Sampah yang tidak didaur ulang adalah masalah utama dinegara manapun, apakah itu negara maju, berkembang atau terbelakang. Sampah dinegara kita sendiri menjadi problema yang ruwet, mulai dari tempat penampungan yang tidak memadai, proses daur ulang yang minim hingga rendahnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah ditempat yang benar. Lucunya, kesadaran rendah masyarakat ini bukan karena kurang berpendidikan, karena banyak teman saya yang menyandang gelar sarjana sekalipun tetap membuang sampah seenak jidatnya. Jadi memang kesadaran diri untuk menjaga kebersihan lingkungan yang dianggap bukan lingkungan pribadi sekitar rumahnya lah yang memang rendah.
Di seputar area rumah saya, sampah juga menjadi masalah runyam. Mulai dari tukang sampah yang datang seringkali hanya seminggu sekali bahkan dua minggu sekali, bak sampah tetangga yang luber ke jalan dan diobrak-abrik kucing atau tikus saking penuhnya dan pemilik rumah tidak peduli, hingga orang tak bertanggungjawab yang lewat dengan motor membawa tentengan berisi sampah dan melemparnya begitu saja didepan rumah. Jika ada rumah yang terlihat kosong dan tak terawat maka dalam sekejap tumpukan sampah sudah tercipta dihalaman rumah tersebut, seringkali yang membuang sampah disana bukan orang-orang disekitar kompleks tetapi orang dari antah berantah yang memang berkeliling jalan, khusus untuk membuang sampah rumah tangganya. Kalau bertemu model begini ingin rasanya saya berteriak setinggi langit dan melempar balik sampah yang dibuang seenaknya, tapi seringkali ketika bertemu saya hanya terbengong bingung dan motor si pemilik sampah sudah melaju kencang.
Urusan sampah ini, saya punya langganan Bapak Tukang Sampah sejak mungkin 5 tahun yang lampau. Saya membayar dua kali lipat dari biaya sampah bulanan yang beliau sebutkan dengan harapan sampah rutin diangkut dan jalanan didepan rumah sekalian disapu agar bersih. Awalnya, beliau rutin datang seminggu sekali atau seminggu dua kali, saya sering meminta bantuannya untuk membersihkan rumput dihalaman ketika permukaannya belum ditutup semen. Beliau memiliki anak cukup banyak dan yang paling besar masih bersekolah di SMA, jadi terkadang saya memberi uang lebih. Akhir-akhir ini tepatnya sejak 4 bulan terakhir, frekuensi mengangkut sampah menjadi turun drastis. Kadang sampai 3 minggu sampah masih menggantung dipagar mengganggu pemandangan, dan walau sudah saya masukkan kantung plastik tebal yang dibeli khusus untuk sampah tetap saja ada aroma tak sedap yang menguar. Pernah sampah tidak diangkut selama 1 bulan hingga akhirnya saya meminta tolong tukang sampah lain yang lewat untuk membawanya tentu saja dengan biaya angkut, artinya ekstra biaya untuk urusan sampah. Lucunya, setiap awal bulan si Bapak selalu tepat waktu muncul dipagar rumah dan menagih biaya sampah.
Awalnya saya membiarkan kondisi ini berjalan, hitung-hitung saya bersedekah ke si Bapak yang pastinya berat membiayai anak-anaknya bersekolah. Untuk mengakali agar sampah tetap diangkut dari pagar secara rutin saya berlangganan Bapak Tukang Sampah kedua. Bapak yang ini saya perhatikan ketika mengangkut sampah tetangga sangat rajin. Jalanan disapu bersih, rumput-rumput yang tumbuh dicabut dan datang seminggu 2 kali. Orangnya ramah, sopan dan terlihat pekerja keras. Sejak saya berlangganan tukang sampah kedua ini urusan sampah menjadi beres, jalanan pun bersih, bahkan tanaman anggur yang sering mengular keluar pagar dipangkas hingga rapi. Nah masalah tiba ketika bapak tukang sampah andalan saya yang kedua ini tiba-tiba tidak muncul lebih dari 2 minggu, dan bapak tukang sampah pertama pun tidak pernah mengambil sampah. Berkantung-kantung kresek sampah menggantung di pagar membuat mata saya sakit dibuatnya. Ketika malamnya Bapak tukang sampah pertama datang menagih biaya sampah bulanan dan mengambil sampah segambreng yang bergantungan, saya pun menghentikan jasanya. "Maaf Pak, saya berhenti berlangganan ya," dan si Bapak hanya mengangguk singkat sambil membawa sampah saya dengan motor.
Saat saya sedang bingung memikirkan masalah sampah, seperti bagaimana jika tukang sampah kedua tidak muncul selamanya sementara tukang sampah pertama telah diberhentikan? Minggu berikutnya si Bapak muncul, kali ini saya membayar biaya langganan sampah lebih besar dari biasanya. Biaya dari tukang sampah yang diberhentikan kini saya berikan ke si Bapak yang rajin ini. Untuk mengurangi volume sampah saya semakin gencar melakukan composting. Jika dulu saya membuat kompos dari sampah organik rumah tangga hanya didalam pot khusus kompos dan berhenti ketika pot telah penuh atau saya kehabisan pot, maka kini saya langsung menebarkan aneka sampah organik ini ke permukaan tanah. Kebetulah sepanjang tepian pagar masih ada space sekitar 30 cm yang tidak ditutup semen, disana saya tanam katuk dari batang sayuran yang saya beli dipasar, dan markisa yang kini menjalar kemana-mana disepanjang pagar. Setiap hari sampah organik mulai dari potongan sisa sayuran, kulit buah, cangkang telur, tisu, kertas, potongan pangkasan tanaman, rumput dan tanaman liar hingga daun-daun kering, saya tumpukkan disana. Mantapnya, walau setiap hari selalu ada sampah organik karena saya rutin membuat jus buah, tumpukan sampah tersebut seakan tak pernah penuh karena terdekomposisi dengan cepat, terutama jika hujan sering turun.
Untungnya area kompos tersebut jauh dari teras sehingga saya tidak melihat pemandangan kacau balau tersebut setiap hari. Tapi kondisinya sama sekali tidak mengerikan, hanya dalam beberapa hari bahan organik menjadi layu, membusuk dan berkurang volumenya. Saya justru terpacu untuk semakin menimbun kompos disana. Tanahnya yang semula keras dan tandus, kini menjadi lebih gembur dan mulai saya tanami dengan cabai. Sayang lokasinya tidak terlalu terjangkau sinar matahari karena tertutup oleh sulur markisa yang lebat diatasnya. Cara ini sangat mengurangi volume sampah yang saya buang, bahkan tulang belulang ayam dan ikan yang awalnya tidak pernah saya komposkan karena takut mengundang tikus atau kucing, kini saya daur ulang dengan cara menimbunnya di pot-pot tanaman yang banyak tersebar di halaman. Intinya, tidak ada bahan organik yang terbuang, semua harus bisa dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah.
Hanya plastik yang hingga saat ini susah saya kurangi. Walau kini tak pernah lagi menggunakan kantung kresek supermarket kala belanja, tapi saya masih banyak menggunakan plastik bening kiloan untuk membungkus bahan makanan di freezer. Untuk gelas plastik minuman dan wadah plastik sekali pakai lainnya sudah banyak yang saya berdayakan untuk menanam aneka benih sayuran. Teras didepan rumah pun bentuknya sudah acak adul tak keruan. Terus terang saya belum bisa hingga zero waste alias tidak menghasilkan sampah sama sekali apalagi dengan banyaknya aktifitas belanja online sejak masa PSBB ini. Aneka plastik kemasan dan kardus pembungkus barang menjadi sampah utama yang diangkut tukang sampah. Tapi at least saya happy sudah berhasil mengurangi kontribusi menumpuk sampah di TPU, andai semua orang bisa mendaur ulang sendiri sampah rumah tangganya masing-masing maka problem sampah di negara kita pasti tidak akan semengerikan seperti saat ini.
Okeh menuju ke resep. Garang asem ayam tanpa daun, terkesan kurang sip markusip, karena aroma daun terkukus memang memberikan sentuhan spesial pada masakan ini. Tapi dalam kondisi #stayhome seperti saat ini dan menghindari pasar tradisional yang berjubelan dengan pembeli membuat saya memilih memasak garang asam di panci. Prosesnya lebih praktis, rasanya tetap sedap, dan tentu saja mengurangi keribetan membungkus garang asam berkuah yang memang tidak mudah. Ayamnya saya pakai ayam kampung, rasanya jauh lebih gurih, tapi bisa diganti dengan ayam negeri biasa atau irisan tipis daging sapi. Rasa asamnya disumbangkan dari belimbing wuluh, ini panen pertama belimbing wuluh yang saya tanam dihalaman. Pohonnya baru berusia 2 tahun dan saya tanam dari buah belimbing wuluh yang berasal dari induk sebelumnya, pohon utamanya sendiri telah tewas karena akarnya yang kurang kuat menancap ditanah. Jika tidak ada belimbing wuluh bisa diganti dengan tomat hijau, atau jika kurang asam tambahkan air asam jawa atau perasan air jeruk nipis.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Garang Asem Ayam Kampung
Resep modifikasi sendiri
Tertarik dengan resep ayam berkuah lezat lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Sup Ayam Kampung dan Jamur Shiitake
Sup Ayam Kampung
Sup Ayam a la Kamboja
Hai mba, pa kbr ? Sehat selalu ya. Saya mw request ke mba endang, en this shouldnt be hard at all for you. Yuk mba buat pasta yg homemade. Any kind of pasta. Jenis mi datar jg boleh. Pokoknya saya maunya mba yg ajarin. Hehe.. Tq
BalasHapusHai Mbak Irenya, thanks ya.Hehehe, dulu saya masih rajin bikin mie dan pasta sendiri, tapi sekarang saya enggan berkutat lama di dapur waakkakak. Mungkin nanti kalau semangat muncul yaa
HapusIya mba, sampah plastik emang susah dihilangkan. Saya nya udah diet plastik, kemana2 bawa taperwer sama tas kanvas, etapi paket2 sembako kamarmandi, sembako dapur, ciki2, biskuit2 si kecil, dll adaaa aja (komen ini mengandung curhat hehe. Masalah resep nanti aku coba, nunggu mood gpp ya mba.. makasih resepnya, love you :)
BalasHapussama, yang satu ini saya gak bs lepas.banyaaak banget kalau dikumpulkan sampah plastik.
HapusMbak endang... Kalo garang asamnya mau dibungkus daun trus dikukus...stepnya dilakukan di bagian mana yah?
BalasHapuskalau sudah matang diwajan mba
HapusHallo mbak Endang,salam kenal saya sudah lama gunakan resep2nya buat menu sehari- hari,membantu banget terutama resep rotinya,trims banyak ya mbak, semoga tetap sehat ...
BalasHapussalam kenal Mbak, silahkan dipakai resepnya ya, senang resepnya disuka
HapusMbakk.. enakk.. udah nyoba barusan..
BalasHapusTp btw, itu warna kuning dari apa ya mbak?Punyaku kok ga kuning ya?
Aku cari2 di daftar bahan kayaknya ga ada kunyitnya. Hehe..
silent reader muncul karena penasaran.. 🤣
Thanks mbak
thanks ya, kuning karena dari kaldu bubuk royco mbak
Hapushalo mb mb endang salam kenal,terima kasih utk resepnya,sya silent reader n jg sering mnggunakan resep2nya mb endang,btw nama kita sama2 endang��
BalasHapussalam kenal ya Mbak Endang, thanks ya sdah menyukai resep2 JTT
HapusBaru banget coba resep garang asem yang ini. Ternyata sama enaknya dengan resep garang asem yang sebelumnya (bumbu diulek dan dikukus pakai daun pisang). Terimakasih mbak Endang, sekarang saya mau masak garang asem ga perlu khawatir dengan daun pisang atau belimbing wuluh lagi. Mantapp sukses selalu mbak Endang dan JTT
BalasHapussip, sama2 Mbak. Daun pisang memang ada aroma khasnya ya, tapi susah cari daunnya
HapusHi mbak, salam knal...aq dah nyoba garang asem yg versi kudus. Mantul....request resep nasi gandul dari pati dong mbak. Kangen soale...tp pengen masak sendiri ga bisa...wkwkwk
BalasHapussalam kenal Mbak Eka, nasi gandul pernah dapat resepnya dr teman yang asal pati tapi blm sempat saya eksekusi hehhee
HapusMba Endang apa beda garang asem ini dengan yg versi kudus?
BalasHapusBesok rencana mau masak garang asem, bingung mau yg versi kudus atau yang ini hehehe