Tiga bulan lalu, saya dan rekan kantor masih duduk manis di meja masing-masing, membaca berita penyebaran virus corona di Wuhan. Saat itu kami saling berkomentar, bahkan mengirimkan melalui media sosial, gambar-gambar masyarakat Wuhan yang mengenakan aneka perlengkapan perlindungan diri mulai dari masker, kaca mata goggle, jas hujan, sarung tangan, hingga aneka penutup kepala yang terbuat dari galon air mineral. Beberapa gambar memang menakjubkan dan lucu, sehingga kami tertawa. Tidak bermaksud mentertawakan karena kondisi di Wuhan saat itu sangat mencekam. Kami saling berdiskusi mengenai kota yang sedang lock down, sepi bagaikan ghost town. Saat itu, walaupun banyak negara mulai sibuk berperang dengan COVID-19 seperti Singapura, Korea Selatan dan Jepang, satu kasus pun belum masuk ke Indonesia. Kami semua merasa aman, walau dalam hati saya merasa sangsi. Sungguh, tak pernah terbayangkan jika tiga bulan kemudian kondisi tersebut mulai memperlihatkan tanda-tandanya akan terjadi di Indonesia.
Sungguh, ini semua bagaikan mimpi. Tak pernah terbayangkan jika satu hari kita semua harus diam di rumah masing-masing, bekerja di rumah, tidak bertemu keluarga yang berbeda lokasi rumah, bahkan hendak ke mal dan pasar pun terbatas. Tak pernah terbayangkan ketika terpaksa keluar rumah sekalipun kita harus menggunakan perangkat perlindungan diri, masker berlapis-lapis, pakaian berlapis, atau sarung tangan. Bahkan hendak ke pasar atau mal saja dihantui rasa khawatir. Setiap hari ada rasa takut jika tiba-tiba tubuh menunjukkan gejala deman, pilek atau batuk, padahal biasanya ketika itu terjadi tak dipedulikan. Kini paracetamol dan obat batuk selalu tersedia di lemari obat, termasuk juga jahe, lemon dan madu. Rasa khawatir jika ada berita buruk dari keluarga terutama dari Ibu yang sudah lanjut usia dan kakak yang bekerja sebagai dokter di Batam setiap hari membayangi. Sungguh ini semua seperti nightmare yang seakan tak berkesudahan. Berkali-kali kala menatap wajah di cermin saya bertanya sendiri, apakah ini sungguh terjadi? Ataukah sebenarnya hanya dalam mimpi belaka. Berharap mukjizat segera turun, vaksin segera ditemukan dan beredar di masyarakat sebelum virus menyebar lebih jauh. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Tapi hidup harus terus berjalan, masalah tetap harus dihadapi dan bukan dihindari. Walau ada banyak masalah yang bisa dihindari tapi yang satu ini sepertinya tidak. Grup WhatsApp yang saya ikuti menjadi ramai setiap hari, berita mengenai corona membanjiri. Banyak yang memberikan link dari media berita di Indonesia atau seantero Bumi. Bahkan ada yang spesialisasi mengirimkan update jumlah kasus corona setiap hari. Setiap kali berita baru muncul, saya merasa detak jantung meningkat, badan menjadi seakan panas demam dan meriang, kepala terasa nyut-nyutan. Banyak rekan di kantor juga merasakan hal yang sama dan beberapa bahkan mengatakan leher menjadi gatal dan sakit tenggorokan. Gangguan psikosomatis ringan akibat berita-berita negatif seperti ini wajar terjadi, rasa panik yang kita semua rasakan adalah hal yang alami dan manusiawi. Tapi jika berkelanjutan akan berbahaya juga buat diri sendiri. Cara terbaik adalah dengan mengalihkan pikiran ke hal atau kegiatan yang menyenangkan, seperti mendengarkan musik, meditasi, yoga, olah raga ringan, dan menyalurkan hobi bermanfaat lainnya.
Hari ini karena libur sehingga tidak work from home, saya mencurahkan waktu sejak pagi dengan berkebun. Anggrek-anggrek sudah lama tidak mendapatkan sentuhan ekstra sejak dua bulan terakhir. Saya punya 10 buah seedling anggrek bulan dan cattleya yang lama tak diperhatikan. Seedling ini saya beli tiga bulan yang lalu, ukurannya saat itu luar biasa imut hingga saya khawatir akan KO dengan sukses. Ternyata walau hanya disiram dan itupun seringkali lupa, seedling masih bertahan hidup dan ukurannya mulai membesar. Ada satu seedling yang sepertinya susah diselamatkan karena busuk akar, dan beberapa seedling terserang spider-mites. Media sphagnum moss yang dipakai kurang cocok karena terlalu lembab, saya lantas menggantinya dengan media cacahan kulit pinus. Musim hujan begini busuk akar menjadi masalah besar anggrek di rumah, apalagi banyak anggrek yang menggunakan media moss dan potongan sabut kelapa.
Re-potting anggrek berlanjut menjadi mengganti media anggrek lainnya, mencabut rumput liar, pangkas-pangkas tanaman hingga re-potting seedling cabai yang mulai tumbuh tinggi. Saya seringkali menebar benih terlalu banyak, ketika semua tumbuh menjadi pusing tujuh keliling sendiri hendak ditanam dimana. Buah okra kini saya biarkan tua di pohonnya, persiapan menjadi benih buat next jika semangat menanam okra tumbuh lagi. Di halaman rumah yang secuplik ini, hama dan penyakit tobat banyaknya, entah itu kutu putih, virus, ulat hingga jamur. Okra pun tak ketinggalan mendapatkan serangan kutu putih, hingga daun menguning dan buah ditempelin banyak kutu. Saya capek harus berkali-kali menyemprotnya dengan pestisida organik dari ekstrak cabai dan bawang putih. Sepertinya harus dilakukan beribu-ribu kali hingga kutu tersebut benar-benar lenyap.
Bicara tentang tanaman di halaman, pengalaman saya dengan kelor termasuk unik. Saya membeli bibitnya di Lapangan Banteng kala pameran tanaman beberapa tahun yang lalu. Tanaman ini saya tanam di sebuah pot besar dan tumbuh luar biasa cepat. Tepatnya batangnya yang besar dan menjulur ke langit, daunnya hanya beberapa gelintir saja. Saya pangkas berkali-kali tetap menghasilkan hal sama, cabang banyak dengan daun yang jarang. Berbeda dengan kelor yang saya lihat di Bali, atau yang ditanam masyarakat di India dimana daun dan buah kelor menjadi santapan sehari-hari, tanamannya berdaun lebat. Saya bahkan membeli biji kelor di online shop, menebarkannya di sebuah pot. Tumbuh cepat dan subur, tapi daunnya hanya sedikit sehingga tidak layak disayur.
Satu hari, tanaman kelor berbatang tinggi ini saya pangkas, dan dipotong menjadi 3 bagian. Potongan batang ini saya sandarkan disebelah tembok yang teduh. Beberapa minggu kemudian batang-batang ini menumbuhkan daun yang lebat dan subur padahal batang bawahnya tidak terbenam ditanah. Banyak yang mengatakan menanam kelor dari stek sangat mudah, pengalaman saya sangat susah kecuali untuk kasus yang satu ini. Nah daunnya yang subur lantas dipanen dan dimasak bersama jagung manis pipilan menjadi semangkuk sayur bening daun kelor yang maknyus. Berikut ini resep dan prosesnya ya.
Sayur Bening Daun Kelor
Resep modifikasi sendiri
Untuk 2 porsi
Tertarik dengan sayur jadul dan simple lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Bahan:
- 1 ikat besar daun kelor, siangi (300 gram)
- 1 buah jagung manis disisir
- 600 ml air
Bumbu:
- 4 siung bawang merah, iris tipis
- 1 cm temu kunci, memarkan (optional)
- 1 sendok teh garam
- 1/2 sendok makan gula pasir
- 1/2 sendok teh kaldu bubuk, optional
Cara membuat:
Masukkan air ke panci, tambahkan bawang merah, temu kunci, garam, gula dan kaldu bubuk, rebus hingga mendidih. Masukkan daun kelor dan jagung, rebus hingga daun lunak, cicipi rasanya, sesuaikan manis dan asinnya. Angkat, sajikan.
Kok pas sekali ya Mbak, saya sedang pesan daun kelor lewat aplikasi Kecipir. Rencananya mau dimasak dengan gambas. Tapi dikirimnya baru hari Jumat lusa, hehe.
BalasHapusSehat-sehat selalu ya Mbak. Kita produktif dari rumah aja..
wah jarang tuh ada yang jual daun kelor segar. di Bali banyak yang jual, kalau JKT belum pernah nemu, kudu nanam sendiri heehhe.
Hapussehat selalu juga Mbak Dian!
Mbak Endang simpel banget ini ya masaknya. Trimakasih resepnya... Btw saya juga tanam anggrek pemula media yg saya pake Water geli sukses gak pernah saya siram selama sebulan sekarang malah mulai kuncup bunga nya muncul. Siapa tau mbak bisa coba.
BalasHapushalo Mbak, saya belum berani nanam pakai water, saya coba pakai hidroton, mati dengan sukses heheheh.
HapusWah andaikan dekat, saya mau minta batangnya untuk stek
BalasHapusPenasaran sewaktu daun ini jadi challenge di Master Chef Indonesia.
Pasti bisa dibikin sesuatu yang istimewa. Vegetable fritters mungkin? 😁😁😁
coba beli bijinya saja di onlen, banyak yang jual. gampang banget tumbuhnya dan cepat besar
HapusIni sayur kesukaan suami. Biasanya kalau disayur bening selain temu kunci juga di kasih serai dan tomat mantap mbak.
BalasHapuswuih mantap!
Hapus😍😍😍
BalasHapusselamat sore mba endang...
rasa daun kelor dimasak sayur bening gimana rasanya ya...
soalnya saya belum pernah liat ada yang jualan daun kelor dipasar daerah saya
jati penasaran nich mba endang....🙄🙄🙄
rasanya kaya daun katuk hanya tidak semanis katuk.
Hapusyep kelor segar jarang yang jual, di bali saja saya lihat banyak di pasar. kalau mau nanam bs beli bijinya di tokopedia, cepat dan gampang tumbuh
Di kota saya, di lumajang, sayur kelor menjadi makanan sehari2, sederhana tapi nikmat,
BalasHapuswuih enak banget! disini susah carinya
HapusHai mbak Endang, kebetulan kami masyarakat Sulsel terbiasa dengan sayur daun kelor, biasa disini dimasak sayur bening dengan kacang hijau mbak.. Sukses dan sehat selalu mbak...:)
BalasHapuswah enak banget Mbak Wuri, pakai kacang hijau lebih sehat!
HapusKlo di tempat saya,kelor cuma masak air aja.benar2 bening..hanya tambahan garam saja..selain jagung,enak juga dicampur pepaya muda yang dicacah.. Bahkan ada juga yang hobi makan mie instan campur kelor..nikmaaat..
BalasHapusmemang seger ya daun kelor.
Hapus