Akhirnya Covid benar-benar nyata hadir dalam lingkungan sekitar saya, kali ini adalah lingkungan kantor. Tidak main-main, delapan orang karyawan langsung terpapar bersamaan dalam waktu satu minggu saja, jeda masing-masing orang hanya hitungan hari. Setelah satu tahun kami melalui badai pandemi ini dengan aman damai, sepertinya kewaspadaan karyawan menjadi berkurang. Banyak yang sering ngobrol berdekatan, makan bersama dalam jarak dekat, membuka masker di lingkungan kantor dengan alasan merasa sesak nafas jika harus mengenakan masker seharian, hingga 'ngerokok' bareng di area parkiran. Sebenarnya sejak seminggu terakhir satu rekan sales sudah mengalami flu pilek batuk, tetapi tidak demam. Karena tidak demam ini lah maka yang bersangkutan merasa hanya menderita flu ringan biasa dan bukan Covid. Kami pun tak ada yang merasa curiga dan tidak meminta dia untuk tes, bahkan Satgas Covid di kantor tidak bereaksi apa-apa.
Satu minggu itu virus mulai berkeliaran di dalam ruangan, saat weekend satu rekan sales lainnya yang seruangan mengirimkan pesan di WA grup mengatakan dirinya positif Covid ketika di tes swab antigen dan menunggu tes lanjutan PCR. Semua sales yang berada di dalam ruangan yang sama langsung bereaksi heboh, saat itu juga semua melakukan tes antigen untuk mendapatkan hasil yang cepat. Hari itu empat orang dinyatakan positif yang dilanjutkan dengan tes PCR, sisanya hasil negatif tapi kemudian bertumbangan satu persatu. Akhirnya, dari sepuluh orang sales yang berada di dalam ruangan trading tersebut, tujuh orang positif, sementara tiga lainnya sehat dibuktikan dengan tes PCR. Itu adalah kejadian pahit yang lumayan mencekam di kantor dan membuat kami benar-benar ketakutan.
Meja saya terletak di ruangan terpisah dari ruang sales, kami menyebutnya ruangan operasioal back office. Ruangan ini lebih luas karena jumlah karyawan lebih banyak. Di ruang back office, ternyata ada satu rekan juga yang terkena Covid, dia tertular dari temannya di luaran. Awalnya saya tenang-tenang saja, beranggapan bahwa hanya rekan-rekan sales saja yang terkena, tapi karena ada satu karyawan operasional juga yang kena dan posisi duduknya di lokasi yang banyak karyawan lainnya berdekatan (termasuk saya!), malam itu juga karyawan back office satu persatu melakukan tes antigen. Ada yang bahkan jam sepuluh malam harus pergi ke klinik untuk tes, saking stresnya dan tak sanggup jika harus menunggu besok. Saya sendiri merasa kondisi baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda flu sedikit pun, jadi saya tunda hingga last minute untuk tes. Sebenarnya ada ketakutan juga jika kemudian ternyata hasil positif, berarti masalah baru yang harus diurus. Membayangkan harus ke dokter atau rumah sakit, kemudian bagaimana jika harus melakukan karantina di Wisma Atlit? Ah, bisa berabe.
Tapi kemudian Satgas Covid kantor memberikan ultimatum, kami semua wajib tes karena data semua karyawan harus diserahkan ke Satgas Covid gedung, terpaksa malam-malam saya berangkat naik bajaj ke klinik di daerah Radio Dalam untuk melakukan tes. Ada rasa dag dig dug berkecamuk dalam hati menunggu tes keluar, apalagi hasil tes klinik ini agak lama, butuh waktu 2 jam untuk bisa mengetahui hasilnya dan tidak bisa di email. Saya luangkan waktu menunggu tersebut dengan menyantap sate Padang di emperan sebelah klinik. Sebenarnya ada banyak jajaran makanan lezat lainnya tapi warung sate Padang ini paling sepi. Hasil tes saya alhamdulilah negatif, dan selama dua minggu selanjutnya semua karyawan wajib melakukan WFH agar bisa karantina mandiri di rumah. Ketika masuk kantor kembali kami semua wajib melakukan tes antigen sekali lagi.
Pelajaran yang diambil dari kasus ini adalah karyawan yang tertib menjalankan prokes terhindar dari Covid. Kami semua karyawan di bagian operasional sangat ketat dalam prokes, masker tidak pernah lepas, selalu mencuci tangan, walau terkadang masih suka ngobrol bergerombol tetapi dengan masker tetap terpasang. Satu rekan di back office yang tertular dari temannya di luaran memang memiliki aktifitas luar padat, setiap weekend sering keluyuran dan jalan-jalan bersama teman-temannya, jadi memang tidak terlalu menjalankan stay at home sebagaimana seharusnya. Tiga rekan sales yang tidak terkena Covid, saya perhatikan satu ketat prokes, yang satu lagi sering kerja dari rumah sehingga jarang ke kantor, dan yang satu lagi walau sudah berusia di atas kepala lima tetapi sepertinya imun tubuhnya kuat karena sering minum jamu-jamuan.
Hal lain yang saya petik adalah jika ada yang terkena Covid di kantor, apalagi dalam kasus ini delapan orang sekaligus, maka prosesnya sangat ribet. Satgas Covid gedung melakukan pemantauan ketat, harus lapor berkali-kali, meminta kantor ditutup selama 3 hari untuk disterilkan, penyemprotan disenfektan dilakukan setiap hari, belum lagi ada rasa malu ketika kantor yang letaknya bersebelahan dengan kami karyawannya melarikan diri semua ke lantai lainnya karena ketakutan dan pintu kantor mereka dikunci rapat. Jadi bukan kantor tempat saya bekerja yang pintunya ditutup tapi justru kantor perusahaan lain. Rasa malu ini muncul karena seakan-akan kami perusahaan yang tidak menjalankan prokes atau tidak punya prosedur menghadapi pandemi Covid, karyawannya tidak berpendidikan dan tidak tahu bahayanya Covid, atau karyawannya bandel-bandel sehingga walau ada prosedur tetapi enggan menjalankan. Anyway, akibat kejadian ini banyak diantara kami yang juga takut berangkat bekerja ke kantor. Apalagi dengan kondisi semua jendela tetutup rapat dan tidak bisa dibuka sama sekali sehingga tidak ada pertukaran udara maka cluster Covid mungkin akan terjadi lagi jika karyawan mulai lengah. Tapi ah, semoga cukup sampai disini saja.
Menuju ke resep, soto Bandung ini saya buat karena asisten rumah tangga adik saya, sering memasaknya. Saya belum pernah membuat soto Bandung, walau beberapa kali mencicipinya ketika sedang ke kota tersebut. Soto Bandung memiliki kuah yang bening, light dengan rasa kaldu sapi sebagai kekuatannya. Kekhasan lainnya adalah irisan lobak rebus dan taburan kacang kedelai sebagai pelengkapnya. Demi mengeksekusi soto ini pulalah saya sampai harus membeli sekantung kedelai goreng di toko online. Tobat!
Berikut resepnya ya.
Assalamualaikum..
BalasHapusAlhamdulillah di wifi indi sy masih bisa buka mba Endang..
Nah, ini loh yg bikin saya suka baca blog mba Endang (walaupun jarang komen, hihihi) Selain resep, mba selalu berbagi cerita..
Serasa didongengin.
Seru bacanya..
Semoga kita semua dilindungi dari penyakit berbahaya ini ya mba..
Walaikumsalam Mbak, ah syukurlah masih bs dibuka, soalnya banyak yang ke blokir, wakakkak. Thanks ya Mbak masih membaca blog JTT. sukses yaaa
HapusBismillah, ngikutin di ig emg krg lengkap klo ga berkunjung di sini. Hmmmm emg c19 ini SubhannAllaah bikin deg2an terus. Semoga wabah ini segera berakhir dan kita terlindung dri virus ini aamiin. Btw, mbak Endang caranya goreng kedelai biar bisa enak ga pahit itu gmn y? Aku prnh nyoba tapi mesti pahit. Bikin sedih
BalasHapusSelalu seru baca blog mbak endang. Story telling disertai resepnya tentu yang dinanti. Semoga sehat2 selalu sekeluarga dan sekantor mbak.
BalasHapusNice share mba endang tetep kudu pake masker dan ikuti protokol. Tadi di pasar ketemu ibu2 yang beli lobak sambil rekomendasiin soto bandung. Untung mba Endang pernah bikin ga khawatir deh jadinya ga enak hahaha.. Kata si ibu bumbunya sama kaya soto daging tapi ga oerlu dikasi kunir.
BalasHapus