Lebaran tahun ini sama seperti tahun lalu, sudah dua kali Lebaran dilalui dalam suasana Covid. Jika kondisinya masih seperti ini maka alamat tahun depan pun akan sama. Sungguh tersiksa! Momen Lebaran menurut saya yang paling merasuk jiwa adalah saat malam takbiran bergema dan pagi hari ketika seluruh anggota keluarga berkumpul dan tergesa-gesa berangkat ke lapangan untuk sholat Ied bersama. Momen tersebut kini tiada. Lebaran terasa seperti hari biasa. Semakin dewasa, memang saya rasakan kekhusyukan Lebaran tidak seperti ketika masih bocah. Ditambah kondisi pandemi, maka sama sekali tak ada rasa. Jika dalam kondisi normal semua anggota keluarga termasuk kakak di Batam akan datang ke Jakarta, maka kini hanya kami lalui dalam sepi. Memang saya akui, yang paling dinantikan seluruh keluarga muslim di Indonesia saat Lebaran adalah berkumpul dengan anggota keluarga. Tak heran walau dalam kondisi pendemi seperti ini dan larangan mudik dengan keras digaungkan pemerintah, masyarakat seakan tak peduli. Ribuan sepeda motor tetap melaju ke luar dari Jakarta menuju seluruh penjuru Jawa, mendobrak penghalang dan barikade. Saya tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan tapi saya bisa mengerti mengapa mereka melakukan itu. Lebaran, setahun sekali, tahun depan apakah kita masih bisa bersua?
Hari Rabu, satu hari sebelum hari raya tiba, saya berangkat ke rumah adik di Mampang. Jika dulu aneka hidangan kami siapkan begitu hebohnya demi menyambut tamu yang datang, kini seakan mempersiapkan makanan harian biasa. Ibu saya di pagi hari telah memasak 20 biji ketupat di pressure cooker, dan ketika saya datang sekitar jam 2 siang hanya mempersiapkan opor ayam dan sayur godog. Di freezer, adik saya, Wiwin, telah memiliki stok rendang bertoples-toples dan sambal goreng hati. Yep bertoples rendang, karena Wiwin, satu minggu sebelum Lebaran telah memasak rendang berkilo-kilo dan dimasukkan ke toples. Ternyata masing-masing toples rendang ini untuk diberikan ke saudara sebagai bingkisan Lebaran. Hanya memasak dua menu simple, tak memakan waktu lama, ketika waktu menunjukkan pukul 4 sore semua hidangan Lebaran sudah ready. Saya bahkan masih bisa membuat chocolate chips cookies yang diminta Rafif, putra pertama Wiwin.
Saya teringat dulu ketika masih tinggal di Paron, saat malam sebelum Lebaran seperti ini kami semua sibuk berkutat di dapur. Ibu akan merendang daging dan merebus ketupat berjam-jam di tungku kayu, sementara yang lainnya sibuk membersihkan rumah. Bocah-bocah akan berkeliling membawa obor dan menggaungkan takbir keliling melewati depan rumah. Rasa haru bahagia yang membuncah dalam hati merasakan nikmat Lebaran setahun sekali setelah sebulan berpuasa tak ada duanya. Rasa happy ketika dapur menguarkan aroma harum rendang dan opor ayam yang dimasak setahun sekali dan tak sabar rasanya besok pagi bisa dinikmati menggelora di dada. Mengapa sekarang rasa ini tidak ada ya? Apakah hanya saya yang merasakan mati rasa seperti ini? Ah betapa rindunya saya dengan jaman dulu yang sering disebut jaman susah tapi bisa merasakan sebuah kebahagiaan dalam hal-hal yang sederhana. Apakah saya harus pulang kampung juga untuk merasakannya kembali?
Menuju ke resep, jika mulai bosan makanan bersantan ala hidangan Idul Fitri, maka kuah asam ini mungkin bisa menjadi alternatif menyegarkan lidah. Saya penggemar hidangan berkuah light, bening, asam, pedas seperti ini, walau makanan bersantan plus ketupat atau lontong juga susah ditolak. Makanan berkuah asam seperti ini di beberapa negara di Asia Tenggara hampir mirip tampilan dan rasanya. Di Indonesia dan Malaysia kita mengenal kuah asam, di Filipina ada sup bernama sinigang, di Kamboja dikenal dengan nama samlar machu atau Khmer sour soup, di Thailand ada jenis tom yum versi bening, di Vietnam hidangan sejenis disebut canh chua. Kuah asam di Indonesia biasanya mengacu pada hidangan Manado, umumnya menggunakan ikan bobara atau kakap dengan tambahan jagung manis pipilan dan aneka daun rempah. Bahannya simple, prosesnya mudah karena semua bahan hanya direbus saja, tapi rasanya maknyus. Kalau lagi bosan dan bingung hendak menyantap apa, maka sup sejenis ini menurut saya selalu berhasil menggugah selera.
Sebenarnya ikan kakap, atau jenis ikan laut lainnya paling cocok diolah menjadi kuah asam. Ikan laut memiliki aroma lebih segar dibandingkan ikan air tawar yang agak beraroma lumpur, tapi sejak Covid saya tak pernah pergi ke tukang ikan di Pasar. Ada satu langganan penjual ikan favorit saya di Pasar Blok A, ikannya fresh dan banyak pilihannya. Dulu saya biasanya beli sekaligus banyak, sebulan sekali saja. Tapi karena lokasi tokonya berada di tengah-tengah pasar yang ramai berjubelan, nyali saya 'jeper' juga jika harus menembus kerumunan manusia demi membeli ikan. Sekarang yang saya beli hanya ikan nila, lokasi penjualnya di luar pasar dan relatif sepi dari lalu lalang pengunjung.
Tips memasak ikan atau daging dalam sup berkuah bening seperti ini adalah rebus dulu ikan atau daging dalam air mendidih sekejap saja untuk membuang aroma amis dan kotoran yang mengapung. Air rebusan pertama ini bukan kaldu, jadi buang saja dan cuci ikan atau daging, baru kemudian dimasak dengan air baru bersama rempah-rempah bumbu. Cara ini membuat kuah lebih bersih, bening dan aromanya lebih segar. Bisa menggunakan jenis ikan lain seperti tuna, kembung, tongkol, gurame, kakap, atau lainnya ya.
Berikut resepnya.
Kuah Asam
Resep modifikasi sendiri
Untuk 4 porsi
Tertarik dengan resep berkuah bening asam lainnya? Silahkan klik link berikut ini:
Bahan:
- 2-3 ekor ikan nila (500 gram), atau jenis ikan lain: tuna, kembung, kakap, tengiri
- 2 buah jagung manis, dipipil
- 2 batang daun bawang, rajang kasar
- 1 ikat kemangi, petik daunnya
- 2 buah tomat merah, rajang kasar
Bumbu dan bahan lain:
- 1000 ml air
- 15 buah cabai rawit hijau utuh
- 2 batang serai, dimemarkan
- 3 cm lengkuas, dimemarkan
- 4 lembar daun jeruk purut, sobek kasar
- 5 siung bawang merah, iris tipis
- 6 buah belimbing wuluh rajang kasar, optional
- 3 sendok makan air asam jawa/ air jeruk nipis
- 1 1/2 sendok teh garam
- 1 sendok teh gula pasir
- 1 sendok teh kaldu bubuk
Cara membuat:
Siangi ikan, potong menjadi 2 bagian. Lumuri dengan 1 sendok makan garam dan 1 butir air jeruk nipis atau 2 sendok makan air asam hingga rata. Cuci bersih, tiriskan.
Masukkan 800 ml air ke panci, masak hingga mendidih. Masukkan ikan, masak hingga air mendidih saja, jangan sampai ikan matang dan lunak. Angkat, tiriskan ikan dan buang air rebusannya. Sisihkan.
Masukkan 1 liter air di panci, tambahkan cabai, serai, lengkuas, daun jeruk, bawang merah dan belimbing wuluh. Masak hingga mendidih dan aroma air rebusan menjadi harum. Tambahkan jagung manis, rebus hingga matang.
Masukkan ikan, daun bawang, garam, air asam/air jeruk nipis, gula dan kaldu bubuk. Masak hingga semua bahan matang. Tambahkan tomat dan sebagian kemangi, cicipi rasanya, sesuaikan asin asamnya. Angkat, sajikan dengan taburan kemangi segar. Super yummy!
Malam takbiran memang selalu penuh kenangan ya mba Endang. Dulu ketika masih kecil malah saya pikir tradisi repot2 masak dan bebenah cuma tradisi di rumah kami, krn dulu waktu kecil kok sy liat org2 gak keliatan lelah dan ngantuk di pagi hari Ied.
BalasHapusTernyata saya salah, semangat Ied lah yg membuat wajah org2 terlihat sumringah sehingga tdk terlihat kantuk dan lelah di wajah mereka.
Btw mba, kira2 klo gak ada blimbing wuluh kira2 bs diganti perasan lemon atw nipis gak?
Ya betul banget, malam takbiran ketika besok akan sholat Ied itu adalah malam ter de best dalam setahun. Tapi kini kok jadi biasa sajaa.
HapusBisa ganti tomat hijau, tomat merah, air jeruk nipis juga ok
Hai mb Endang,
BalasHapusBetul sekali, lebaran tanpa berkumpul keluarga rasanya ada yang kurang.
Kalau ngga ada belimbing wuluh bs diganti apa ya mb?
Terimakasih
Ganti tomat hijau/merah, kalau kurang asam pakai kucuran jeruk nipis/lemon oke Mbak
Hapus