Purging. Satu kata yang bisa diartikan macam-macam, tapi umumnya mengacu pada purification (pemurnian) atau cleansing (pembersihan). Bila digunakan dalam konteks kesehatan biasanya mengacu pada gangguan makan (purging disorder), dimana satu individu membersihkan dirinya dengan merangsang terjadinya muntah demi menurunkan berat badan. Pada kasus saya tidak berhubungan dengan purging disorder, tapi purging barang-barang di rumah dan isi lemari. Seberapa sering anda melakukan pembersihan isi rumah dan isi lemari pakaian seperti mensortir isinya, memilah mana yang masih diperlukan dan mana yang bisa diberikan ke orang lain? Saya belum pernah melakukannya, walau kegiatan itu sudah masuk dalam rencana di kepala. Tapi minggu lalu saya putuskan lemari pakaian dan barang lainnya di rumah harus segera dilakukan purging, karena memang jumlahnya sudah terlalu banyak dan kebanyakan hanyalah barang atau pakaian yang tidak akan digunakan lagi.
Ada banyak laci dan lemari di rumah yang penuh dengan aneka barang. Rumah yang saya tempati saat ini adalah rumah adik saya, dimana dulunya pernah dihuni oleh beberapa anggota keluarga lainnya. Ketika anggota keluarga ini sudah tidak tinggal disini, mereka meninggalkan aneka barang yang mangkrak di berbagai sudut. Barang tersebut ada di dalam lemari dan kardus. Bahkan adik saya sendiri memiliki banyak perabotan warisan mertuanya yang disimpan di rumah. Misal aneka mebel, lemari pajangan, meja telpon, tempat tidur, dan masih banyak lainnya. Sebenarnya rumah ini cukup besar, tapi dengan banyaknya perabotan ditambah kesukaan saya membeli perabot, tetap terasa penuh sesak.
Saya memulai purging dengan membongkar isi lemari pakaian. Tumpukannya menggunung memenuhi dua tempat tidur besar di dua kamar. Satu persatu pakaian lama yang tidak pernah dipakai, yang tidak akan pernah akan muat lagi walaupun diet ketat hendak diterapkan selama 10 tahun, saya masukkan ke dalam kantung sampah besar. Tujuan saya cuman satu, semua pakaian bekas ini akan diberikan ke tukang sampah langganan. Pakaian-pakaian ini bukan pakaian jelek, kebanyakan adalah jas, kemeja dan celana bahan yang dulu pernah saya kenakan kala masih menjadi trainer di perusahaan lama yang mewajibkan karyawannya mengenakan pakaian formal. Baju-baju muslim yang ukurannya sekarang sudah kekecilan, dan saya takjub sendiri memikirkan bagaimana mungkin badan ini dulu pernah muat di dalamnya. Ada rasa sayang dalam hati harus menyumbangkan baju-baju tersebut, kepala mulai mengkalkulasi berapa banyak uang yang telah saya keluarkan demi membelinya. Dulu setiap gajian tiba, uang mengalir demi pakaian, tas dan sepatu, hingga kebutuhan primer seperti membeli rumah, menabung dan investasi dilupakan. Seandainya semua uang untuk membeli baju-baju ini ditabung, atau seandainya saat itu saya mulai mencicil rumah, mungkin saat ini saya sudah masuk ke fase financial freedom.
Rasa sayang seperti ini wajar, tapi juga yang akan membuat kita tenggelam dalam lautan barang yang pada akhirnya sebenarnya tidak akan kita gunakan. Saya pernah membaca dalam sebuah artikel mengenai hording disorder, yaitu gangguan mental dimana satu individu merasa berat atau sayang melepaskan barang yang dimilikinya padahal barang tersebut tidak diperlukan. Ada banyak video di You Tube yang mendokumentasikan mengenai hal ini yang bisa anda cek. Pada akhirnya, seorang yang memiliki gangguan mental seperti ini akan hidup bersama aneka barang-barang yang memenuhi rumahnya, bahkan sampai tidak ada space untuk hidup normal di dalamnya. Kondisinya bahkan begitu mengerikan hingga satu saja barang tak berharga diambil dari rumah, individu tersebut bisa meraung-raung dalam kesedihan. Saya tentu saja belum pada tahap tersebut, dan jangan sampai itu terjadi. Saya tidak ingin hidup dengan rasa attachment pada satu barang atau satu hal (termasuk hutang yang masih segambreng banyaknya!). Saya ingin bebas lepas sehingga ketika memutuskan hendak berganti gaya hidup kaki bisa bergerak bebas.
Untuk mencegah kelakuan hording (mengumpulkan barang-barang) seperti ini kita diminta sering melakukan purging, cara termudah adalah jika selama delapan bulan satu barang tidak pernah kita ingat, tidak pernah digunakan, dikenakan, bahkan keberadaannya pun mungkin kita lupa terletak dimana, maka barang tersebut sudah waktunya dikeluarkan dari rumah karena kita memang tidak membutuhkannya lagi. Saya banyak memiliki barang atau pakaian yang masuk dalam kategori ini, dan kali ini saya tekadkan hati, tidak ada rasa sayang. No attachment! Saya menemukan beberapa dress yang bahkan masih memiliki tag harga di kerahnya, yang model begini saya bawa ke kantor, banyak rekan kantor bertubuh slim yang mungkin bersedia menerima hibah pakaian, dan yang ini kondisinya masih baru.
Dua hari weekend saya lalui dengan mensortir pakaian dan menghasilkan dua kantung sampah ukuran paling besar. Handuk, sprei, jaket, sweater, juga masuk dalam kategori di purging. Kantung bahkan begitu beratnya hingga tak bisa diangkat, terpaksa saya seret ke teras ketika tukang sampah menongolkan hidungnya. Lucunya, di akhir hari pakaian tersisa yang sayang untuk dibuang adalah daster kumuh yang nyaman buat tidur, kaus belel yang sudah dicuci berkali dan berkali hingga warna aslinya susah dideteksi, pakaian rumah tidak pantas pakai yang kenapa saya justru berat hendak dibuang ke tempat sampah (bukan dihibahkan ke orang lain!). Pakaian-pakaian tersebut ternyata masih satu gunungan banyaknya dan mangkrak di atas tempat tidur. Saya pusing melihatnya dan kehabisan tenaga hendak memasukkannya kembali ke lemari. Hati ini mulai bertanya-tanya, jika saya begitu sayang pada pakaian 'gombal' seperti ini apakah ini berarti masih ada sedikit sifat hording dalam diri? Ah gubrak!
Menuju ke resep. Ini termasuk salah satu menu fav saya. Mudah, enak, dan pasti nafsu untuk disikat. Udang, tahu, dan tauco dalam bumbu tumisan yang pedas dan gurih. Beh, satu panci rice cooker juga bisa saya habiskan dalam satu kali kesempatan saja. Swear, lambung saya sudah terlatih untuk melar dengan fantastis demi menampung nasi berpiring-piring. Bukan contoh bagus untuk ditiru. Dalam resep ini saya pakai tauco manis, saya punya satu bungkus jenis tauco manis Pekalongan yang suka distok di freezer. Dibandingkan tauco Medan yang dominan asin, maka versi Pekalongan yang biasa disebut tauco manis ini lebih saya suka. Saya beli di online shop, banyak yang jual, jadi tidak perlu menunggu oleh-oleh mereka yang baru saja mudik dari Pekalongan. Tauco ini tahan berbulan bahkan tahun di freezer, dan sama sekali tidak berubah rasa dan aromanya, asyiknya tauco tidak bisa membeku di freezer jadi bisa langsung digunakan tanpa proses thawing.
Selain udang, ikan goreng pun sedap diolah dengan cara ini, tapi kok menurut saya kolaborasi udang dan tahu yang paling lezat ya. Hm, bagaimana menurut anda?
Berikut resep dan prosesnya ya.
Udang Tahu Kuah Tauco Pedas
Resep modifikasi sendiri
Untuk 8 porsi
Tertarik dengan resep sejenis lainnya? Silahkan klik link di bawah ini:
Bahan:
- 400 gram tahu putih, potong dadu
- 500 gram udang jerbung
Bumbu dan bahan lainnya:
- 2 sendok makan minyak untuk menumis
- 1 buah bawang bombay besar, iris tipis
- 5 siung bawang putih, cincang halus
- 20 buah cabai rawit merah, rajang kasar
- 3 cm lengkuas, memarkan
- 3 lembar daun salam remas
- 2 sendok makan tauco manis
- 3 sendok makan air asam jawa
- 1 sendok makan gula jawa sisir
- 1 sendok teh garam
- 1 sendok teh kaldu bubuk
- 1 sendok makan kecap manis
- 250 ml kaldu udang
Cara membuat:
Bumbui tahu putih dengan dua sendok teh garam, goreng hingga setengah matang. Angkat dan tiriskan. Sisihkan.
Lepaskan kepala udang dari badannya. Masukkan kepala udang ke panci kecil, tambahkan 300 ml air, rebus hingga mendidih. Angkat, saring air kaldunya untuk kuah masakan. Sisihkan.
Panaskan dua sendok makan minyak di wajan. Tumis bawang bombay, bawang putih, cabai, lengkuas dan daun salam hingga harum dan bawang layu, transparan. Masukkan tauco, aduk dan tumis 1 menit.
Tambahkan tahu dan udang, aduk rata dan tumis hingga udang berubah pink. Masukkan air kaldu udang, garam, gula, kaldu bubuk dan kecap manis, aduk rata. Masak hingga kuah mendidih dan udang matang. Cicipi rasanya, sesuaikan asin manisnya. Angkat, sajikan dengan nasi hangat. Muantaap!
Dulu alm simbah saya sering buat tauco manis mba, saya suka rasanya dan memang pas di masak sama tahu. Tp skr dah ga ada yg pernah bikin tauco ini lagi.
BalasHapusWah menarik sekali bisa buat tauco sendiri, saya selalu tertarik dengan segala sesuatu yang berbau homemade wakkakak, sayang ilmunya tidak diturunkan yaaaa
Hapuswaaaah makasih mbaaak inspirasinya... sudah saya eksekusi .. mantap rasanyaaaa
BalasHapus