Sudah lama saya bermimpi dan mengangankan hidup ala simple living. Tidak mencintai materi, tidak terikat pada materi, tidak sibuk mengumpulkan materi, hidup frugal dan self sufficiency. Mimpi ini setiap hari selalu ada dalam benak dan semakin diperparah dengan banyaknya video dengan gaya hidup 'simple living' yang saya tonton di You Tube. Saya berpikir betapa tenang dan damainya hidup jika tidak tergantung pada materi, dan betapa konsep 'kaya bukan berarti memiliki apapun tetapi berarti tidak menginginkan apapun dan puas dengan yang dimiliki saat ini' ada benarnya.
Salah satu video di TED Talk yang menginspirasi saya adalah yang menampilkan Jon Jandai. Jon adalah seorang petani dari Timur Laut Thailand. Beliau mendirikan Pun Pun Center, sebuah pertanian organik di luar Chiang Mai, bersama istrinya Peggy Reents, pada tahun 2003. Pun Pun berfungsi ganda sebagai pusat kehidupan berkelanjutan dan produksi benih, yang bertujuan untuk membawa benih asli dan langka kembali digunakan. Pun Pun secara teratur menyelenggarakan pelatihan tentang teknik sederhana untuk hidup lebih berkelanjutan. Konsep Jon Jandai sangat sederhana, baginya life is simple tapi manusia sering membuatnya begitu complicated. Kompleksitas ini tercipta karena manusia menginginkan banyak hal dan terkadang keinginan itu bukan lah kebutuhan hakiki tapi hanya semata-mata keinginan belaka.
|
Thai basil |
Beliau mencontohkan kehidupan di desanya dulu yang begitu tenang, menyenangkan dan bahagia walau hidup dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Tetapi ketika televisi datang orang-orang mulai menginginkan banyak hal seperti pergi ke kota besar untuk mengejar kesuksesan, mereka yang tinggal di desa berarti dianggap miskin. Kondisi ini sama seperti yang terjadi di negara kita dan banyak negara lainnya, masyarakat berbondong-bondong pergi ke kota mengejar materi demi kehidupan yang dianggap lebih baik, kehidupan lebih baik tersebut diasosiasikan dengan semua keinginan bisa terpenuhi. Begitu banyaknya keinginan dan desa tidak bisa mewujudkannya, karena desa hanya menawarkan kesederhanaan. Tapi tidak ada makan siang gratis dalam hidup ini, demi memenuhi semua keinginan tersebut maka manusia perkotaan harus mengorbankan banyak hal seperti hidup berdesakan, bekerja 8-10 jam sehari di dalam ruang perkantoran, bermacetan di jalanan, tinggal dalam kontrakan sempit terkadang satu kamar diisi dengan beberapa orang, hidup bersama asap polusi dan kebisingan setiap hari, dan stres pekerjaan.
Hidup yang seharusnya mudah menjadi susah, complicated dan mulailah bermunculan penyakit sosial lainnya seperti mengemis, mencopet, merampok, hingga korupsi. Semua dimulai dari nafsu untuk memenuhi keinginan yang banyak tersebut. Sedangkan nafsu serakah manusia tak akan pernah ada habisnya, bahkan seandainya seluruh isi bumi ini bisa ditelan pun akan terasa kurang. Mereka yang sudah memiliki satu mobil ingin dua agar nomor pelat mobil berbeda demi mengakali sistem ganjil genap. Mereka yang sudah punya rumah satu ingin lima, katanya demi investasi dan anak cucu. Padahal kebutuhan dasar manusia hanyalah cukup pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan, tapi akan menjadi complicated jika juga memikirkan sandang, pangan, papan untuk cucu, cicit dan tujuh turunan yang belum hadir di muka bumi tetapi sudah dipikirkan dari sekarang kesejahteraannya. Padahal saat cucu cicit tersebut dilahirkan kita sudah bersatu dengan tanah di alam berbeda, saat itu kita juga tidak akan merasakan bahagia, bangga dan euforia kala cucu cicit tersebut menghabiskan harta yang susah payah kita cari semasa hidup di dunia. Nafsu serakah untuk menyelamatkan harta kekayaan tujuh turunan ini membuat korupsi, kolusi, nepotisme dan suap merajalela, terutama di negara kita.
Konsep simple living mengajarkan kita untuk hidup minimalis, gaya hidup tempo dulu, frugal dan self sufficiency. Minimalis berarti hanya memiliki benda-benda terbatas serta yang benar-benar diperlukan. Gaya hidup tempo dulu berarti menolak gaya hidup modern yang complicated dan penuh tuntutan dan hidup seperti di jaman dulu yang sederhana. Hidup frugal berarti hidup di bawah standar dari yang biasa dilakukan dan menabung uang sebanyak mungkin. Sedangkan self sufficiency berarti membuat sendiri apapun yang diperlukan dan membeli sesedikit mungkin. Gaya hidup seperti ini kini semakin populer di seluruh dunia, dimulai dari rasa muak, jenuh, lelah, dan stres dengan kehidupan kota yang penuh tuntutan, pekerjaan kantor yang menghabiskan waktu seharian dan membuat stres, serta kewajiban membayar cicilan hutang dan aneka biaya yang seakan tak akan pernah ada habisnya. Saya sendiri mulai merasakan kejenuhan tersebut, dan jiwa ini mulai berteriak untuk hidup lebih dekat dengan alam dengan gaya hidup sederhana tapi bebas stres.
Nenek saya, Mbah Wedhok, saya anggap menganut konsep simple living walau saat itu beliau hidup seperti itu bukan karena pilihan tapi karena faktor ekonomi dan keadaaan. Mbah jarang membeli apapun dalam hidupnya kecuali bahan makanan yang tidak bisa beliau buat atau tanam sendiri di sawah dan pekarangan. Aneka perkakas dan perabotan dapur terbuat dari bahan-bahan logam kuningan tahan lama yang walau dipakai ribuan kali memasak di tungku kayu tak akan pernah jebol dan rusak. Mbah juga tidak pernah membuang apapun terutama makanan dan selalu berusaha memanfaatkan apapun hasil kebun menjadi makanan. Beliau menanam ketela, kelapa, pisang, pepaya, kluwih, hingga kemangi, cabai, dan aneka sayuran di pekarangan di Paron, sementara beras, kedelai, kacang, gaplek, jagung kering, dan palawija lainnya didatangkan dari sawah beliau di Slambur, desa kelahirannya.
Saking sedemikian frugal-nya, beliau tidak pernah membeli kayu bakar, setiap hari Mbah akan mengumpulkan daun pisang dan daun kelapa kering dari kebun di belakang rumah sebagai bahan bakar. Alhasil dapur selalu penuh asap dan air minum yang direbus sendiri terasa tak keruan. Saya hampir muntah ketika pertama kali mencicipinya, tapi menjadi terbiasa ketika bertahun-tahun tinggal disana. Ayam, bebek dan menthok diternakkan di pekarangan dan setiap sore tinggal di dapur, dan jika ada kambing maka binatang berkaki empat itu pun akan tinggal bersama kami di dalam rumah. Benar-benar kehidupan yang tidak sehat tetapi beliau memiliki sumber protein hewani sendiri dari telur yang dihasilkan dan sesekali ayam atau menthok akan disembelih. Jika ada hajatan penting maka kambing akan dipotong, dan Mbah sibuk mengawetkan dagingnya untuk dibuat dendeng. Lemak kambing akan digantung di langit-langit dapur, mengering, dan disimpan bertahun-tahun lamanya dan dipakai untuk memasak sebagai pengganti minyak. Rasanya? Super mengerikan.
Jika angin kencang menghajar Paron, ini sering terjadi di wilayah Jawa Timur, maka terkadang pohon pisang roboh, padahal buahnya masih hijau dan sama sekali belum bisa dimakan. Bagi orang lain mungkin pisang-pisang tersebut akan dibuang begitu saja karena toh tidak bisa diapa-apakan, tapi tidak bagi Mbah. Pisang muda tersebut akan diolah menjadi makanan bernama gembrot, sepertinya masakan ini adalah hasil ciptaan Mbah sendiri. Gembrot terbuat dari pisang muda rebus yang ditumbuk kasar dan dicampurkan aneka bumbu seperti bawang putih, bawang merah, kencur, cabai, kemangi, dan kelapa muda parut. Adonan lantas dibungkus daun pisang dan dikukus hingga matang. Gembrot kukus dibakar di wajan tanah lihat (digarang) hingga daun pisang kering terbakar. Bagi saya, aroma gembrot sungguh menggoda dan rasanya lezat, tapi tidak ada satu pun di keluarga yang suka dengan kreasi itu yang bagi saya sungguh kebetulan, karena saya bisa menyikatnya semua. Saya bayangkan jika terjadi krisis ekonomi, resesi, pandemi atau global warming yang membuat produksi makanan terhambat, maka Mbah adalah salah satu manusia di dunia yang pasti akan survived.
Kehidupan seperti itulah yang saya bayangkan ingin saya lakukan, tentu saja dengan versi yang lebih higienis dan lebih nyaman. Betapa indahnya dunia ketika waktu berjalan lambat dan hari mengalir tenang. Bangun tidur menyiapkan secangkir kopi sambil berjalan melongok kebun yang hijau subur sarat dengan buah dan daunnya yang lezat. Telur ayam dikumpulkan dalam keranjang dan si emak ayam diberi makanan, sambil menyeruput kopi memandangi tingkah polah ayam yang menurut saya lucu mengasyikkan. Ketika matahari sedikit naik mulailah mempersiapkan sarapan pagi simple yang semua dari kebun dan ternak sendiri. Bekerja di kebun dan pekarangan hingga hari menjelang siang, memanfaatkan apapun di halaman dan kebun untuk stok bahan pangan hari-hari berikutnya. Jauh dari kebisingan, jauh dari keramaian, jauh dari stres dan tuntutan pekerjaan. Mata sejuk menatap hijaunya dedaunan dan hati adem melihat pegunungan menjulang dilatari langit biru. See, itu lah hidup yang sebenarnya.
Okeh, menuju ke resep. Saya menanam Thai basil sudah lama, dulu mati-matian menambah koleksi daun rempah aromatik ini demi masakan Thai chicken basil. Masakan ayam pedas dari Thailand ini spesifik meminta jenis Thai basil, tidak bisa digantikan dengan Italian basil atau kemangi, walau bisa tapi dikatakan tidak otentik rasanya. Saya membeli benih Thai basil dari online, perlu 3 kali saya membelinya dari 3 toko berbeda, baru akhirnya benih ada yang tumbuh. Thai basil sebagaimana kemangi, benihnya mudah kehilangan kemampuan berkecambahnya jika benih disimpan terlalu lama, jadi mendapatkan benih fresh yang masih bersama bunganya sangat disarankan, bukan benih dalam kemasan packing yang tidak jelas tanggal produksinya. Awalnya hanya 3 benih yang berkecambah, saya rawat baik-baik karena takut mati dan pupuslah harapan memasak Thai chicken. Kini, bibit tumbuh dewasa dan sekarang saya punya tanaman ini dimana-mana.
Benih Thai basil mirip kemangi, menyebar dan menempel di berbagai media, dan tumbuh, dan besar, dan mengganggu tanaman lain, dan akhirnya saya babat dan ceburkan ke pot kompos. Sekarang hanya beberapa pohon saja saya pertahankan dan berusaha diremajakan setiap waktu. Sebenarnya sekali tumbuh dewasa maka Thai basil sangat kuat, die hard dan tahan banting, jauh lebih kuat dibandingkan kemangi dan jenis basil lainnya. Bahkan pohon dewasanya yang sudah tua tetap tumbuh walau jarang disiram, dan saya letakan di lokasi kurang sinar matahari. Daunnya beraroma agak langu, tidak seharum kemangi, dan lama-lama menurut saya menjadi memuakkan. Dulu saya sering ceburkan daun ini ke aneka masakan tumisan, sup atau salad selayaknya kemangi, tapi kini saya stop karena eneg dengan aroma dan rasanya. Tapi untungnya daun ini terasa lezat di masakan Thai chicken, walau diganti dengan kemangi menurut saya lebih enak. 😉
Cuss ke resep ya.
Thai Chicken Basil
Resep modifikasi sendiri
Untuk 8 porsi
Bahan:
- 500 gram fillet dada dan paha ayam, cincang kasar
- 1 genggam daun Thai basil, bisa diganti kemangi, rajang kasar
- 200 ml kaldu ayam/air biasa
Bumbu:
- 2 sendok makan minyak untuk menumis
- 4 siung bawang putih, cincang halus
- 6 siung bawang merah, cincang halus
- 4 buah cabai merah keriting, rajang halus
- 8 buah cabai rawit merah, rajang halus
Bumbu saus, aduk jadi satu:
- 3 sendok makan soy sauce
- 1 sendok makan saus tiram
- 1/2 sendok makan gula pasir
- 1/2 sendok makan gula palem bubuk
- 1/2 sendok teh garam
- 1 sendok teh kaldu jamur
- 1 sendok makan kecap ikan/fish sauce
- 1 sendok makan kecap manis, jika warna masakan kurang gelap
Cara membuat:
Panaskan 2 sendok makan minyak di wajan, masukkan ayam cincang, aduk dan tumis hingga air ayam habis dan warna ayam berubah agak kecoklatan. Ayam akan mengluarkan air yang banyak, lanjutkan menumis hingga air habis dan ayam mengeluarkan minyak.
Masukkan bawang putih dan bawang merah cincang, aduk dan tumis hingga harum dan matang. Tuangkan saus, aduk rata. Masukkan cabai, aduk dan tumis 1 menit.
Tuangkan air kaldu, aduk dan masak hingga mendidih.
Masukkan rajangan daun thai basil, aduk dan masak hingga daun layu. Cicipi rasanya, sesuaikan asin manisnya. Angkat, sajikan dengan nasi hangat.
Semangat hidup Mba! Tentang eneg dengan daun thai basil jadi ingat kalau saya jadi eneg dengan daun ketumbar. Pernah bela-belain untuk bikin tom yum beli dulu daunnya...dan akhirnya saya eneg dan anti daun ketumbar hingga sekarang. Hha... >.<
BalasHapusbencana banjir yang sering kita dengar saat ini emang karena keserakahan manusia...
BalasHapusHai Mba Endang, saya follower mba di IG lho. Udah coba banyak resep mba termasuk yang di buku. Saya juga suka kehidupan pedesaan. Mungkin karena masa kecil dulu tinggal di desa. Sekarang saya suka lihat channel di satu platfrom. Keywords nya, Sikkim village life. Kalau mau masak, tinggal metik aja gitu di halaman. Minum susu, ke kandang sapi dulu meres. Ga ada drama panic buying seperti waktu awal pandemi taun lalu :)
BalasHapusSemoga kita selalu diberi kesehatan. Aamiin.
Toss mba Endang, aku pun pengen banget hidup simple seperti itu, rasanya udah jenuh dgn gaya hidup di perkotaan yg complicated dan hedonis😊
BalasHapusSaya juga mempunyai keinginan yang sama..semoga diberikan jalan sama Allah y mba..aamiinn..
BalasHapusSenengnya baca blog mbak Endang selalu ada cerita yang berbobot sebelum membahas resep
BalasHapusTerimakasih sharring dan resep2nya mbak
Setiap nyoba resep mbak Endang pasti disukai keluarga
Senengnya baca blog mbak Endang selalu ada cerita berbobot sebelum masuk ke resep
BalasHapusTerimakasih sharring dan resep2nya mbak
Kalo nyobain resep mbak Endang pasti disukai keluarga
Mbak Endang, kebetulan saat saya masih kecil tinggal dengan mbah. Seperti mbak Endang saya juga pernah makan gembrot, sepertinya mbah-mbah jaman dulu memang suka memanfaatkan hasil kebun yang ada
BalasHapussetuju mbak, sama seperti bayangan saya di masa tua nanti
BalasHapusPersis yg dilakukan keluarga kakakku. Dia dulu tinggal di BSD, kerja di Karawang. Habis subuhan harus berangkat, sampai rumah jam 9-10 malam. Kebetulan ada Covid itu, akhirnya pilih pensiun dini. Sekarang bikin rumah di sawah pinggir desaku. Sekarang kerjanya urus sawah, piara ayam, tanem pisang, Katanya lebih enjoy, dulu tiap akhir bulan pusing hadepin deadline kerjaan.
BalasHapus