Sepertinya saya memang kurang berbakat menjadi travel blogger atau jurnalis, begitu banyak objek yang seharusnya bisa diabadikan dalam foto dan menunjang tulisan, tapi hal tersebut tidak dilakukan. Saya terlalu terpana, atau terlena dengan hal baru disekitar hingga memotret tidak terlintas sama sekali dikepala. Contohnya saat hendak menulis cerita mengenai Ubud seperti kali ini. Saat itu saya memperhatikan betapa banyaknya turis asing berlalu-lalang dengan motor, menurut saya itu adalah hal unik, tapi tangan ini tak bergerak meng-capture gambar, kini saya hanya bisa bercerita tanpa bukti foto yang nyata. Jadi jika begitu banyak tulisan dibawah tidak disertai dengan foto-foto yang menunjang maka memang karena saya lupa menjepretnya saat itu, dan bukan berarti cerita ini hanya hasil daya khayal semata 😅.
Wokeh, lanjut ke postingan saya mengenai cerita kala berlibur di Bali beberapa waktu yang lalu (again!) yang sepertinya tak usai diurai (saya memang 'ember' tingkat tinggi). Kali ini spesial mengenai Ubud ya, karena begitu banyak kisah unik yang terjadi disini. Ubud adalah destinasi wisata yang sepertinya kudu, wajib, dan harus dikunjungi ketika kita pergi ke Bali. Seakan jika ke pulau Dewata dan tidak singgah di Ubud maka belumlah datang ke Bali rasanya. Di hari ketiga saya di Bali, Lily, sahabat dan host saya selama disana, mengajak untuk pergi ke Ubud. Karena dia ragu dengan taksi online yang dilarang memasuki hampir sebagian besar obyek wisata di Bali, maka kami lantas pergi menaiki motor. Walau dulu saat kuliah saya selalu menyetir motor ketika berangkat ke kampus, namun selama tinggal di Jakarta semua keberanian itu lenyap. Apalagi sejak SIM C mati dan tak pernah diperbarui kembali maka keinginan menyetir motor dikubur dalam-dalam. Waktu masih kuliah di Jogya, menjelajah hingga ke Bantul, Kopeng dan Prambanan dengan motor adalah hal biasa, kini saya beranggapan motor adalah moda transportasi yang sangat berisiko tinggi apalagi dengan tingkat lalu lintas yang super padat di Jakarta, ditambah kelakuan supir metromini dan angkot yang main serobot seenak jidat. Saya bahkan tidak berani naik ojek dan memilih naik angkutan umum lainnya walau lebih lambat jalannya.
Venezia Spa yang cozy |
Perjalanan sekitar 45 menit, kami tiba di Ubud dalam kondisi kepanasan, muka merah dan badan berkeringat. Lily langsung mengarahkan motor ke sebuah spa pijat yang sering menjadi langganannya selama stay di Bali. Spa bernama Vanezia ini terletak di jalan Monkey Forest, Ubud. Sebuah tempat yang nyaman, asri, dengan sentuhan khas Bali yang membuat kita betah duduk berlama-lama diruang tunggunya. Sebuah kolam ikan membentang didepan spa dengan jembatan kayu diatasnya, jajaran bunga marigold berwarna jingga gonjreng menghiasi jembatan dan dalam bejana-bejana besar mengubah tampilan spa menjadi istimewa. Di Bali, marigold alias bunga tembelakan ini sering ditampilkan bersaing dengan bunga kamboja yang menjadi bunga icon pulau Dewata.
Karena antrian cukup panjang, kami harus menunggu sekitar 2 jam-an yang dipakai untuk mencari es kopi. Di dekat Monkey Forest ada sebuah kafe bernama Bali Kopi House yang ternyata cukup kondang di TripAdvisor. Kafenya tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman. Kami memilih duduk diluar agar bisa memandang turis yang berlalu lalang. Ubud adalah daerah wisata di Bali yang didominasi oleh turis asing Western yang jumlahnya sangat banyak, mereka memenuhi jalanan dengan baju kuntung, T-shirt dan celana pendek berharap agar kulit terbakar kecoklatan selama berlibur disini. Turis lokal dan Asia sangat jarang, hanya beberapa saja saya temukan. Di kafe ini saya memesan segelas mango lassi yang lezat rasanya, resepnya pernah saya post disini, sedangkan Lily memesan es kopi yang gelasnya jauh lebih besar dan membuat saya envy memandangnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan jika hendak mengunjungi Ubud adalah masalah transportasi. Di Ubud dan banyak obyek wisata beken di Bali seperti Tanah Lot, semua moda transportasi online dilarang. Papan peringatan berwarna kuning gonjreng yang bertuliskan 'online taxis are not allowed in this area' diletakkan dimana-mana, hampir disetiap jengkal jalanan di jalan raya Ubud. Bukan hanya taksi dan ojek online, bahkan taksi sekelas Blue Bird pun dilarang beredar. Transportasi menurut saya menjadi hal yang paling menyusahkan selama berlibur di Ubud, tak heran jika para bule banyak yang bersliweran di jalanan dengan motor sewaan. Yep, motor adalah sarana transportasi paling mudah dan terjangkau di Ubud. Banyaknya gang kecil di Ubud yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki dan motor, jalanan Ubud yang naik turun sehingga susah ditempuh dengan sepeda onthel, serta susahnya transportasi umum maka menyewa motor sangat disarankan jika anda hendak stay beberapa hari di Ubud dan bermaksud mengeksplore area yang bukan hanya seputar jalan raya dan pasar raya Ubud. Banyak sekali kafe unik yang terletak ditengah persawahan yang aksesnya berupa jalan setapak kecil, bahkan motor dan pejalan kaki pun akan susah melewatinya jika bersinggungan. Banyak juga hotel-hotel murah dalam gang kecil yang tidak bisa diakses dengan mobil.
Mango lassi dan es kopi di Bali Kopi House |
Transportasi di Ubud diwakili oleh taksi lokal (biasanya berupa mobil pribadi) dan ojek lokal. Supir taksi dan ojek ini memarkirkan mobil dan motor mereka di sepanjang jalan dan duduk nongkrong disekitar kendaraan mereka sambil membawa selembar karton bertuliskan 'taksi'. Mereka biasanya akan menyapa turis asing atau lokal yang bersliweran dan menawarkan jasa. Bagi saya pribadi, taksi atau ojek lokal bukanlah masalah selama mereka menentukan tarif yang wajar dan masuk akal. Di jaman serba online seperti ini dimana lokasi dan jarak bisa diukur dan dicek menggunakan Waze atau GPS maka menetapkan tarif tinggi untuk lokasi yang jaraknya dekat, terasa mengagetkan. Saya pribadi sebelum pergi ke satu tempat selalu membuka Waze atau GPS untuk mengira-ngira berapa jauh jaraknya dan apakah bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau harus menaiki kendaraan bermotor. Jadi jika kemudian kita tahu jaraknya sangat dekat tapi supir ojek memberikan tarif super mahal tentu saja membuat kami kapok hendak bertanya yang kedua kalinya.
Papan ini terletak di sepanjang Ubud |
Turis, baik asing maupun domestik, umumnya tahu jika taksi lokal menetapkan tarif yang lebih mahal, saya jarang melihat mereka bersedia menerima tawaran supir taksi lokal kecuali mungkin dalam kondisi terpaksa. Tarif taksi online yang masuk akal dan pasti harganya tentu saja lebih dipilih. Tapi dengan banyaknya papan peringatan kuning maka tak ada satupun taksi online yang berani menghidupkan GPS mereka selama di Ubud. Ketika kita membuka aplikasi salah satu provider taksi online maka peta menunjukkan tak ada satupun kendaraan berada disana. Beberapa taksi online yang mobilnya pernah kami naiki bercerita mengenai kejadian yang tidak mengenakkan, kala sedang mengangkut turis asing di Ubud tiba-tiba dicegat oleh beberapa supir taksi lokal yang menggedor-gedor kaca mobil meminta supir menurunkan penumpang saat itu juga. Betapa tidak nyamannya kejadian ini dan juga mencoreng nama Bali sendiri sebagai obyek wisata tingkat dunia. Kejadian serupa di area wisata lainnya bahkan pernah diulas di website Coconuts.co yang link artikelnya bisa diklik disini. Bukankah hak setiap penumpang untuk menentukan moda transportasi yang mereka inginkan? Dan jika taksi online lebih banyak peminatnya mengapa supir taksi lokal ini tidak segera beralih menjadi taksi atau ojek online yang lebih menjanjikan penghasilannya?
Jalan Raya Ubud, tak kalah macet dengan Jakarta |
Kondisi ini membuat persewaan motor justru yang berkembang pesat. Menyewa motor di Ubud satu hari berkisar di angka 70 ribu hingga 90 ribu rupiah tergantung jenis motornya. Minimal kita harus menyewa selama 2 hari, itupun banyak sekali persewaan motor yang kehabisan stok terutama jika kita menyewa mendadak. Akhirnya bisa ditebak, jalanan Ubud penuh dengan motor bersliweran dan motor yang parkir dimana-mana, bahkan parkir kini mulai menjadi masalah disana. Sepertinya harus dicari win-win solution mengenai masalah transportasi, dimana penduduk lokal dan turis bisa sama-sama diuntungkan.
Ketika saya bercerita mengenai hal ini di Instagram, seorang follower di IG yang berasal dari Bali memberikan komentar yang intinya, "Masing-masing daerah wisata memiliki adat istiadat dan aturannya sendiri, turis dan pendatang sebaiknya mengikuti dan menghormati aturan tersebut." Yep, tentu saja saya setuju! Semua daerah dan negara apakah itu di Timur atau di Barat memiliki kebudayaan masing-masing yang harus dijaga dan dihormati, tetapi jika daerah atau negara itu mulai membuka diri untuk tourism bahkan menggantungkan sebagian besar pendapatan mereka dari sektor ini maka beberapa penyesuaian atau perubahan menuju ke arah yang lebih baik perlu dilakukan, selama aturan tersebut tidak against budaya, adat istiadat, agama, dan kepercayaan penduduk lokal. Tidak perlu bersikukuh dengan pride atau arogansi bahwa setiap perubahan berarti tidak menghormati budaya dan kearifan lokal. Bukankah tersedianya moda transportasi yang mudah, terjangkau, dan harganya reasonable adalah hal yang umum ditemukan disetiap obyek wisata dibelahan dunia manapun yang ingin pariwisatanya semakin maju dan diakui dunia internasional?
Ubud Palace, Bali |
Transportasi yang baik bukan hanya akan membuat wisatawan menjadi nyaman tapi juga akan mempermudah kehidupan masyarakat lokal Bali sendiri. Kasus ini sama seperti ketika TransJakarta pertama kali tersedia di Jakarta, supir metromini dan angkutan umum berdemo dimana-mana. Tapi pada akhirnya penumpanglah yang menentukan. TransJakarta yang nyaman, ber-AC, tidak ugal-ugalan karena tidak mengejar setoran dan memperlakukan penumpang dengan bermartabat tentu saja lebih dipilih dibandingkan metromini. Saya membayangkan betapa nyamannya jika tersedia TransBali dengan tarif terjangkau, berputar-putar diarea wisata dan terkoneksi dari satu area wisata ke area lainnya. Wow mantap!
Argumentasi kami di komentar di IG berubah menjadi memanas, si Mbak tidak terima ketika saya mengatakan supir taksi lokal suka 'mengemplang tarif', mengatakan saya keterlaluan dan memberikan bad image tentang Bali yang tentu saja hal tersebut sama sekali tidak benar. Begitu banyak post di IG saya yang menunjukkan keindahan Bali, memujinya, dan merekomendasikan tempat atau resto untuk dikunjungi atau dicicipi di pulau Dewata ini, tapi bukan berarti saya menutup mata untuk satu kekurangan yang sebenarnya bisa diperbaiki. Saya heran mengapa si Mbak ini mengganggap kritik yang membangun sebagai satu serangan. Be open minded lah dan jangan terkungkung oleh pikiran sempit yang beranggapan diri kita sudah is the best. Perdebatan kami berakhir dengan saya memblokir akun IG si Mbak. Selesai!
Nantikan cerita mengenai perjalanan saya di Ubud pada postingan selanjutnya ya.
Untuk cerita mengenai jalan-jalan saya di Bali lainnya bisa diklik pada postingan dibawah ini:
Pantai Sindhu dan Pasar Sindhu, Bali
Setuju sekali dengan semua points Nak Endang di atas. Satu-satunya yang saya tidak sukai dari Bali adalah moda transportasinya. Saya juga heran kenapa pemerintah daerah seperti tidak pernah mengatur tentang masalah ini. Terakhir ke Bali 2017 lalu, di bandara Ngurah Rai saat sedang texting kenalan yang akan menjemput saya dan keluarga, saya dihampiri pria berkumis dengan bahasa tubuh yang tidak sopan berusaha melihat layar HP saya untuk memastikan apakah saya sedang pesan taksi OL. Untungnya sebelum liburan saya sudah bikin PR tentang monopoli taski lokal di bandara dan destinasi wisata di Bali. Jadi dengan lantang dan galak saya semprot ketidaksopanan pria itu sambil menegaskan saya tidak sedang pesan taksi OL.
BalasHapusWah, saya ketinggalan membaca postingan Si Mbak yang ngeyelan. Mungkin dia juragan taksi lokal, Nak ...wkwkwkwk
Iya, sekian lamanya menjadikan obyek pariwisata sebagai pemasukan utama, kenapa urusan transportasinya nggak dibenahi ya.
HapusYupz mba Endang, terimakasih sdh mewakili suara hati mereka2 yg merasakan hal yg sama. Aku sih sdh lama sekali gak jln2 ke Bali, tp dimana2 di daerah di Indonesia ini kok kdg2 atas nama kearifan lokal kita tdk mau menerima perubahan karena stag di zona nyaman dan lama2 menimbulkan arogansi. Knp harus menutup mata kalau memang ada kekurangan? Ohya mba, itu gelas es kopi bisa 2x lipat gedenya dr mango lassi punya mba y? Mantap itu es kopinya..
BalasHapusiya, arogansi lokal jadinya, dimana2 sama, gak di Bali, Jogya, atau daerah pariwisata lainnya. Mereka butuh pemasukan dari turis/pendatang tapi gak mau menerima masukan atau kritik membangun.
Hapusterima kasih ceritanya mbak endang. kebetulan awal tahun depan saya ke sana. bermanfaat banget terutama informasi tentang taksi online.
BalasHapussip, sama2 Mba Ida
HapusHeran juga mengapa mbak tersebut marah-marah ya? Tulisan mbak Endang dengan jelas menunjukkan plus dan minus pariwisata di Bali, tidak subyektif mau benar sendiri, semua yang terpampang disini didasari pengalaman nyata, disampaikan dengan tutur kata penulisan yang detil, bermakna, tidak menyerang satu pihak membabi buta. Mungkin kita semua harus membiasakan diri untuk membaca dengan hati-hati serta membuka diri pada kritik membangun yang disampaikan dengan baik. Saya pribadi sangat menyukai gaya penulisan mbak Endang, sangat detil, terkadang kocak, dan pastinya ngangeni kalau sudah lama mbak Endang tidak menulis di blog.
BalasHapusArogansi menurut saya, menganggap diri atau daerahnya sudah is the best jadi menutup mata dengan kekurangan. Tipikal lokal indonesia hahahah, dimana2 yng model begini ditemukan. Bahkan kalau saya share resep daerah, yang merasa berasal dari daerah tersebut kadang tidak terima dengan bahan2 dalam resep.
HapusSalam kenal dari jogja mbak endang...
BalasHapus