Kemarin, berangkat dan pulang kantor benar-benar penuh perjuangan. Peraturan baru pembatasan waktu operasional MRT dan pengurangan rute TransJakarta demi mengurangi penyebaran virus corona, benar-benar membuat karyawan kantoran seperti saya kelimpungan. Walau pemerintah pusat menganjurkan work from home dan stay at home agar dijalankan, namun aturannya tetap dikembalikan ke perusahaan masing-masing. Kantor saya yang bergerak dibidang transaksi jual beli efek dan mengikuti jam kerja Bursa Efek tidak bisa begitu saja langsung 'merumahkan' karyawan dan meminta kita bekerja dari rumah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan seperti sistem dan koneksi ke bursa untuk keperluan trading, belum lagi proses settlement di akhir hari setelah jam perdagangan berakhir. Tim di back office harus melakukan koneksi dengan otoritas lain seperti kustodian dan bank untuk proses payment dan transer dana.
Terlepas dari permasalahan yang terjadi dikantor tempat dimana saya bekerja, saya yakin masih banyak perusahaan-perusahaan lainnya yang belum menerapkan work from home secara total. Terbukti ketika aturan mengenai pemangkasan waktu MRT dan pengurangan rute Transjakarta dilakukan, penumpang berjubelan distasiun dan terminal. Tobat!
Pagi hari saat berangkat ke kantor, saya dibuat shock dengan antrian mengular di stasiun Blok A yang biasanya selalu lancar dan sepi-sepi saja. Satu hari sebelumnya saya telah membaca berita di media mengenai aturan yang diberlakukan Pemda DKI, sempat merasa kesal ketika membacanya dan semakin bertambah kesal ketika mengalami akibatnya.
Bayangkan saja, kereta MRT yang tadinya lewat setiap 5 menit sekali berubah menjadi setiap 30 menit. Jumlah gerbong yang tadinya 9 buah dipangkas menjadi 4 buah. Belum cukup itu dilakukan masih ditambah lagi dengan waktu operasional MRT yang dimulai pukul 6 pagi hingga 6 sore saja, setelah sebelumnya MRT beroperasi hingga pukul 10 malam. Serasa itu tak cukup membuat karyawan kantoran sengsara, Transjakarta yang tadinya memiliki rute hingga 250 an, dipangkas menjadi hanya 13 rute saja. Perlu diketahui, sejak Transjakarta dan MRT mulai efektif melayani ke seluruh pelosok ibukota maka segala bentuk metromini dan kopaja telah menghilang dari peredaran. Angkutan umum kecil masih ada tapi hanya melayani rute-rute tertentu saja.
Karena pembatasan ini dan ketentuan social distancing 1 meter serta menghindari terbentuknya keramaian, maka dalam setiap kereta yang lewat maksimal hanya 20 penumpang saja yang boleh naik per stasiun. Sisanya harus antri sebelum memasuki mesin scanner, berderet, mengular panjang didalam stasiun yang panas. Saya yang mengenakan masker merasa keringat berleleran menetes dari area hidung, seputar mulut dan dagu. Rasanya ingin mengamuk dan memaki-maki saat itu juga. Peraturan yang seenak jidatnya diterapkan tanpa memikirkan dampak luasnya, seakan masyarakat adalah kelinci percobaan saja. Semua sekolah memang diliburkan selama 2 minggu, tapi karyawan kantor masih full force bekerja, tidak ada instruksi resmi pemerintah jika perusahaan wajib meliburkan karyawannya. Work form home dikembalikan ke kebijakan masing-masing perusahaan. Lebih dari 45 menit saya terhambat di stasiun, untuk perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu 10 menit. Belum lagi kondisi antri dan berjubelan seperti ini sudah pasti meniadakan jarak 1 meter karena ruangan yang tidak memungkinkan untuk menampung penumpang. Potensi tertular virus satu sama lainnya justru akan semakin besar.
Saat pulang kantor, hujan yang turun super deras sejak tadi telah berubah menjadi gerimis. Kondisi hujan seperti ini dan peraturan ganjil genap yang juga ditiadakan membuat jalanan macet total. Dibawah payung dalam siraman rintik hujan, tak ada satupun angkot 44 andalan yang lewat. Sialnya, 13 rute Transjakarta yang diperbolehkan untuk tetap beroperasi tidak melewati rute perjalanan saya juga. Tak mampu rasanya untuk menaiki taksi karena berapa argo yang harus dibayar untuk kemacetan parah seperti ini? Saya menunggu dengan sabar dan gondok, hingga akhirnya ada sebuah angkot menuju kearah jalan Sudirman yang lewat.
Kondisi pakaian dan rambut lembab, tentengan yang berat membuat saya memutuskan hendak mencari taksi di jalan Sudirman. Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, MRT hanya beroperasi hingga jam 6 sore saja. Turun dari angkot saya iseng bertanya ke petugas sekuriti di stasiun MRT. "Pak, kereta masih lewat gak sih?" Teriak saya berharap. Alangkah leganya saya mendengar jawaban si petugas. "Masih Bu, tutup jam setengah 8. Peraturannya sudah diganti." Karena banyaknya komplain di medsos mengenai aturan baru ini dan tumpukan penumpang yang gila-gilaan di stasiun dan terminal, akhirnya Pemda DKI yang terhormat mengembalikan MRT dan Transjakarta kembali ke aturan normal. Malam itu MRT kosong melompong, entah karena penumpang sudah banyak yang pulang sejak siang hari atau karena mencari alternatif kendaraan lain karena mengira kereta hanya beroperasi hingga pukul 6 sore, yang jelas didalam gerbong tersebut saya hanya ditemani oleh 10 penumpang lainnya, dan kami benar-benar menerapkan social distancing. 😂
Menuju ke resep tteokbokki dengan homemade garaetteok. Ini makanan yang sudah lama ingin saya coba buat, tetapi berulangkali ragu jika hendak membuat garaetteok sendiri. Beberapa kali saya melihat prosesnya di blog masakan Korea, Maangchi, namun rasa percaya diri (atau mungkin rasa malas), tak kunjung muncul. Tapi minggu lalu saya mendapatkan kiriman tepung beras Aromanis untuk dibuat satu resep yang dipost di IG. Tepung beras biasanya dipakai untuk kue-kue tradisional, tapi kue terutama kue basah bukanlah keahlian saya. Teringat dengan tteokbokki, saya membuka kembali resep garaetteok ala Maangchi. Beberapa bahan dan bumbu saus saya modifikasi sesuai dengan kondisi dapur.
Ternyata membuat garaetteok sangat mudah. Ada dua cara yaitu memanaskan adonan tepung di microwave dan di dalam kukusan, saya menggunakan cara terakhir karena walau versi microwave lebih mudah, tapi versi kukusan lebih bisa dipraktekkan banyak pembaca. Sempat menemukan kendala, 1 cup air yang dicantumkan diresep ternyata kurang, adonan masih kering dan remah. Saya menggunakan sekitar 300 ml air panas untuk membuat adonan cukup basah. Ketika adonan selesai dikukus, teksturnya terasa lebih liat dan keras, terpaksa saya menambahkan beberapa sendok air panas kala ditumbuk, agar adonan menjadi lemas. Jika anda mengalami kendala yang sama dimana adonan terasa kaku dan keras setelah dikukus, jangan ragu menambahkan air panas kala adonan ditumbuk. Tambahan air membuat garaetteok lebih elastis dan tidak terlalu kaku.
Untuk bahan lainnya, saya menggunakan bakso ikan goreng yang berukuran panjang. Bakso ikan ini biasanya diletakkan bersama aneka bakso seafood beku yang umum dipakai untuk membuat sabu-sabu. Di supermarket dijual dalam bentuk kiloan dan bisa dicampur antar jenisnya. Jika susah ditemukan, gunakan saja bakso ikan biasa dan goreng hingga permukaannya agak kecoklatan baru diiris agak tipis. Untuk sayurnya, saya menggunakan sawi putih dan daun bawang.
Bahan saus agak sedikit complicated karena kita harus membuat kaldu teri dan kombunya terlebih dahulu. Kaldu ini sejenis dashi di masakan Jepang, di dalam kuliner Korea disebut dengan yuksu. Yuksu dari rebusan kombu dan teri disebut dengan dashima myeolchi yuksu. Kombu adalah sejenis kelp atau ganggang/rumput laut dari keluarga Laminariaceae. Berbentuk kering, tipis seperti lempengan karton, berwarna hijau dengan permukaan yang dilapisi bedak tipis. Ketika hendak digunakan biasanya kombu dipotong ukuran 5 x 5 cm, jangan cuci bedaknya, cukup lap permukaanya dengan kain lembab saja. Kombu bisa dibeli di toko khusus makanan Jepang, saya membelinya di online shop.
Selain kombu, bumbu khas Korea lain yang diperlukan untuk yuksu adalah teri Korea. Biasanya teri yang digunakan adalah ikan teri khas Korea yang berukuran seukuran kelingking bayi, berwarna perak kehitaman. Karena ikan teri Korea ini mahal harganya, saya ganti dengan teri kering lokal biasa yang berukuran besar dan berwarna kekuningan. Saya beli di Batam beberapa waktu yang lalu, dan tahan bertahun-tahun di kulkas. Teri ini bisa diganti dengan jenis teri kering apapun ya. Bumbu lainnya adalah gochujang atau pasta/sambal khas Korea dari cabai bubuk dan fermentasi kacang kedelai hitam. Gochujang bisa diganti dengan saus sambal dan saus tomat botolan. Untuk cabai bubuknya, saya hanya pakai cabai bubuk biasa, bukan gochugaru (cabai bubuk khas Korea). Agar warna saus tteokbokki bisa merah merona maka gunakan cabai bubuk yang merah warnanya ya.
Berikut ini resep dan prosesnya.
Tteokbokki dengan Homemade Garaetteok
Resep Garaetteok diadaptasikan dari website Maangchi. Resep Tteokbokki diadaptasikan dari website My Korean Kitchen.
Bahan homemade garaetteok:
- 250 gram tepung beras
- 1 sendok teh garam
- 250 - 300 ml air panas mendidih
- 1 sendok teh minyak wijen
Bahan tteokbokki:
- 20 buah teri jengki / teri ukuran besar, cuci bersih
- 2 lembar kombu / dashima (@ 5 X 5 cm)
- 750 ml air
- 3 sendok makan gochujang (Korean chili paste), bisa diganti 4 sdm saus sambal botolan
- 2 sendok makan saus tomat (jika tidak pakai gochujang)
- 1 sendok makan gochugaru, atau cabai bubuk Korea atau cabai bubuk biasa
- 1 sendok makan soy sauce
- 1 1/2 sendok makan gula pasir
- 1 sendok makan gula palem bubuk
- 3 siung bawang putih, dihaluskan
- 1 sendok teh kaldu bubuk
- 20 potong garaetteok masing-masing sepanjang 5 cm
- 1 sdm tepung beras Aromanis + 100 ml air
- 5 buah bakso ikan goreng ukuran panjang, iris tipis atau 20 buah bakso ikan biasa, goreng sebentar dan belah 4
- 4 lembar sawi putih, rajang kasar
- 2 batang daun bawang, rajang serong sepanjang 3 cm
Topping:
- irisan daun bawang
- taburan biji wijen putih
Cara membuat garaetteok:
Siapkan mangkuk tahan panas, masukkan tepung beras dan garam, aduk rata. Tuangkan air panas mendidih sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan spatula, kondisi adonan basah tapi tidak terlalu lembek, jadi sesuaikan air panas yang digunakan. Masukkan mangkuk berisi adonan ke panci kukusan, kukus selama 25 menit dengan api besar. Keluarkan dari kukusan.
Selagi masih panas, tumbuk adonan dengan alat penumbuk selama kurang lebih 5 menit hingga adonan menjadi smooth.
Oleskan 1 sendok teh minyak wijen di permukaan meja, tuangkan adonan yang sudah ditumbuk, ulesi adonan hingga menjadi halus dan elastis. Gelindingkan adonan menjadi silinder tebal sepanjang 15 cm.
Bagi adonan menjadi 2 bagian, dan bagi masing-masing menjadi 10, kita akan mendapatkan 20 buah bola adonan. Gelindingkan masing-masing bagian di permukaan meja hingga menjadi silinder sepanjang 20 cm. Lakukan dengan cepat selagi adonan masih hangat agar tidak kaku. Tata adonan di loyang datar, biarkan hingga benar-benar dingin.
Jika adonan telah dingin, potong sepanjang 5 cm. Garaetteok fresh bisa langsung dimasak atau simpan di freezer hingga 1 bulan.
Membuat Tteokbokki:
Siapkan panci, masukkan 750 ml air, teri dan kombu. Diamkan 20 menit. Rebus hingga mendidih, tambahkan waktu 5 menit setelah mendidih. Angkat dan saring. Sisihkan.
Kembalikan kaldu ke panci. Masukkan gochujang, cabai bubuk, soy sauce, gula, bawang putih dan kaldu bubuk. Masak hingga mendidih.
Masukkan garaetteok, masak hingga kuah mengental. Aduk-aduk selama direbus agar garaetteok tidak menempel di dasar panci. Jika kuah kurang kental tambahkan beberapa sendok makan larutan tepung beras, aduk dan masak hingga kuah kental.
Masukkan bakso ikan, sawi dan daun bawang, aduk dan masak hingga sawi matang. Cicipi rasanya sesuaikan asin dan manisnya. Angkat dan sajikan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmbak boleh tanya, gochugaru nya pakai yang halus atau kasar?
BalasHapussaya pakai yang halus
HapusHarusnya kita nurut untuk stay at home supaya masalahnya gk rumit dan gk berkepanjangan seperti sekarang. Ngeri bayangin rentetan akibat wabah ini
BalasHapusgak bisa kalau perusahaannya gak memberlakukan, harus ada keputusan resmi pemerintah pusat bukan hanya sekedar himbauan. Kita semua juga takut keluar rumah, tapi gimana kalau perush tidak menjalannya, kita kan hanya pekerja, bukan boss.
Hapus😍😍😍
BalasHapusselamat sore mba endang
wah klo resep yang ini saya nyerah dech
rumittt...{ menyerah sebelum mencuba....heheehe]
Mbk endang kenapa engga bikin blog aja ?? Biar lebih jelas las las ngeliatnya >.<
BalasHapusHalo Anonim,
HapusMbak Anonim ini lagi komen di BLOG nya mba Endang, lho.
Mungkin maksudnya VLOG kali yah. Hihi
Mbak endang, itu adonan tepung berasnya pas dicampur sama air panas sampai basah tp tidak terlalu lembek, maksudnya gimana ya, bedanya sama kalis?
BalasHapusTrus dikukus 25 menit, nggak mateng tuh?
Penasaran jg ma tekstur pas udah matang? Kenyal kah seperti cilok? Atau malah empuk?
Yummi mba endang, aku dgn mudah menyimak dan memahami proses buat garraeteok nya, mudah2an sukses buat nya, hihi, baca cerita nya dlu suka jd ngebayangin sendiri gimana di posisi mba, fighting y mba! Klo saya hanya IRT yg hobby masak aja dn hasil karya nya selalu nyontek resep mba, dn slalu enyakkk hihi , take care always, mudah2an slalu dlm lindungan Alloh...
BalasHapusBlogger yg berbeda dr yg lain selalu menyelipkan cerita tentang keseharian. Menyenangkan baca resepnya, kadang Bikin senyum2 sendiri, bikin hati berdialog juga hahaha
BalasHapus