannya untuk menghidupi keluarga. Semoga pemerintah DKI bisa segera terketuk hati dan nuraninya melihat kondisi ini.
Weekend lalu saya kembali ke warung si Bapak, seminggu sekali saya sempatkan diri singgah disana. Rencana membeli satu atau dua item bahan makanan, biasanya akan berakhir menjadi segambreng belanjaan. Si Bapak dengan riang akan menyambut saya menggunakam bahasa Jawa campur Indonesia yang ramah, sopan dan humble. Beberapa pedagang tradisional di pasar (terutama emak-emak), biasanya suka jutek, galak dan enggan ditanya harga barang dagangannya. Biasanya kalau bertemu pedagang begini, saya cukup sekali menjejakkan kaki di warungnya, untuk seterusnya no way lah ya. Hari gini masih jutek berjualan? Saya termasuk pembeli yang simple, tidak pernah bertanya harga perkilo, tidak pernah menawar, tidak banyak cingcong, dan tidak banyak berpikir panjang ketika memutuskan hendak membeli. Saya tahu pedagang-pedagang ini akan memberikan harga lebih murah dari harga di supermarket, dan saking seringnya berkunjung di supermarket saya hafal harga umum untuk sekilo wortel, tomat, ketimun, hingga sawi.
Untuk menghindari si Bapak menghitung, walau dia jago matematika dibandingkan saya, namun terkadang membuat proses menjadi lambat, jadi saya mengeluarkan handphone dan membantu mengetikkan harga di kalkulator. Cara ini membuat proses lebih cepat dan akurat, si Bapak pun happy sudah terbantu. Seringkali ketika proses belanja telah selesai dan saya hendak beranjak pergi, beliau akan memaksa memberikan bonus entah itu bayam atau kangkung yang agak layu tapi masih layak makan, jamur tiram yang masih tersisa banyak, kemangi, atau ketika kemarin saya membeli terung segambreng, si Bapak memberikan bonus seikat petai. Terus terang saya sangat terharu dengan kemurahan hatinya ini, ditengah kesederhanaannya, beliau masih bersedia berbagi! Biasanya akan saya tolak, namun beliau mati-matian memaksa dengan alasan, "Gak pa-pa Bu, nanti juga saya bawa pulang dikasih-kasih ke tetangga." Mendapat perlakuan ramah dan murah hati ini begini selalu membuat saya semakin tak tega, alhasil makin banyak sayuran yang diborong walau ketika telah tiba dirumah saya dibuat pusing karena kulkas yang full dan waktu memasaknya yang tak ada. 😆
Wokeh menuju ke resep balado terung kali ini. Ini makanan favorit dan terus terang selalu saya cari jika membeli makanan di warung Padang. Terung nan lembut tak ada dua lezatnya ketika dikunyah bersama nasi. Amboi sedapnya! Sudah lama saya tidak memasak menu ini, jadi ketika terung tersedia dimeja dapur berhari-hari bersama seikat petai bonus yang mulai kisut dan mengecil, balado terung pun dieksekusi. Saya tambahkan kemangi dan teri sehingga rasanya lebih nampol. dan kali ini saya sudah menyiapkan sepanci nasi di rice cooker. Karena walaupun saya mati-matian menghindari menyantap nasi, jika balado terung tersedia maka nasi kudu menemaninya.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Balado Terung Petai
Resep modifikasi sendiri
Tertarik dengan resep terung lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Gulai Terung a la My Mom
Khoresh Bademjan dan Ayam
Massaman Curry
- 5 buah terung, biarkan utuh
- 2 papan petai, kupas ambil bijinya
- 2 ikat kecil daun kemangi petik daunnya
Bumbu dihaluskan:
- 200 gram cabai merah keriting
- 5 buah cabai rawit merah, optional
- 2 buah tomat merah
- 8 siung bawang merah
- 5 siung bawang putih
- 2 cm jahe
- 2 sendok teh terasi bakar
Bumbu lainnya:
- 3 sendok makan minyak untuk menumis
- 2 - 3 sendok makan teri ukuran kecil
- 3 cm lengkuas memarkan
- 3 lembar daun salam
- 1 sendok makan gula jawa sisir halus
- 1/2 sendok makan gula pasir
- 1 sendok makan kecap manis
- 1 - 2 sendok makan air asam jawa kental
- 2 sendok teh garam
- 1 sendok teh kaldu jamur
Cara membuat:
Cuci bersih terung, biarkan kulit dan sedikit batangnya, belah memanjang dibagian tengah dengan pisau. Tata di permukaan kukusan dan kukus selama 20 menit atau hingga terung matang dan lunak. Angkat.
Tata terung di piring saji. Sisihkan.
Panaskan 3 sendok makan minyak di wajan, tumis bumbu halus hingga harum dan matang, jika minyak kurang dan bumbu mudah gosong, tambahkan sedikit. Masak hingga bumbu berubah warnanya lebih gelap agar benar-benar tanak matangnya. Masukkan lengkuas dan daun salam, tumis hingga daun rempah layu.
Masukkan teri dan petai, aduk dan tumis selama 1 menit.
Masukkan gula jawa, kecap manis, air asam jawa, garam dan kaldu jamur, aduk rata. Cicipi rasanya, sesuaikan asin manisnya. Masak hingga tumisan mendidih. Masukkan kemangi, aduk dan tumis sebentar hingga daun kemangi layu. Angkat.
Tata terung kukus di piring saji, siram dengan sambalnya, sajikan.
Pagi-pagi mba Endang udh ngiris bawang merah ihh...salut y mba ada yg tetap berusaha bisa memberi ditengah kekurangan, jadi bapak itu sebenarnya kaya mba. Yg diberi amanah jd pejabat mudah2an tidak mematikan nuraninya utk lebih memperhatikan kepentingan masyarakat bawah. Terong mah diapain aja hayo mba, disambel, dilodeh, dihasem, digoreng doang, bikin gagal diet hehehe
BalasHapusSetuju Mbak Herlina, takjub saya dengan kemurahan hatinya. Benar-benar tidak mengambil untung banyak.
Hapussetiap sarapan pagi di kantor, saya pasti mantengin resep2 mbak endang wkwk supaya sarapan yg kadang cuma ditemani telur ceplok dan sayur lodeh semakin nikmat rasanya :p suka sekali dengan cerita-ceritanya mbak endang >_< semangat terus mbak endang
BalasHapusWah thanks ya Mba, senang cerita2nya disuka, walau saya akhir2 ini agak kurang mood menulis wakkakak. Sukses selalu yaaa
HapusSelalu suka membaca cerita mbak Endang. selain suka resep-resepnya, saya juga suka menunggu-nunggu kisah apalagi yang akan diceritakan mbak Endang.Gaya berceritanya enak dan nyaman dibaca sama seperti masakannya hehehe....Semangatt Mbak!!
BalasHapuswkakakka, thanks Mba Anni, senang cerita2nya disuka, sukses yaa
HapusTerharu membaca cerita bpk penjual sayurnya...walau dlm pandangan kita dia kekurangan...tapi sungguh dia sangat dermawan... Terus menulis mbak...kadang lbh suka baca ceritanya drpd resepnya hehe
BalasHapusthanks yaa ^__^
Hapus