Saya belum pernah sepotongpun menuliskan pengalaman kala traveling ke Australia akhir tahun lalu di blog, seakan baru saja terjadi bulan lalu, tak terasa sudah satu tahun kejadian tersebut berlalu. Dari sekian banyak cerita dan pengalaman yang hendak saya tuliskan ada satu kejadian lucu yang hingga kini konsisten membuat saya ngakak habis jika mengingatnya. Saya berharap kakak saya tidak membaca postingan ini. 😊
Saya pergi ke Australia, bersama kakak saya, Mbak Wulan, suami dan putra semata wayangnya, dan adik bungsu saya, Dimas. Tujuan kami adalah Sidney dan Gold Coast. Saya pernah menuliskan proses mengajukan visa Aussie pada postingan disini, mungkin anda berminat untuk mendapatkan informasi seputarnya. Kami tiba di Sidney mendekati acara tahun baru, dan perayaan kembang api di negara bagian New South Wales ini terkenal di seantero Aussie dan belahan bumi lainnya, jadi kakak saya mengincar untuk bisa menyaksikannya dengan mata kepala secara langsung. Sepertinya, mungkin perayaan kembang api ini satu-satunya acara di Sidney yang membuat dia bersemangat untuk datang ke kota ini. Saya sendiri sejak dulu tak begitu suka, tak begitu tertarik, tak begitu semangat, menyaksikan pertunjukan kembang api. Apa menariknya mendengar letusan disusul pecahan warna-warni api di langit? Okeh sebut saya 'katrok', 'ndeso', dan lain sebagainya, tapi swear, kembang api sespektakuler apapun tidak bisa membangkitkan minat saya.
Karena perayaan kembang api tahun baru di Sidney Opera House ini dikunjungi oleh ribuan orang, banyak sekali pelancong yang datang dari berbagai negara bagian Australia atau turis dari negara lain sudah menginap di seputaran area kembang api sejak sehari sebelumnya, tujuannya apalagi jika bukan agar mendapatkan view terbaik. Pelataran di sekitar Gedung Opera Sidney dan Sidney Botanic Garden bahkan beberapa hari sebelumnya sudah heboh dipenuhi petugas yang memasang pagar pembatas, toilet-toilet portable, papan pengumuman dan entah apa lainnya. Mereka terlihat profesional mengingat acara ini dilakukan setiap tahun sehingga skenario apapun yang akan terjadi jika ribuan manusia ini tumplek blek menjadi satu dalam sebuah lokasi sudah diperhitungkan.
Sehari sebelum malam tahun baru tiba, kakak saya sudah mendiskusikan masalah ini. Besok kami semua diminta untuk pergi ke Sidney Opera House sejak pagi, agar bisa mendapatkan view bagus demi menonton pertunjukan kembang api di jam 12 malam. Bayangkan demi melihat pertunjukan di tengah malam, kami sudah harus nangkring di lokasi sejak jam delapan pagi! Saya menolaknya, "Gak minat lihat kembang api. Aku di apartemen saja ya." Kami menginap di sebuah apartemen dua kamar di seputaran George Street yang lokasinya berdekatan dengan Opera House dan Botanic Garden, jadi menuju lokasi kembang api hanya cukup berjalan kaki sekian menit saja. Kakak saya agak kesal ketika saya tidak berminat ikut, akhirnya adik saya, Dimas, mengorbankan diri untuk turut serta. Keesokan harinya, sejak jam delapan pagi mereka sudah berangkat menuju pelataran Opera House.
Saya menggunakan waktu santai itu dengan tidur-tiduran dan ketika hari agak menjelang siang, berjalan menuju supermarket Woolworths, yang letaknya tidak jauh dari apartemen untuk berbelanja groceries, mengisi kulkas. Hari itu jalan sepanjang George Street dibebaskan dari kendaraan bermotor dan kereta. Jalanan dipenuhi dengan orang berlalu-lalang, para pemain musik alias pengamen banyak menampilkan keahlian mereka di tengah jalan. Saya berjalan santai menikmati aneka pertunjukan musik gratis, mencuci-mata di toko-toko souvenir, toko buku, dan toko farmasi yang menawarkan diskon besar akhir tahun, hingga akhirnya tiba di Woolworths.
Entah ke negara manapun, maka supermarket adalah tempat yang paling saya suka melebihi obyek wisatanya sendiri. Saya suka melihat-lihat bahan segar seperti sayur, buah dan protein segar. Australia kaya produk pertanian dan ternak seperti susu, keju, steak dan sejenisnya, jadi waktu panjang itu saya pakai untuk memelototi jenis steak dan harganya. Bagian lain yang saya suka adalah aneka rempah, bumbu, peralatan berkebun dan perlengkapan dapur. Saya bahkan membeli sepasang sekop kebun dan dua buah mangkuk kecil untuk saus. Harganya tergolong murah untuk kualitas sekop yang mantap dan wadah saus yang cantik. Untungnya saya selalu siap dengan tas lipat berbahan parasut yang memang khusus untuk berbelanja, ketika kembali ke apartemen tas tersebut penuh dengan belanjaan yang tobat beratnya. Sayangnya bahan segar di Aussie gila mahalnya, beberapa jenis buah, sayur, sedikit seafood saja sudah menghabiskan delapan ratus ribu rupiah, bayangkan jika di Jakarta, saya bisa dapat belanjaan satu troli penuh.
Hari itu di Sidney panasnya bukan main, suhu diatas 30'C, padahal biasanya cukup sejuk berkisar di 21'C. Saat itu kebakaran hutan di negara bagian Queensland, Victoria, dan sebagian New South Wales sedang heboh-hebohnya, tapi untungnya di Sidney hanya berupa kabut asap tipis, tidak terlalu mengganggu aktifitas sehari-hari. Saya tak bisa membayangkan mereka yang sedang menanti malam tahun baru di seputaran Opera House, dengan suhu sepanas dan segahar ini, apa jadinya kondisi mereka disana?
Menjelang sore, jalan pintas dari George Street menuju Opera House ditutup, letaknya sangat dekat dengan apartemen yang kami huni. Dari lantai atas apartemen, saya menyaksikan ribuan manusia berjalan sepanjang George Street menuju ke lokasi kembang api. Mobil-mobil polisi mulai banyak parkir di tepian jalan, dengan alat pengeras suara mereka terus-menerus memberikan arahan jalur yang bisa digunakan pengunjung. Baru kali itu saya melihat polisi bermunculan di jalan, karena biasanya tak ada satu pun polisi terlihat. Jalur pintas ditutup sejak pukul empat sore, sepertinya hal ini membuat pengunjung marah, mereka berteriak-teriak, "F**k you police! F**k you police!", teriakannya menggema hingga ke kamar apartemen yang terletak di lantai delapan. Saya ngakak-ngakak sendiri menyaksikan orang-orang Aussie ini memaki-maki polisi, tapi walau berteriak-teriak kacau, mereka tertib mengikuti arahan mengambil jalur memutar yang lebih jauh. Tak ada kerusuhan, tak ada gerakan-gerakan agresif, semua tertib dan teratur.
Pukul tujuh malam, aliran ribuan manusia ini tak kunjung surut, justru semakin banyak. Pengeras suara dari mobil polisi juga tak berhenti memberikan instruksi, saya takjub dengan keahlian mereka mengkoordinir massa yang begitu banyaknya. Arahan yang diberikan jelas dan tak putus-putus digaungkan. Suara kembang api mulai terdengar berdentuman di kejauhan, tapi saya tak bisa melihatnya sepotong pun dari kamar apartemen. Akhirnya karena penasaran, saya turun juga ke jalan. Betapa shock-nya saya melihat polisi-polisi Australia bertubuh besar memblokade jalan pintas, jumlah mereka sangat banyak dan semua memegang senjata laras panjang. Beberapa menaiki kuda yang juga besar ukurannya. Sebagian mengenakan pakaian lengkap ala polisi anti huru-hara, sebagian lagi hanya mengenakan celana pendek. Saya sebenarnya ingin mengambil foto mereka, tapi ngeri juga jika kemudian ditangkap dan diseret ke sel tahanan. Polisi Australia terkenal gahar dan zero tolerance, dan nyali saya hanya segede kacang jika berurusan dengan polisi dan hukum apalagi di negara orang lain, jadi saya hanya melewati mereka dan mengikuti arus pengunjung lainnya.
Tapi jalur memutar ini seakan tak ada habisnya, walau sudah berjalan jauh dari jalan utama George Street, tanda-tanda kembang api tak tampak sedikit pun, akhirnya saya menyerah dan putar haluan. Saya menjadi satu-satunya manusia yang berjalan melawan arus, terlihat aneh tapi saya tak peduli. Lebih baik kembali ke kamar apartemen yang aman, nyaman, dibandingkan bersusah payah demi kembang api. Jiwa petualang saya memang hanya sebatas dalam mimpi dan imajinasi, kenyataannya saya tak memiliki jiwa ini sama sekali. Kembali ke kamar, saya habiskan waktu dengan menonton jalanan lagi hingga tengah malam kala puncak pertunjukan kembang api terjadi dan ledakan-ledakan heboh terdengar dari kamar. Saya tetap bertahan tidak tidur, selain karena harus membuka pintu ketika kakak dan saudara lainnya kembali, juga karena suara heboh dari jalanan tak memungkinkan untuk bisa tidur dengan tenang. Kali ini polisi dengan pengeras suaranya memberikan arahan pengunjung yang kembali masuk ke George Street untuk pulang. Bis-bis penjemputan sudah disiapkan di beberapa titik lokasi. Salut saya dengan polisi Australia dan panitia mengatur ribuan pengunjung, datang dan pulang berlangsung aman, lancar dan sangat cepat. Tak ada sedikitpun keributan yang terjadi.
Mendekati pukul satu malam, kakak saya mengirimkan WA meminta saya bersiap membuka pintu apartemen. Pintu apartemen utama yang terletak di lobi bisa dibuka dan ditutup sendiri oleh penghuni apartemen dengan kunci khusus. Saya turun ke lobi membawa kunci, betapa terperanjatnya saya kala melihat tampilan mereka semua. Kucel, kusut, muka berkeringat, berminyak dan memerah karena terjemur sinar matahari seharian. Tak ada satupun wajah ceria yang saya temukan disana, semua terlihat berada pada titik emosi yang hanya membutuhkan sedikit percikan untuk meledak bak kembang api. Saya hanya berkata, "Hey," dan memasang wajah serius, walaupun sebenarnya ingin berguling-guling meledak tertawa sekencang-kencangnya. Kami naik ke lantai delapan melalui lift, sepanjang satu menit di dalam lift tak ada satupun yang bersuara, semua diam membisu. Seakan jiwa dan raga letih terkuras. Seakan bukan seperti mereka yang baru saja pulang menonton kembang api spektakuler. Entahlah, bukankah seharusnya ceria, heboh dengan berbagai cerita bukan? Saya tetap memasang wajah serius.
Kami masuk ke kamar masing-masing, saya segera membantu kakak mempersiapkan Ellan, keponakan saya yang berumur delapan tahun, untuk tidur. Bocah itu terlihat kecapekan dan saya tidak bertanya sedikitpun mengenai kondisi mereka disana. Baru beberapa hari kemudian saya mendengar ceritanya dari Dimas. Pertunjukan kembang api yang ditonton ribuan manusia ini ternyata tidak mudah dilihat. Untuk mendapatkan view terbaik maka tiket lokasi VIP ini dijual mulai dari harga 250 ribu rupiah hingga jutaan rupiah per orang, bagi mereka yang ogah membeli tiket disediakan lokasi dengan view yang sama sekali tidak strategis bersama ribuan manusia lainnya berpanas-panasan dibawah terik matahari gahar. Mereka bergeletakan di lapangan yang sebagian berumput, sebagian hanya pasir dan tanah biasa, ada yang membawa kursi pantai, payung hingga karpet. Pengunjung pria umumnya bertelanjang dada dan wanita mengenakan tank top, karena suhu yang tinggi. Kebelet kencing dan lainnya? Antrian sepanjang lebih dari 30 meter siap menanti walaupun toilet portable jumlahnya sangat banyak. Ketika puncak pertunjukan kembang api tengah malam terjadi, lautan manusia ini serentak berdiri mengacungkan handphone, kamera, tongsis dan apapun itu untuk bisa meng-capture gambar hingga kembang apinya sendiri susah terlihat. Berhadapan dengan westerner bertubuh bongsor dan tinggi seperti ini, alamat tubuh pendek Asia susah melawannya. "Aku juga males sebenarnya lihat kembang api, di You Tube juga banyak videonya, tapi ntar gak ada yang mau ikutan," ujar Dimas terlihat kesal. Saya hanya diam sambil membayangkan perjuangan mereka demi melihat pertunjukan kembang api akbar di Opera House. Untung tidak ikut. 😉
Wokeh menuju ke resep. Saya pernah posting fruitcake yang berat dengan buah-buahan kering, resepnya bisa dicek disini, versi yang ini agak lebih light karena buah keringnya tidak terlalu banyak. Resepnya saya ambil tetap dari website baking andalan Joy of Baking, berjudul Light Fruitcake. Cake ini menjadi icon ketika perayaan Natal tiba, sama seperti nastar ketika Lebaran, jadi mungkin anda berminat hendak menghadirkannya kala Christmas nanti. Basic adonan tetap jenis pound cake, berat dan kaya lemak, tapi itu yang menyebabkan buah kering tidak tenggelam ke dasar loyang ketika dipanggang. Satu hal yang menyebalkan saat membuat cake buah adalah buah kering tenggelam dan berkumpul di dasar bukan melakukan social distancing. Tips mencegahnya adalah adonan cake yang berat sehingga buah kering terhambat untuk turun, serta oven sudah dipanaskan sebelumnya dan benar-benar panas ketika loyang berisi adonan masuk, jadi cake langsung mengembang dan menahan buah kering turun. Tips lainnya, begitu adonan masuk ke loyang harus segera dipanggang, jangan dibiarkan diam di loyang terlalu lama. Saran lainnya biasanya melumuri permukaan buah kering dengan sedikit taburan tepung, hanya cara ini jarang saya lakukan.
Kendala lainnya ketika memanggang fruitcake adalah waktu yang lama untuk mematangkan kue. Biasanya yang terjadi adalah dasar cake gosong sementara bagian tengahnya belum matang alias masih basah ketika lidi ditusukkan ke tengah kue. Umumnya untuk mengakali hal ini cake dipanggang dengan suhu rendah sekitar 150-160'C, sehingga matang perlahan tanpa membuat dasarnya cepat gosong. Cara lainnya yaitu dengan meletakkan selembar loyang kue kering yang tipis dibagian bawah loyang cake, sehingga panas oven dari bawah tidak langsung mengenai kue. Jika permukaan cake mulai terlihat terpanggang kecoklatan sementara bagian tengahnya masih basah, maka meletakkan selembar alumunium foil di permukaan cake juga membantu kue matang secara menyeluruh tanpa membuat permukaannya gosong. Tapi jangan lakukan cara ini pada chiffon cake atau ketika cake belum terlalu kokoh matangnya, karena menutup permukaannya dengan foil akan membuat cake mengempes.
Berikut ini resep dan prosesnya ya.
Resep diadaptasikan dari Joy of Baking - Light Fruit Cake
Untuk 1 loyang loaf ukuran 22x12x5 cm
Tertarik dengan cake buah lainnya? Silahkan cek link resep dibawah ini:
- 150 gram cherry merah dan hijau
- 50 gram kismis hitam
- 50 gram sukade
- 2 sendok makan rum essence
- 1 sendok teh kulit jeruk lemon
- 2 sendok makan air panas
- 130 gram mentega
- 100 gram Ricoman Light Brown Sugar
- 4 butir telur ukuran sedang
- 1/2 sendok teh vanilla extract
- 195 gram tepung terigu protein sedang
- 50 gram tepung almond
- 1 sendok teh baking powder
- 1/4 sendok teh garam
- 60 ml susu cair
Cara membuat:
Aduk jadi satu di mangkuk cherry, kismis, sukade, rum essence, kulit jeruk lemon, dan air panas. Diamkan minimal 1 jam. Sisihkan.
Panaskan oven, set disuhu 160'C. Siapkan loyang loaf ukuran 22x12x5 cm. Olesi permukaannya dengan margarine dan taburi dengan tepung terigu secara merata. Balikkan loyang dan ketukkan untuk membuang kelebihan tepung. Sisihkan.
Masukkan tepung terigu, tepung almond, baking powder dan garam ke mangkuk, aduk rata. Sisihkan.
Masukkan mentega dan Ricoman Light Brown Sugar ke mangkuk, kocok dengan mixer speed tinggi hingga lembut, mengembang dan pucat. Masukkan telur satu per satu, pastikan telur terkocok dengan baik bersama adonan sebelum dimasukkan telur berikutnya. Kocok hingga tercampur baik. Masukkan vanilla extract, kocok rata. Matikan mixer.
Masukkan campuran tepung dengan cara diayak langsung diatas adonan. Aduk balik dengan spatula hingga tercampur baik. Masukkan campuran buah kering beserta airnya, aduk perlahan hingga tercampur rata. Tambahkan susu cair sedikit demi sedikit sambil adonan diaduk hingga tercampur baik.
Tuangkan adonan ke loyang, ratakan permukaannya.
Masukkan ke oven, panggang selama kurang lebih 50 menit atau hingga tidak ada adonan yang menempel di lidi jika ditusukkan ke tengah cake. Keluarkan dari oven, diamkan selama 10 menit, balikkan ke rak kawat dan potong cake jika telah dingin. Sajikan.
cerita mb selalu menyenangkan untuk disimak :) kebetulan saya sedang mencari-cari resep fruitcake dan senang sekali bisa menemukan ini
BalasHapusthanks yaa, senang ceritanya disuka.
HapusMba kl tidak menggunakan tepung almond bgm?
BalasHapus