Hujan, dingin. Musim hujan tahun ini benar-benar tokcer, seakan tiada hari tanpa hujan. Hendak berangkat ke kantor menjadi super malas, tapi untungnya kantor saya masih menerapkan work from home, jadi dalam satu minggu hanya 1 atau 2 hari saya ngantor. Di kantor, suasana lebih gloomy lagi. AC sentral yang dingin seakan membuat kami semua ada di Eropa saat musim gugur, dinginnya super. Hampir semua mengenakan jaket, pasmina atau apapun yang bisa dipakai untuk meredam dingin. Saya sendiri mengenakan sweater dan dua lembar pasmina untuk menutup badan dan kepala. Lubang AC sialnya tepat diatas kepala, walau lubang tersebut sudah ditutup dengan selapis mika untuk menghalangi hembusan angin agar tidak langsung menghajar ubun-ubun, tetap saja rasa dingin itu menguar kemana-mana.
Setiap kali di kantor saya selalu mengalami yang namanya rasa tidak enak badan. Anak-anak kantor menyebutnya building syndrome. Kepala pusing, mata berat, badan meriang seakan demam tapi suhu badan normal. Kondisi ini terjadi sejak dulu, sejak berkantor di gedung ini tepatnya, karena belum pernah terjadi saat berkantor di gedung lainnya. Lucunya, semua rasa tak enak ini akan lenyap begitu kaki melangkah keluar gedung. Kembali normal seperti semula. Namun tetap saja, selama di kantor saya merasa was-was dengan tanda-tanda tak enak ini, berkali-kali telapak tangan menyentuh jidat untuk mengecek suhu, dan jika tak tertahankan terpaksa sebutir panadol masuk ke perut. Tobat.
Hari ini suhu AC benar-benar tak tertahankan, lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena mendung sejak pagi dan disusul hujan deras siang harinya. Atau mungkin karena sebagian karyawan mulai banyak yang masuk sehingga pihak gedung mengembalikan suhu AC sentral menjadi lebih dingin. Entahlah, yang jelas saya telah membungkus badan dengan berlembar-lembar kain dan jaket tapi tak mampu menggebah rasa dingin ini. Saya mulai khawatir sendiri, apalagi pagi tadi ketika masuk ke stasiun MRT suhu tubuh dicek pada angka 36,5 derajat Celcius. Okeh itu suhu normal, tapi scanner suhu MRT agak 'unik bin lucu'. Biasanya suhu tubuh saya ketika dicek di pintu masuk MRT oleh petugas berkisar pada angka 33 derajat Celsius yang artinya suhu saya setara dengan suhu reptil, hewan berdarah dingin, yang artinya super ngaco. Tapi angka tersebut justru membuat hati ini tenang. Ketika masuk ke gedung kantor, petugas mengecek suhu dan jatuh pada angka 36.5 derajat Celicius, dan lagi-lagi itu adalah suhu normal, tapi biasanya di gedung ini suhu saya berkisar di 35 derajat Celcius. Jadi ketika alat pengukur suhu ini memberikan suhu yang normal, jantung saya justru deg-degan, karena berarti suhu tubuh saya lebih tinggi dari biasanya. Gubrak!
Telapak tangan sedari tadi mengecek jidat dan leher, terasa lebih hangat dari biasanya atau mungkin karena saya yang stres sendiri sehingga pikiran menjadi kurang waras. Mbak Fifi, rekan kantor yang duduk di depan meja saya membagikan vitamin C yang memang disediakan kantor. Biasanya saya tolak, vitamin C dosis tinggi selalu membuat perut mulas, tapi kali ini saya sikat. Dua jam kemudian saya bolak-balik ke toilet, diare, tobat! Covid ini benar-benar membuat pikiran menjadi parno dan tidak tenang.
Menuju ke resep. Garang asem adalah salah satu hidangan berkuah favorit saya. Sebenarnya semua hidangan berkuah yang terasa asam segar pasti menjadi favorit saya, jadi tidak spesifik garang asem saja. Tapi garang asem memiliki memori sendiri didalam benak ini. Dulu, ketika masih tinggal di Paron - saat saya masih imut, kurus kering karena kurang gizi dan duduk di sekolah dasar - ada seorang bapak tua yang setiap pagi dan sore menggiring sapi-sapinya ke lapangan luas disamping pasar didepan rumah. Saya lupa nama bapaknya, kita sebut saja Pak Joyo, tapi saya masih ingat perawakan dan wajahnya serta sapi-sapinya yang gagah, gemuk dan sehat dengan punuk tinggi. Nah istri si bapak ini menjual garang asem sapi. Saat itu, saya tak tahu makanan apakah gerangan garang asem ini. Ibu dan nenek saya, Mbah Wedhok, tak pernah memasaknya. Saya mendengar Mbah pernah berkata, "Istrinya Pak Joyo, jualan garang asem sapi. Katanya enak," dalam bahasa Jawa tentunya. Jiwa kuliner saya yang sudah tergelitik sejak SD menjadi penasaran dengan nama makanan ini, bertanya ke Ibu, "Garang asem makanan seperti apa sih Ma?" Namun Ibu saya hanya tersenyum dan menjawab, "Mama kurang tahu, tapi pasti mahal harganya, yang beli hanya orang-orang kaya saja." Saya tahu orang-orang kaya yang dimaksud Ibu, beberapa nama mentereng di desa Paron, semua orang tahu siapa saja kelas atas di kota kecamatan ini.
Jadi, garang asem yang membuat penasaran ini tak pernah saya cicipi. Ibu saya juga tak tahu bagaimana cara membuatnya, karena beliau memang bukan asli orang Jawa, dan tentu saja bahan garang asem berupa daging sapi dan ayam kampung tak terjangkau harganya. Waktu berlalu, dan saya baru mencicipi garang asem ketika kuliah di Jogya, sebuah warteg langganan anak-anak mahasiswa menjualnya. Sejak itu masakan ini menjadi favorit. Garang asem sejatinya adalah masakan yang terbuat dari daging sapi atau ayam yang dibumbui dengan aneka rempah, cabai, tomat hijau atau belimbing wuluh, yang dibungkus daun pisang dan dikukus hingga matang. Proses mengukus ini akan menghasilkan masakan berkuah nyemek-nyemek didalam bungkusan pisang, yang terasa pedas, asam, dan gurih. Lekker!
Tapi karena daun pisang susah ditemukan diseputar rumah, dan saya kudu jalan ke pasar untuk membelinya, maka sering kali saya memasak garang asem di panci biasa. Entah itu ayam kampung, daging sapi, atau iga seperti kali ini. Tentu saja rasanya tidak semaknyus versi daun pisangnya tapi masih sedap juga terutama saat disantap kala hujan deras seperti saat ini. Yummy!
Sentuh gambar dan geser kekiri untuk resep dan prosesnya.
Resep modifikasi sendiri
Untuk 4 - 5 Porsi
Tertarik dengan hidangan berkuah asam segar lainnya? Silahkan cek link dibawah ini:
Bahan:
- 500 gram iga sapi yang sudah dipotong-potong
- 250 gram sandung lamur atau daging sapi berlemak, potong sesuai selera
- 800 ml air
- 1/2 sendok makan garam
- 1 sendok teh kaldu bubuk
Bumbu ditumis:
- 2 sendok makan minyak untuk menumis
- 10 buah cabai rawit merah rajang kasar
- 5 siung bawang merah iris tipis
- 4 siung bawang putih cincang halus
- 3 cm lengkuas, memarkan
- 1 batang serai, memarkan
- 2 cm jahe memarkan
- 3 lembar daun jeruk purut, sobek kasar
- 3 lembar daun salam
Bumbu lainnya:
- 15 buah cabai rawit utuh, optional
- 4 buah tomat hijau, rajang kasar
- 5 buah belimbing wuluh, rajang kasar
- 1 buah tomat merah, rajang kasar
- 2 batang daun bawang, rajang kasar
- 1 sendok makan gula jawa sisir halus atau gula pasir
- 1 sendok makan air asam jawa
Cara membuat:
Masukkan iga, sandung lamur, garam, kaldu bubuk ke panci presto, tambahkan 800 ml air dan rebus selama 20-30 menit hingga lunak. Atau masukkan iga, sandung lamur, garam, kaldu bubuk ke slow cooker, tambahkan 800 ml air, set di posisi high dan rebus sekitar 3-4 jam hingga iga lepas dari tulangnya.
Iga bisa direbus di panci biasa diatas kompor, porsi air rebusan disesuaikan dengan cepat tidaknya iga lunak. Sisihkan.
Panaskan 2 sendok makan minyak di wajan/pan, tumis semua bumbu yang harus ditumis hingga layu, harum dan matang. Masukkan rebusan iga dan air kaldunya. Aduk dan masak hingga mendidih. Masukkan semua bumbu lainnya, aduk.
Rebus selama 2 - 3 menit hingga tomat, daun bawang dan cabai lunak. Cicipi rasanya, sesuaikan asin, asam dan manisnya. Air asam bisa diskip jika menggunakan banyak belimbing wuluh. Angkat dan sajikan panas.
Note: garang asem iga bisa dimasak dengan cara dibungkus daun pisang dan dikukus. Gunakan air hanya sekitar 400 ml saja agar mudah dibungkus. Bungkus garang asem dengan daun dalam kondisi semua bahan sudah matang, kemudian kukus sekitar 20-30 menit.
Wahh mbaa ini jg ksukaan saya..
BalasHapusKlo ke kedai soto kudus (yg cabangnya ada dmn2) ada menu ini.. Msh di daun pisang. Enak bgt di makan pas hujan gni yah segar asem2 gmn gitu... Lalu waktu ke dieng, pas di jalan mampir pesan ini jg krn memang makanan khas jawa ya..
Thx mba resepnya. Mau ku coba kapan2 :D
Mau nih... Enak...
BalasHapussegeerrr kemepyar ini. mirip asem2 daging tapi ga pake kecap. suwun mbak Endang, mau takcoba untuk masak stok iga di freezer, tambahin tomat ijo yg banyak, krn saya g punya blimbing wuluh.
BalasHapus-uky-