My garden |
Tinggal di negara yang tidak mengenal musim dingin membuat kita bisa menanam sepanjang tahun. Sinar matahari dan air melimpah, suhu selalu cocok buat aneka tanaman, tantangan bercocok tanam tidak seberat mereka yang hidup di negara empat musim. Mungkin itu yang menyebabkan bertanam sayur dan buah sendiri di pekarangan bukan lah hal yang menjadi minat banyak penduduk. Apalagi dengan harga sayuran dan bahan pokok yang relatif terjangkau dibandingkan dengan negara empat musim, berkebun di pekarangan sepertinya bukanlah pilihan banyak warga di Indonesia. Hanya para petani dan keluarga petani dan sanak saudara petani dan mereka yang berjiwa petani yang melakukan hal tersebut, bukan warga umumnya.
Banyak yang beralasan mereka enggan berkebun karena tidak memiliki cukup lahan, atau pekarangan sempit, atau jika ada pun tidak mendapatkan cukup sinar matahari. Memang jika tinggal di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, faktor ketersediaan lahan menjadi problem utama. Tapi saya perhatikan, mereka yang tinggal di pedesaan atau kota kecil dengan pekarangan yang cukup pun enggan bercocok tanam sayuran, atau yang tinggal di Jakarta pun dengan halaman seluas rumah tipe 100 meter persegi hanya dipenuhi dengan rumput hijau. Jadi sebenarnya keinginan untuk menghasilkan bahan makanan sendiri dari lahan yang dimiliki memang tidak ada.
Panen kale. Sawi samhong. Kale keriting dan kale dwarf |
Padahal berkebun tidaklah selalu harus memiliki lahan luas dan tidak selalu harus dilakukan di atas permukaan tanah. Banyak sekali vlogger di You Tube berkebun dalam skala kecil, bahkan ada yang di balkon apartemennya. Saat ini berkebun sayuran dan tanaman yang bisa dimakan lainnya sedang hype. Konsep self sufficient, menghasilkan bahan makanan sendiri walau kecil-kecilan menjadi trend dimana-mana di seluruh dunia. Apalagi sejak pandemi berlarut-larut, ancaman global warming dan bencana yang berhubungan dengan iklim terjadi di penjuru dunia, menjadikan banyak manusia tidak ingin terlalu bergantung pada manusia lainnya, atau pada satu rantai produksi makanan. Saat lock down dan ketakutan akan bahan makanan tidak tersedia, supermarket diserbu gila-gilaan hingga harus bertarung dan berkelahi demi mendapatkan kebutuhan pokok yang diinginkan, padahal saat itu stock masih cukup. Tapi sifat dasar manusia yang penuh dengan nafsu, dan rasa takut akan sesuatu yang tidak pasti, membuat rasa empati dengan manusia lainnya pun musnah. Bayangkan jika pemanasan global semakin menjadi-jadi, musim semakin tidak menentu, dan perubahan-perubahan iklim lainnya mempengaruhi produksi hasil pertanian, apa yang akan terjadi dengan umat manusia ini? Saya merasa pemikiran ini tidak ekstrim, 20 atau 30 tahun nan lampu mungkin iya, tapi sekarang apapun bisa terjadi dalam sekejap.
Daun bawang. Tumpang sari. Letakkan tempat agak tinggi. |
Mint. Basil. Kemangi |
Saya teringat dengan novel NH. Dini, judulnya Sebuah Lorong Di Kotaku, buku yang sangat menginspirasi bagi saya. Saya membacanya pertama kali ketika duduk di bangku SD, dan sejak itu menjadi sebuah mimpi, cita-cita dan keinginan, one day saya akan tinggal di sebuah rumah seperti rumah keluarga yang diceritakan oleh NH. Dini. Walau setting-nya adalah jaman penjajahan Belanda dan Jepang, tapi banyak sekali inspirasi yang bisa didapatkan disana, seperti kebun yang luas dengan aneka buah-buahan, kolam ikan, gerombolan puyuh yang bersarang di balik semak kebun, hingga Ayah dan Ibu yang mengawetkan bahan makanan dan menyimpan aneka makanan di loteng sebagai bekal jika nanti terjadi kelangkaan saat situasi tidak menentu. Intinya, keluarga tersebut ingin self sufficient terutama untuk makanan, kebutuhan paling basic bagi manusia. Sampai sekarang saya masih cinta pada buku tersebut.
Kunyit. Jahe biasa. Jahe merah |
Kembali ke menghasilkan bahan makanan sendiri. Tidak harus bombastis bahwa semua kebutuhan dapur harus terpenuhi, tidak perlu seperti itu, kecuali jika kita memang punya lahan yang cukup. Tapi menanam daun bumbu seperti seledri, mint, basil, kemangi, daun bawang, atau ketumbar dalam pot kecil pun berarti sudah menghasilkan sebagian bahan makanan sendiri. Setidaknya ketika hanya butuh mint setangkai untuk menyegarkan segelas teh, tidak perlu harus beli seikat besar di supermarket. Atau hanya sekedar perlu seledri untuk garnish sepanci sup, tidak perlu beli segepok yang tidak akan terpakai semua, dan seledri susah disimpan di kulkas dalam jangka lama.
Pekarangan atau halaman kurang sinar matahari? Coba cari tanaman yang tidak suka panas, seperti aneka kunyit dan jahe-jahean, atau sayuran seperti selada yang justru akan terkapar layu jika dihajar sinar matahari full. Atau jangan mati-matian berusaha menanam tomat, cabai atau tanaman sayuran berbuah, karena harus mendapatkan banyak sinar matahari agar bisa menghasilkan. Cari saja tanaman sayur daun seperti kale, sawi, swiss chard, kailan, selada atau dedaunan rempah yang dikonsumsi daunnya dan sejak kecil juga sudah bisa dipanen.
Tanam dalam kontainer di atas rak. |
Seledri. Daun bawang dalam pot bekas |
Kondisi tanah jelek, banyak hama seperti kucing, tikus, ayam tetangga - dalam dunia pertanian yang namanya hama bukan hanya belalang, ulat dan sejenisnya, tetapi makhluk hidup apapun yang mengganggu pertumbuhan tanaman yang sedang ditanam bisa dianggap hama - maka bertanam dalam pot atau kontainer, atau wadah di atas rak mungkin bisa jadi alternatif. Atau lindungi tanaman dengan kawat ayam yang halus agar ayam tetangga tidak menyerbunya. Pot mahal? Pakai wadah apapun asalkan bisa menampung media, entah ember atau baskom bekas, karung goni, bekas botol air mineral, minyak goreng dan susu, atau bahkan plastik bekas minyak goreng refill juga oke dijadikan wadah media. Idenya tidak terbatas. Atau gunakan satu pot untuk banyak tanaman (tumpang sari), misal berbagai jenis kale, swiss chard dan sawi bisa ditanam sekaligus dalam wadah yang agak besar.
Ember kompos |
Katuk. Ubi Jalar dirambatkan ke atas pagar. Bayam malabar |
Malas menanam tanaman sayur yang sifatnya bulanan atau annual alias semusim saja dan harus menyemai benih demi bibit baru? Maka tanaman tahunan yang daunnya bisa dimakan bisa menjadi alternatif misal ketela rambat, kathuk, pepaya jepang (chaya), bayam malabar, bayam brazil, bahkan daun markisa pun bisa dikonsumsi. Beberapa tanaman buah bahkan tidak membutuhkan lahan luas, asalkan cukup sinar matahari seperti jeruk-jerukan, delima, pepaya, pisang mini. Adik saya, Wiwin, menanam pisang mini di depan rumahnya di dalam sebuah cluster perumahan di tengah kota Jakarta, pekarangannya hanya secuplik tapi pohon pisangnya setiap tahun menghasilkan buah yang dinikmati tetangga dan satpam perumahan. Artinya mampu menghasilkan bahan makanan walau terbatas.
Media dan pupuk mahal? Buat kompos sendiri. Pangkasan tanaman, sisa bahan organik rumah tangga (sayuran, kulit buah, kulit telur) atau kertas, koran dan kardus, bisa dikomposkan dalam sebuah ember bertutup yang diberi lubang banyak. Atau jika punya lahan, bisa dibuat dari papan bekas. Kompos kaya akan unsur hara yang baik buat tanaman selain memperbaiki struktur tanah menjadi gembur. Andai semua rumah tangga bersedia mengkomposkan limbah rumah tangganya masing-masing, maka mungkin tidak terjadi tumpukan sampah di kota besar setinggi gedung 10 lantai yang membuat pusing pemerintah daerah.
Kawat loket untuk melindungi tanaman |
Ketika saya ke Swedia bertahun nan lampau, ada satu taman di kota Gothenberg yang memajang papan memanjang berisikan kisah penanggulangan sampah di kota tersebut. Swedia sudah melakukan proses recycling sampah sejak pertengahan abad ke-20, jadi sudah lama banget! Dulunya mereka pun memiliki masalah sama seperti kita dan negara berkembang lainnya, apalagi jika bukan tumpukan sampah, hingga kemudian tercetus Revolusi Daur Ulang atau Recycling Revolution yang mengubah sampah menjadi energi. Agar revolusi itu bisa berjalan semua dimulai dari rumah tangga, masing-masing rumah tangga wajib memisahkan sampah organik dan non organiknya. Sampah non organik seperti botol dan kaleng bekas bisa ditukarkan menjadi uang di minimarket atau supermarket secara mandiri, jadi seperti ATM sampah. Botol dimasukkan ke dalam mesin, mesin akan menghitung nilainya dan uang akan dikeluarkan di akhir proses. Saya rasa jika mesin ATM sampah seperti ini ada banyak disediakan di kota besar di Indonesia maka semua orang akan menyerbunya.
Jeruk lemon cui/kesturi |
Kesimpulannya, grow your own food merupakan sebuah mata rantai, sebuah proses yang saling berkesinambungan, bukan hanya demi swasembada pangan pada masing-masing rumah tangga tapi juga menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, mengurangi beban belanja dapur dan menghilangkan stres. Di negara maju seperti Amerika dan banyak negara di Eropa, mereka yang tidak punya lahan akan disediakan pemerintah lahan untuk bercocok tanam dan menjadi community garden. Masyarakat bisa mendapatkan plot lahan untuk berkebun atau disebut allotment. Banyak sekali pekerja kantoran yang pusing dan stres dengan pekerjaan sehari-hari mencari ketenangan dengan community garden ini. Bekerja di alam terbuka, menyentuh tanah dan tumbuhan, memandang kehijauan, merawat aneka tanaman dan bertemu dengan orang lain yang memiliki hobi sama, terbukti merupakan salah satu cara relaksasi yang sangat murah dan seharusnya bisa dilakukan semua orang. Ngapain pergi clubbing bahkan sampai harus terlibat minuman keras dan narkoba karena stres, cukup pergi ke halaman dan bercocok tanam. So simple!
Delima. Jeruk kesturi. Belimbing wuluh. |
Zukini dalam pot. Buncis dalam pot. Bunga buncis |
Tidak ada ilmu menanam? Percayalah, saya yang lulusan Sarjana Pertanian dengan jurusan Agronomi alias Budi Daya tanaman artinya ini spesifik jurusan tanam menanam, harus belajar kembali dari nol saat mulai bercocok tanam sesungguhnya di pekarangan. Ilmu pertanian yang saya dapatkan hanya cocok secara teori tapi saat dipraktekkan tidak semudah ujian di bangku kuliah. Saya belajar dari You Tube ada banyak gardener luar negeri yang bisa ditimba ilmunya, dan Google ketika saya menemukan masalah pada satu tanaman. Kembali lagi, lakukan dan lakukan, artinya kita akan semakin tahu sifat nature tanaman jika mulai langsung menceburkan diri menanamnya. Menebar benih seribu mungkin hanya sepuluh yang berhasil, but that's okay. Just plant! Karena jika kita berhenti, mutung, kesal dan putus asa, maka bagaimana mungkin kita bisa menghasilkan bahan makanan? Jika semua petani mutung, kesal dan putus asa dengan hama, penyakit tanaman dan iklim yang tidak bersahabat, bagaimana dengan kita yang membutuhkan produknya? Jadi, grow your own food dan mulai dari sekarang.
Happy gardening!
koleksinya ruar biasa mba Endang
BalasHapusWah subur-subur banget mbak Endang, jadi iri. Di rumah juga menanam sayur-sayuran/rempah... tp sepertinya panennya lama
BalasHapusMbak Endang lama banget nggak nulis hiks.. btw sharing juga dong gimana nanam aneka tumbuhan tsb, mengingat dulu mbak jg srg gagalnya hehe.. saya masih gagal aja nanam daun pre. Cabe merah yg asal sebar juga satu dua aja yg bisa dipanen. Belimbing sekian tahun dr anak bayi mpe anak SD belum pernah panen wkwk. Tapi syenengnya minta ampun kalau sy masak pas butuh daun kunyit, daun salam, kemangi, daun pisang, sereh ada. Rasanya puas gimana gitu ya.
BalasHapusSaya bikin kompos di komposter malah dibuang sama mertua, sedihh sampai belum bikin lagi
BalasHapusGilaaaakkkk ini mah kereeeeennnnn
BalasHapusMba endang keereenn... Bisa jd menteri pertanian nich..
BalasHapus