Saya suka dengan kebudayaan, apapun bentuknya. Entah itu cara hidup satu masyarakat, busana yang dikenakan, upacara keagamaan, pekerjaan sehari-hari, makanan, bentuk bangunan rumah dan gedung, atau bahasanya, apapun. Bagi saya sangat menarik memperhatikan satu gaya atau cara hidup berbeda dengan yang kita lakonin sehari-hari. Karena itu pula, jika traveling ke satu negara saya tidak terlalu bersemangat berkunjung ke kota besar yang hanya dipenuhi dengan gedung dan shopping mall. Saya ingin menyusuri pelosok desa atau kota-kota kecil yang menampilkan kehidupan sehari-hari warga asli. Mencicipi makanan asli yang dihidangkan di resto atau rumah makan tradisional, dan melihat langsung apa yang dilakukan penduduk setempat dalam mengisi waktunya. Tapi sayangnya, traveling ke pelosok seperti ini membutuhkan biaya lebih besar terutama urusan transportasi, dan juga membutuhkan waktu lebih lama yang umumnya tidak dimiliki. Jadi memang lebih mudah hanya berkunjung ke kota besarnya saja.
Tapi sungguh, jika diberi umur panjang dan kesempatan, saya ingin berkunjung ke negara-negara yang hanya pernah saya baca di internet dan lihat lokasinya di Google Map. Saya bahkan sering sekali mengisi waktu dengan membuka Google Earth dan menggunakan Google Street View menyusuri jalan-jalan di kota-kota kecil di negara-negara nun jauh disana, misal Transylvania di Romania. Siapa yang nggak ingin one day bisa mengunjungi negara asal mula dongeng Count Dracula bukan? Melihat langsung Bran Castle yang erat diasosiasikan dengan sosok Dracula. Saya juga suka menyusuri jalanan di negara-negara Middle East membayangkan bisa mencicipi semangkuk abgoosht (sup domba dan chickpea), langsung di Tehran, Iran sambil memandang kesibukan warga lokal dalam kesehariannya. Itu jauh mengasyikkan dibandingkan hanya melihat mal dan obyek wisata turis yang modern. Sungguh andai saya punya kantong ajaib Doraemon akan saya keluarkan pintu ajaib berkali-kali agar bisa mengunjungi satu tempat unik tanpa harus sibuk mengurus visa atau duduk tersiksa di dalam pesawat semalaman.
Ketika beberapa bulan lalu berita mengenai Afghanistan menggema dimana-mana karena pasukan Amrik dan NATO ditarik dari negara tersebut, setiap hari saya menonton berita mengenainya di channel-channel berita asing melalui You Tube. Saat itulah bayangan saya mengenai Afghanistan berubah seutuhnya. Sebelumnya jika mendengar nama negara tersebut dalam benak saya hanyalah perang, perang, perang dan teroris. Bom, senjata dan darah, tapi sejak berita negara tersebut santer digaungkan dimana-mana, saya pun berusaha mengenal negara ini dari kaca mata berbeda. Tidak banyak tayangan mengenai kehidupan sehari-hari rakyat Afghan di You Tube, tapi beberapa vlog traveling seperti Drew Binsky sempat berkunjung beberapa bulan sebelumnya, sebelum kondisi Afghanistan seperti sekarang. Rakyat Afghan sama seperti masyarakat dibelahan bumi lainnya di dunia ini, hanya menginginkan ketenangan, bisa bekerja dengan aman damai, menuntut ilmu, kesetaraan hak pria dan wanita, atau sekedar nongkrong di tepian jalan menyantap semangkuk sup di pagi hari yang dingin dan berkabut. Saya tidak begitu tahu mengenai kuliner khas Afghan, tapi tayangan singkat video mengenai beberapa makanan khas negera tersebut membuka minat saya. Kuliner Afghan terlihat lezat dan unik.
Salah satu makanan yang langsung ingin saya eksekusi adalah sup ayam dan sayuran ini. Terbuat dari irisan ayam, kacang chickpeas dan aneka sayuran, dan dikentalkan dengan tepung maizena, tampilannya sekilas mirip bubur, tapi ini sup yang terbuat dari kacang dan sayur. Masakan ini banyak dijual di tepian jalan di kota-kota di Afghanistan seperti Kabul dan Kandahar (kota kedua terbesar di negara tersebut). Tampilan gerobak mirip seperti penjual bubur ayam di Jakarta, hanya saja pembeli duduk berkeliling di seputar gerobak. Sup diletakkan dalam sebuah panci besar, disajikan bersama telur rebus dan black vinegar sejenis cuka apel yang hanya bisa ditemukan di Afghanistan karena terbuat dari apel khas yang tumbuh di wilayah tersebut. Cuka apel hitam ini memiliki tekstur kental pekat seperti kecap manis di negara kita. Biasanya para pria Afghan - wanita tidak terlihat sama sekali di jalanan atau pasar di negara ini - memulai pagi yang dingin dengan sarapan sup sayuran ini. Suhu Afghanistan berkisar 15 derajat Celcius tapi bisa drop ke 4 derajat pada musim dingin di Januari.
Saat itu saya melihat keseharian masyarakat Afghan sama seperti penduduk di kota-kota di Jawa, atau di kampung saya di Paron tempo dulu. Para pria saat pagi nongkrong di warung nasi pecel menikmati sepiring nasi dan tempe goreng, ditemani segelas kopi panas. Bercengkrama, tertawa, gembira dan asyik mengobrol satu sama lain. Walau kota dan para penduduk Afghanistan terlihat sederhana dan cenderung berada pada garis kemiskinan, tapi mereka tampak hidup normal selayaknya masyarakat di negara kita. Hati saya meleleh saat ada penjual yang menolak uang yang dibayarkan Drew semata-mata karena hendak menjamu tamu warga asing yang datang ke negaranya, padahal dilihat dari kondisi penjual, hidupnya tidaklah berlebihan. Inilah wajah asli masyarakat Afghan yang sebenarnya, humble dan ramah.
Miris rasanya melihat negara seindah ini dengan penduduknya yang humble dan ramah harus dihajar peperangan lagi dan lagi, hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, harus melarikan diri dari negaranya sendiri. Pedih melihat perjuangan rakyat Afghan yang hanya ingin dibiarkan hidup dengan aman damai dalam tradisi dan budaya mereka, harus kocar-kacir ke seluruh penjuru dunia, bahkan sebagian mendarat di Indonesia, kehilangan jati diri dan masa depannya. Bagaimana mungkin kita bisa mencicipi langsung sup ayam sayuran di Kabul, jika rakyat Afghan sendiri bahkan tak ingin tinggal di negaranya? Bersyukurlah kita di Indonesia yang masih aman dan damai, semoga kita tetap bisa menjaganya hingga abad-abad berikutnya.
selalu penuh ide menarik kalau berkunjung blog mba endang. kayaknya perlu dicoba nih mba,tapi kalau ga ada chickpeas gantinya apa ya?
BalasHapus