Jika ada masa sekolah - dari SD hingga universitas - yang paling saya benci dan berusaha dihilangkan dari memory otak maka itu adalah masa saat SMP di Ngawi. Walau masa sekolah kala SD di Paron juga tidak tergolong indah, tapi banyak momen menyenangkan saat bermain bersama teman-teman di pedesaan, di sawah, dan saya punya banyak sohib yang mengasyikkan. Selain itu, sekolah di desa kecil tidaklah terlalu banyak tuntutan, ruang lingkupnya sempit dan tidak membuat deg-degan selayaknya jenjang berikutnya. Ketika masuk ke salah satu SMP di kota kabupaten Ngawi, saya dibuat meriang dengan banyaknya anak yang bersekolah. Kelas satu saja terdiri dari 10 kelas, dimana masing-masing kelas paling tidak berisi sekitar 45 murid. Bayangkan betapa melongonya saya melihat beragam-macam siswa-siswi mulai dari yang cantik, ganteng, sophisticated, kaya, rapi jali, kelimis, hingga amburadul dan acak adul seperti saya. Beberapa murid begitu cantik dan ganteng, atau begitu pintar hingga semua nilai di NEM-nya mendekati sepuluh, membuat saya minder sendiri. Swear, saya seakan diceburkan dari lingkungan nyaman nan sederhana, ke dunia lain yang seakan saya tak akan pernah bisa menyesuaikan diri. Jika ingatan akan masa tiga tahun bersekolah pada jenjang ini bisa dihapus, maka akan saya delete selamanya dari kepala yang setengah penuh ini. Tobat!
Masa SMP adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke teenagers, dimana semua hormon berkecamuk, perubahan bentuk tubuh dan juga sistem reproduksi, termasuk juga emosi dan sisi psikologis lainnya. Di tambah lagi, bersekolah di SMP yang jaraknya delapan kilometer dari rumah di Paron, dimana saya setiap pagi kudu berangkat di dalam angkutan umum yang sesak berjejalan, bergelantungan, dan setiap tubuh penumpang seakan terpindang didalamnya. Sungguh, saya hyperventilating sendiri jika sekarang mengingat semua hal tersebut. Berangkat dan pulang sekolah yang penuh perjuangan. Banyak rekan sekolah saya yang rumahnya juga di Paron memilih mengayuh sepeda onthel. Ketika pagi dan sore hari mereka akan melewati jalan raya di depan rumah. Menjadi pemandangan biasa setiap hari menyaksikan anak-anak ini berangkat ke sekolah, menimba ilmu di kota yang jauh jaraknya dari desa mereka. Setiap hari bersekolah diawali dan diakhiri dengan kegiatan olah raga bersepeda. Sehat memang, tapi ampun beratnya ketika dilakukan. Beberapa kali saya mencobanya - saat sudah tak tahan dengan angkot yang tobat sesaknya - menggowes sejauh delapan kilometer. Jarak itu jauh lebih dekat dibandingkan rekan-rekan lainnya yang masih harus terus masuk ke pelosok desa.
Masuk ke kelas dua SMP kondisinya lebih runyam. Saat itu kelas dipakai bergantian dan murid-murid kelas dua dikorbankan untuk masuk siang. Pulang sekolah di sore hari menjadi lebih penuh penderitaan apalagi saat musim hujan tiba. Angkutan umum menghilang, atau jika ada akan diam menunggu hingga mobil penuh, itu bisa berjam-jam lamanya. Penuh disini bukan semua kursi terisi, tapi semua ruang kosong di dalam mobil kudu terisi. Artinya, jika penumpang bisa duduk berpangkuan satu sama lain maka itu yang akan dipaksakan oleh mister 'what the hell' kernet. Seringkali saya tiba di depan rumah pada pukul tujuh hingga delapan malam, di tengah curah hujan nan deras dan halilintar bertalu-talu di langit. Mencekam, yep, dan kecemasan itu juga yang dirasakan oleh Ibu saya setiap kali menanti kami semua tiba di rumah dengan selamat. Jika menggunakan sepeda, kondisinya lebih horor lagi, karena malam hari harus mengayuh di sepanjang jalan raya dari Ngawi ke Paron dimana pemandangan hanya terisi hamparan sawah. Gelap, dingin, sepi, dan jantung berdegup kencang mengiringi setiap kayuhan pedal. Tapi itu yang saya lakukan selama tiga tahun. Orang tua saya tidak memiliki kendaraan apapun entah itu motor apalagi mobil untuk mengantar atau menjemput kami sepulang sekolah. Jadi kondisi apapun kudu disyukuri dan dijalankan, sambil berdoa masa SMP ini bisa segera berlalu, karena benar-benar nightmare rasanya.
Kisah diatas adalah sepenggal masa tak mengenakkan kala bersekolah di SMP. Masih banyak cerita pengalaman di kelas saat mengikuti pelajaran, menghadapi bullying, atau bersosialisasi dengan murid lainnya yang terasa menyebalkan, menyedihkan, atau mungkin membuat ngakak dengan mata berkaca-kaca. Akan saya ceritakan di lain waktu, jika hati ini siap. Tapi ada satu momen yang cukup berkesan di masa SMP walau kini saya agak lupa-lupa ingat dengan situasinya, yaitu kala berdarmawisata sekolah ke Bali. Disaat inilah pertama kalinya saya mendapatkan kesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah Pulau Dewata, tentu saja bersama ratusan murid lainnya di dalam bis darmawisata. Walau dengan uang saku super pas-pasan yang diberikan Bapak, saya tetap merasa happy bersama rekan lainnya duduk berlama-lama di bis menuju Bali. Ada satu makanan yang terus saya ingat hingga dewasa yang merupakan hidangan khas Bali, dan kami temukan di dalam nasi box atau pada hidangan penginapan waktu di Bali, apalagi jika bukan sate lilit ikan yang waktu itu kami sebut dengan nama sate pentul. Beberapa rekan sekolah ragu hendak menyantapnya, mengira terbuat dari babi, padahal sudah dijelaskan panjang lebar bahwa semua makanan yang disajikan dipastikan halal dan non piggy. Saya sendiri tak segan langsung menyikatnya. Bagaimana tidak? Setiap hari di rumah hanya makan berlauk tempe dan ikan asin, tiba-tiba kini dihadapkan pada sate ikan yang maknyus. Sejak saat itu hingga kini, saya beranggapan sate lilit Bali adalah makanan yang enak dan mengesankan.
Ketika ke Bali beberapa bulan yang lalu sebelum Covid mewabah, salah satu pembaca JTT, Mbak Widya, mengirimkan saya sekotak sate lilit Bali buatan tetangganya. "Mbak, mau coba sate lilit buatan tetanggaku nggak? Enak banget!" tentu saja langsung saya iya kan seketika. Sate dikirimkan ke penginapan dengan ojek online. Gigitan pertama langsung membuat saya mengirimkan pesan ke Mbak Widya untuk memesan dua box berikutnya karena rasanya enak banget. Itu adalah sate lilit terlezat yang pernah saya cicipi. Rasanya sangat gurih, daging ikannya fresh dengan rasa manis plus rempah yang pas, sayang harus ke Bali untuk bisa menyantapnya. Swear saya berjanji harus membuatnya ketika tiba di Jakarta. Yep, resep pada post inilah yang akhirnya saya eksekusi di rumah beberapa waktu lalu.
Berikut resep dan prosesnya ya.
Sate Lilit Ikan
Resep modifikasi sendiri
Untuk 22 tusuk sate
Tertarik dengan masakan Bali lainnya? Silahkan klik link dibawah ini ya:
Bahan:
- 250 gram fillet ikan tengiri (kakap, parang-parang, tuna, atau ikan berdaging putih lainnya), potong kasar
- 2 sendok makan tepung tapioka
- 1 butir telur
- 1/2 sendok teh baking powder
- 5 siung bawang merah
- 4 siung bawang putih
- 1 batang serai, ambil bagian putihnya
- 2 cm kencur
- 2 cm jahe
- 2 cm kunyit
- 3 cm lengkuas, rajang kasar
- 10 buah cabai rawit merah
- 2 lembar daun jeruk purut
- 1 1/2 sendok teh garam
- 1/2 sendok teh kaldu bubuk
- 2 sendok makan gula jawa sisir halus
- 50 gram kelapa muda parut
Lainnya:
- 22 buah tusuk sate bambu, rendam air
Cara membuat:
Siapkan mangkuk chopper/food processor. Masukkan semua bahan kecuali kelapa muda parut. Proses hingga bahan menjadi halus dan pekat. Tambahkan kelapa parut, proses hingga tercampur baik.
Tuangkan adonan ke mangkuk, cicipi rasamya dengan menggoreng secuil adonan. Sesuaikan asin dan manisnya, sate lilit agak dominan manis.
Tiriskan tusuk sate bambu. Lumuri permukaan telapak tangan dengan minyak. Ambil satu sendok makan adonan, gumpalkan ke salag satu ujung tusuk sate. Bentuk adonan menjadi panjang agak pipih. Panggang di pan atau alat pemanggang lainnya yang telah dioleskan sedikit minyak dan dipanaskan.
Lakukan pada semua adonan, panggang hingga sate matang kecoklatan dan keras teksturnya. Selama memanggang, balikkan sate sesekali dan olesi sedikit minyak. Angkat sate dan sajikan dengan sambal matah atau saus kacang.
mister 'what the F***' kernet hahaha....singgah ke jtt lebih penasaran sama kisahnya mbak Endang. Btw mbak sy sudah lama penasaran sama resep ini, tapi belum pernah ketemu tusuk sate pentul, pernah liat pake serai ya? Mau tanya mbak:
BalasHapus1. kalo pake batang serai pengaruh ke rasa gak ya?
2. apa masih perlu ngasih serai ke adonan? ntar rasa serainya jd kuat banget
3. Trus sate pentulnya habis dimakan serainya masih bisa dipake gak ya? #mak irit mode on#
Mohon pencerahannya ya, makasih resepnya
Tati- Kendari
Hai Mbak Tati, yep tusuk sate lilit yg saya pakai ini beli di bali, belm pernah nemu disini. Bs pakai batang serai, sy pernah post juga versi itu. Sebaiknya agak memarkan sedikit serainya agar adonan bs menempel. serai tdk mempengaruhi rasa sate, jd tetap pakai serai di resep. Batang serainya bs dipakai lagi kok buat masakan. Gak masalah.
HapusMba Endang, saya ngences liat penampakannya.. kalo kata orang Sunda, pikabitaeun! Hehehe.
BalasHapusMba, ini sate lilitnya bisa di stok di kulkas ga ya? Kl bisa, nanti dihangatkan kembali dengan cara di-grill di pan atau gimana? Makasih ya mba.. semoga sehat selalu :)
halo Mbak Dini, yep bs distok ya. Bisa freezer atau chiller untuk 3-4 hari.
HapusHalo mbak, saya cuma mau tanya dr ngawi naik sepeda ke paron lewatnya mana tuh? Seingat saya kan jalannya naik turun gitu..lewat bedali kah?
BalasHapusjalan raya paron Mbak, hanya lurus saja dari Ngawi menuju arah jogorogo. Jalannya lurus datar, gak naik turun ya
HapusPemandangan yang khas di area Paron tahun 2000an, anak2 sekolah banyak yg sepedaan, dampyak-dampyak. Dari SD sampai SMA. Sekarang tinggal dikit kayaknya. Pada naik motor.
BalasHapusbetulll, banyaak banget lewat depan rumah hehehhehe
HapusMba makasih resepnya.Mau nanya, kalo ga pake kencur ngaruh ke rasa ya? Pengen nyoba bikin sate lilit dari dulu tapi terkendala ga ketemu kencur di US sini :((. TErima kasih sebelumnya
BalasHapusmemang agak ngaruh, kencur khas rasanya, tapi bukan berarti nggak lezat sih hehehehe
Hapus