Masa PSBB di Jakarta kabarnya akan diakhiri pada tanggal 4 Juni 2020. Walau Gubernur DKI mengatakan berakhirnya PSBB tergantung dari kedisiplinan warga ibukota juga. Artinya, jika jumlah kasus positif menurun dalam masa 2 minggu ini, maka PSBB akan dihentikan. Masyarakat akan kembali beraktifitas seperti sebelum masa PSBB diberlakukan, atau mengikuti istilah pemerintah yaitu 'new normal'. Saya sendiri sebagai pekerja kantoran yang setiap hari berangkat menggunakan armada angkutan umum seperti MRT dan angkot, terus terang agak ketir-ketir ketika new normal mulai diberlakukan. Saat semua pekerja kembali memenuhi gedung, jalanan dan angkutan umum. Saat mal beroperasi kembali dan dijejali dengan orang-orang yang berkunjung. Saat dimana masyarakat seakan baru saja keluar dari 'penjara' rumah dan kini lepas menikmati alam bebas.
Saat-saat seperti ini jauh lebih berisiko dibandingkan ketika PSBB belum diberlakukan, ketika kasus masih sedikit dibandingkan dengan sekarang. Apalagi melihat tingkah laku masyarakat yang tampaknya mulai tak peduli dan tak ada rasa takut. Contohnya seperti saat menjelang Lebaran kemarin ketika pasar-pasar diserbu, toko dipenuhi mereka yang berbelanja. Tak ada social distancing, dan yang menggunakan masker juga bisa dihitung dengan jari. Setiap hari televisi dan online dipenuhi dengan berita tentang corona virus, dan bagaimana kasus di Indonesia tak kunjung turun. Semua itu sepertinya tak membuat masyarakat menjadi waspada dan lebih menjaga diri. Terus terang saya tak siap menghadapi PSBB yang sebentar lagi berakhir.
Mungkin ketidakpedulian dan tingkah menyepelekan ini karena kasus di negara kita tidak melonjak luar biasa seperti negara dengan banyak penduduk lainnya seperti US, India, atau Brazil. Tapi kalau mengikuti website Worldometers.info, jumlah tes yang kita lakukan sangat kecil dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia, Thailand, Singapura atau Filipina. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa, per hari ini kita hanya melakukan tes sebanyak 290.000 atau sekitar 1000 orang per -1 juta penduduk. Jumlah tes ini sangat kecil, bahkan jika itu diterapkan hanya untuk Jakarta yang memiliki jumlah penduduk 30 juta jiwa. Jika mau dibandingkan, maka jumlah tes negara kita ini sejajar dengan negara-negara di Afrika. Bahkan Pakistan yang jumlah penduduknya mirip-mirip dengan Indonesia, melakukan tes lebih banyak. Tes yang sedikit berarti jauh mewakili kondisi yang sebenarnya terjadi di masyarakat, artinya jika tes lebih banyak dilakukan maka akan lebih banyak kasus ditemukan. Saya jadi teringat berita yang dikirimkan kakak saya, Mbak Wulan. Ketika pemimpin salah satu negara di benua Afrika mengatakan tidak ada satupun kasus corona di negaranya. Bukan karena negara tersebut benar-benar bebas virus, tetapi karena mereka tidak melakukan sebutir tes pun.
Tak bisa membayangkan jika masyarakat semakin tidak disiplin, dan pemerintah tidak melakukan tindakan tegas menghukum mereka yang melakukan pelanggaran. Entah apa yang akan terjadi saat masa new normal berlaku. Saat negara-negara lain sibuk mempersiapkan terjadinya serangan gelombang kedua, ketika kurva kasus penderita COVID-19 di negara mereka mulai mengalami penurunan, kita bahkan tidak ada tanda-tanda gelombang pertama ini akan berakhir dan atau kapan kurva mulai mendatar. Apakah masyarakat kita tidak sadar, ketika tekanan terhadap rumah sakit dan tenaga medis semakin tinggi, maka akan semakin banyak penderita yang tidak akan tertampung? Jumlah tenaga medis dan fasilitas pendukung kesehatan di negara kita menurut WHO termasuk rendah. Bagaimana jika penderita semakin meningkat tajam seperti yang saat ini terjadi di India, Brazil dan Rusia, sementara rumah sakit kewalahan dan tak sanggup merawatnya? Saat ini sudah banyak petugas medis yang tumbang bahkan meninggal karena corona virus. Bahkan petugas di lokasi tempat pemakaman umum pun akan kewalahan menerima jenazah untuk dikuburkan.
Kakak saya, Mbak Wulan, minggu lalu mengirimkan foto beliau sedang mengenakan pakaian bedah lengkap dengan Alat Perlindungan Diri (APD). Katanya, 10 menit didalam pakaian pelindung tertutup dari ujung rambut hingga ujung kaki rasanya seperti 10 menit didalam sauna. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya dokter harus melakukan berjam-jam operasi dengan pakaian seperti itu. Jika masih banyak yang tak peduli betapa berbahayanya virus ini, setidaknya mereka harus kasihan dengan tenaga medis yang berjuang setiap hari mempertaruhkan bukan hanya kesehatan dan nyawa mereka sendiri, tetapi juga kesehatan dan nyawa anggota keluarga yang berinteraksi dengan mereka setiap hari. Egois, tidak peduli dan ignorance haruslah dihilangkan didalam diri kita terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini.
Menuju ke resep hari ini. Saya suka resep simple, karena terus terang akhir-akhir ini malas rasanya berkutat lama di dapur. Chinese food selalu menjadi pilihan karena mudah, cepat dan rasanya sedap, atau sup yang semua bahannya tinggal cebur. Sejak menemukan penjual fillet ayam yang murah di Tokopedia, saya sering menyetoknya di freezer. Harga fillet ayam di toko bernama Berkah Broiler ini jauh lebih murah dibandingkan dengan pasar, supermarket atau toko online lainnya. Walau saya memilih kurir same day, penjual selalu mengirimkannya di pagi hari, dan tiba dalam kondisi masih beku dan fresh. Kualitas dagingnya juga mantap, bahkan lebih fresh dibandingkan dengan pasar. Saking sukanya, saya merekomendasikan toko ini ke adik saya, Wiwin, dan beberapa teman kantor. Sesuatu yang baik memang harus dibagikan ke banyak orang.
Membuat ayam lada hitam ini super mudah, saya suka fillet paha yang lembut teksturnya tapi dada ayam pun mantap. Saya hanya membumbui fillet dengan garam dan merica saja dan langsung mengolahnya didalam masakan. Jika ingin bumbu lebih meresap, marinade ayam dengan setengah porsi saus bumbu dibawah selama semalaman di chiller, baru esoknya dimasak. Berikut resep dan prosesnya ya.
Ayam Lada Hitam
Resep modifikasi sendiri
Tertarik dengan resep Chinese food lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
30 Menit Ayam Saus Jeruk
30 Menit Ayam Kung Pao
Udang Saus Jahe Wijen
Cara membuat:
Cicipi rasanya, sesuaikan asin manisnya. Angkat dan sajikan dengan nasi, pasta, mi, kwetiaw atau isian roti.
Selamat sore kak endang :) kak endang kenapa postingan sekarang tidak ada tulisan tentang rasa masakan yang kak endang posting? Biasannya kan ada tulisan enjoy, yummy, supper yumy. Padahal note tulisan tentang rasa itu membantu pembaca membayangkan gimana rasa masakan yang di posting terutama untuk makanan yang asing / belum pernah di lihat pembaca. Kalau boleh memberi saran, tolong ke konsep penulisan postingan yang dulu donk kak endang :)
BalasHapusSalam hangat dari pembaca :)
didalam artikel selalu saya ceritakan rasa masakannya Mbak, biaanya paragraf akhir. kalau diresep mmg saya hilangkan, bagi saya semua rasa masakan saya sih enak, tapi itu kan belum tentu bagi orang lain. selama ini saya tulis yummy dll bukan karena level rasanya.
HapusTerimakasih banyak MB Endang yg selalu semangat menebar manfaat dengan posting aneka resepnya. Nyari sup ayam ada (jam segini nyari resep demi anak yg batuk pilek), pie banyak, cake tinggal pilih, bahkan aneka info termasuk tentang zero waste dan aneka ilmu bercocok tanam pun ada. Ga perlu diragukan pokoknya. Maaf saya jarang komentar karena emang ga pandai merangkai kalimat seperti intro di resep mbak yang selalu Kunanti dan rajin cek blog tiap Minggu dikala butuh bacaan asyik dan informatif
BalasHapussama2 ya Mbak, thanks juga ya. Senang resep dana artikelnya disuka. Sukses yaaa
Hapus"Memasak paprika jangan sampai over kill", maksud mbak Endang over cooked, atau memang ada istilah yg saya baru tahu ya, mbak?
BalasHapus