Saya akui, saya memang agak mengerikan jika sudah 'gandrung' dengan satu hobi tertentu. Sebegitu mengerikannya hingga semua waktu, dana, tenaga dan pikiran tercurah dengan hobi tersebut. Terkadang tak peduli badan sudah lelah, atau kondisi sekitar yang tidak mendukung, saya tetap berkutat dengan aktifitas yang sedang digilai saat itu. Sebagaimana cerita di postingan saya sebelumnya, minat saat ini sedang tercurahkan ke hobi berkebun yang kini menyala kembali. Nah kebetulan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, sedang diselenggarakan Pameran Tanaman Hayati 2019. Pameran Flora dan Fauna yang setiap tahun selalu diadakan di lokasi ini telah usai bulan September lalu, kini pameran berbeda dengan produk yang sama menggantikannya. Pameran tanaman adalah tempat yang asyik bagi pecinta tanaman untuk cuci mata dan melihat-lihat koleksi yang dijual. Niat hati tidak membeli, pulangnya selalu menenteng beberapa tanaman.
Hari Jumat minggu lalu, bersama beberapa rekan kantor, saya pergi ke Pameran Hayati. Kali ini saya lebih berminat melihat anggrek dan tanaman rempah. Satu stand khusus yang berjualan tanaman herbal dan obat, sangat pas menunjang keinginan tersebut. Mint, pohon kari dengan batang daun yang berwarna merah (saya telah memiliki yang berbatang hijau biasa), rosemary, akhirnya ditenteng pulang. Saya sebenarnya berminat dengan tanaman rempah lain seperti thyme, dan aneka basil, tapi masing-masing tanaman ini diletakkan dalam pot yang agak besar ukurannya. Susah juga jika harus menenteng banyak tanaman saat pulang menaiki MRT.
Pameran tanaman Lapangan Banteng selalu menarik, tapi untuk harga tidak bisa dibilang murah. Berhubung saya sudah mengantongi kisaran harga tanaman anggrek dari online shop, saya cukup tahu harga masing-masing jenis yang dipajang, terutama jenis anggrek yang sedang ngetrend seperti cattleya Taiwan dengan bunga besar berwarna-warni semarak. Di online shop, bunga jenis ini dihargai sekitar 100 - 200 ribu per pot yang biasanya terdiri dari beberapa bulb atau batang. Harga ini tergantung jenis anggrek dan banyaknya batang dalam satu potnya. Di pameran kemarin semua jenis cattleya Taiwan langsung dibandrol seharga 220 ribu per pot, saya hanya sekedar bertanya harga dan kehilangan minat membeli. Walau di pameran kita bisa langsung menenteng tanaman pulang dan memilihnya sendiri, tapi membeli tanaman di online asalkan pada nursery besar dan memiliki track record baik, maka kejadian zonk jarang terjadi.
Setelah berkeliling ke semua stand, kami bahkan skip makan siang, akhirnya saya pulang membawa 3 jenis tanaman rempah dan 5 buah seedling aggrek dendrobium seharga 20 ribu rupiah per tanaman. Stand penjual seedling anggrek dendro ini satu-satunya penjual yang menjual tanaman anakan dan harganya cukup reasonable. Tanaman seharga 200 ribu sepot jika mati pasti akan membuat patah hati tapi kalau hanya seedling seharga 20 ribu masih bisa diterima secara psikologis. Banyaknya bawaan membuat saya harus menggunakan taksi kala pulang kantor, dan malamnya semua tanaman langsung ditanam. By the way, Pameran Hayati 2019 ini berakhir tanggal 8 Desember 2019 ya, bagi yang hendak kesana masih ada waktu hingga hari minggu ini.
Stand di Pameran Hayati |
Tak puas hanya dengan 5 seedling anggrek dendrobium dan 4 buah anggrek bulan, saya kemudian menambah 10 buah seedling anggrek dendro kembali, kali ini dibeli di online shop. Nursery-nya berada di Semarang dan membutuhkan waktu hampir dua minggu hingga tanaman tersebut saya terima. Kondisi seedling bagus, sehat dan segar, bahkan ukurannya banyak yang bukan seedling lagi alias sudah menjadi tanaman remaja. Harganya 15 ribu rupiah per tanaman, minimal harus membeli sebanyak 10 buah. Kemarin paket berisi seedling anggrek tersebut tiba, bersama 4 buah anggrek cattleya remaja yang saya beli online dari sebuah nursery di Malang. Saya cukup puas dengan dua nursery ini karena tanaman yang dikirimkan gemuk, sehat dan segar. Malamnya sepulang kantor, kala cuaca mendung saya mulai menanam 15 buah tanaman anggrek di teras.
Stand di Pameran Hayati |
Kilat yang menyambar-nyambar dan angin yang berdesau keras tak saya hiraukan, jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh, malam masih terlalu dini. Saya terus asyik mengisi pot dengan cacahan kulit pinus dan sabut kelapa, pekerjaan seperti ini jika semangat sedang menerjang terasa nikmat. Pukul setengah delapan malam, hujan deras menghajar Jakarta Selatan diiringi dengan petir bertalu-talu. Ini adalah hujan terderas yang pernah terjadi sejak memasuki musim penghujan beberapa minggu ini. Saya tidak terlalu memperdulikan kondisi sekitar, hingga petir super kencang disusul kilat yang terang benderang membuat saya melemparkan anggrek dari tangan dan kabur terpontang-panting masuk ke dalam rumah. Tidak lucu rasanya jika koran esok hari dipenuhi dengan berita seorang perempuan tewas tersambar petir kala sedang menanam anggrek di teras.
Hasil menanam anggrek di teras rumah |
Sambil menunggu hujan dan petir mereda saya menuju ke dapur dan memasak kelo mrico, hujan-hujan begini bawaannya ingin selalu makan hidangan berkuah yang pedas. Resepnya simple dan prosesnya mudah, dalam satu jam masakan selesai difoto, tapi hujan belum usai jua. Saya menghabiskan waktu didepan laptop menonton video di You Tube dan ketika jam menunjukkan pukul sembilan, saya kembali ke teras, mendeprok disana, mengulangi pekerjaan yang sama yaitu memasukkan anggrek ke dalam pot. Akhirnya di jam sepuluh malam semua tanaman kelar dan tergantung rapi di rak kawat yang khusus saya beli untuk menggantungkan anggrek ditepian teras. Walau badan terasa capek tapi hati terasa riang dan mata menjadi segar melihat seedling-seedling ini duduk manis didalam singgasananya. Semoga tumbuh sehat ya nak!
Wokeh menuju ke menu hari ini Sudah lama saya mengincar resep masakan ini, sejak sebuah koran online mengupas wisata kuliner di jalur Pantura. Sup ikan dengan citarasa pedas dan segar memang selalu menjadi incaran sejak dulu. Entah sudah berapa banyak resep sup ikan yang saya coba hanya karena rasa penasaran hendak menemukan rasa yang sesuai dengan selera. Resto yang menyajikan menu sup ikan juga selalu menggelitik rasa untuk mencoba dan jika enak, ingin segera dibuat sendiri dirumah. Kelo mrico dengan citarasa pedas terlihat segar, apalagi gambar yang ditampilkan di online begitu menggugah minat, kuah sup berwarna kuning kehijauan karena menggunakan cabai hijau dan kunyit. Bagi masyarakat seputar Pantai Utara Jawa seperti Rembang dan sekitarnya, kelo mrico adalah makanan sehari-hari sejak dulu kala. Kelo mrico berasal dari bahasa Jawa, kelo yang artinya sayur, dan mrico atau merica yang artinya pedas. Jadi makanan ini artinya sayur yang pedas.
Ketika saya post sup ikan Bali beberapa waktu yang lalu (resepnya bisa diklik pada link disini), seorang pembaca JTT, Mbak Uky, memberikan komentar dan share resep masakan ini yang menurut dia mirip dengan sup ikan Bali yang saya posting. Membaca bumbu dan bahannya menurut saya sih memang tidak terlalu berbeda. Kelo mrico biasanya menggunakan jenis ikan air tawar berdaging lunak seperti lele, tapi resto di Pantura menggunakan ikan manyung. Bahan lain yang ditambahkan adalah krai, sejenis ketimun Jawa yang berkulit loreng, lebih hijau warnanya dan lebih keras teksturnya dibandingkan ketimun biasa. Di Bali, sup ikan menggunakan ketimun Jepang, walau beberapa resto lain katanya menggunakan jenis sayuran lainnya.
Sayangnya saya tak pernah menemukan krai di Jakarta, ketimun jenis ini hanya banyak terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dulu ketika saya masih kecil dan tinggal di Paron, krai biasanya dimasak menjadi sayur asem atau direbus hingga lunak dan menjadi camilan kala musim kemarau yang panas. Untuk resep ini saya menggunakan ikan ekor kuning dan ketimun biasa yang kulitnya saya kupas berselang-seling agar teksturnya tetap keras.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Kelo Mrico Pantura
Resep diadaptasikan dari Mbak Uky
Untuk 4 porsi
Tertarik dengan resep sup ikan lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Sup Ikan Manado
Sup Asam Pedas Ikan Kakap dengan Nanas
Sup Ikan Singapore
Bahan:
- 4 ekor ikan ekor kuning, siangi, belah dua (bisa menggunakan jenis ikan air laut atau air tawar lainnya)
- 1/2 sendok makan garam
- 3 sendok makan air asam jawa
- 3 buah ketimun atau krai
Bumbu tumbuk kasar:
- 5 siung bawang merah
- 4 siung bawang putih
- 1 sendok teh terasi
- 3 sendok makan air asam Jawa
- 1/2 sendok teh merica bubuk
- 2 cm kunyit
- 4 butir kemiri
- 15 buah cabe rawit hijau
Bumbu lainnya:
- 1 buah tomat diiris kasar , saya tidak pakai
- 3 cm lengkuas, dimemarkan
- 1 batang serai, dimemarkan (resep asli tidak pakai)
Cara membuat:
Siapkan ikan yang sudah disiangi, lumuri dengan garam dan air asam jawa, diamkan 10 menit, cuci bersih. Sisihkan.
Siapkan ketimun, kupas berselang-seling kulitnya (bisa menggunakan krai, sejenis ketimun tapi lebih keras teksturnya). Potong ketimun setebal 2 cm. Sisihkan.
Siapkan bumbu yang ditumbuk kasar, saya proses dengan chopper.
Masukkan bumbu kasar, lengkuas dan serai ke panci. Tambahkan air, rebus hingga mendidih.
Masukkan ikan, ketimun, garam, merica, gula, kaldu bubuk dan air asam jawa. Masak dengan api sedang hingga ikan matang dan ketimun lunak. Cicipi rasanya, sesuaikan asinnya, angkat. Sajikan panas.
Duh mb endang crtany bikin deg degan sy plg takut dengar suara petir mb..mksh resepnya mau tk cb bsk ah.salam dari eti cilacap
BalasHapussalam Mbak Eti, saya juga takut banget, mana kenceng banget lagi
HapusHai mba Endang, sy juga penyuka anggrek nih.. Sedikit saran aja mba, media anggrek bag.atas sebaiknya d kurangi, anggrek suka kalo akarnya tidak terlalu tertutupi. Salam dr Jogja. Yusi.
BalasHapusHalo Mbak Yusi, thanks yaa, sudah saya bongkar ulang dan kurangi medianya. Banyak yang busuk
HapusWah mbak Endang baca critanya jadi menginspirasi buat memilih tanaman daun kari dan bumbu juga di halaman dapur. Saya baru tau kl ada daun kari warna merah selama ini taunya hanya yg hijau. Apakah ada perbedaan penggunaan atau aromanya mbak?
BalasHapusSalam dari Jatim
halo Mba, so far setelah saya menanam keduanya, sama saja menurut saya wakkakak. Ukuran daun kari merah agak lebar, tapi aroma sama
HapusWaahhh masakan dari negara saya nih, Mba... Rembang hehehe.... Kalau kami pakai ikannya yg berdaging tebal dan dan sedikit duri, seperti manyung atau sembilang.
BalasHapusyep, saya baca di internet pakai ikan manyung, ngiler lihatnya, sayang disini gak pernah lihat manyung
Hapus