Jika satu saat saya mendapatkan kesempatan untuk memelihara hewan di rumah, maka ayam, kelinci, bahkan kambing masuk ke dalam list untuk itu. Bukan kucing. Definitely, bukan kucing. Saya akui, saya bukan pecinta kucing. Bahkan seandainya suatu saat jiwa ini terketuk untuk memelihara pet, maka anjing atau ikan koi akan lebih dipertimbangkan. Tapi kucing dan hobi gardening yang saya sukai sepertinya susah untuk dipertemukan. Jadi ketika dulu rekan kantor saya, Mbak Fina, yang punya 10 ekor kucing di rumahnya sibuk bercerita tentang pet peliharaannya yang dia sebut 'My Pucy', dengan nada penuh sayang dan compassion, saya hanya nyengir kuda. Ketika dia menunjukkan foto salah satu kucingnya di hand-phone sambil berkata, "Ini si Ganteng, Ndang. Cakep kan? Ini paling ganteng dari semua kucing gue." Saya sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal ini, berusaha keras untuk mengerti, dari sudut sebelah mana kucing kampung abu-abu loreng bertubuh tinggi langsing ini disebut ganteng. Lucu, mungkin. Lucu adalah kata yang umum kita sematkan jika berbicara tentang kucing. Kucing lucu pun dalam benak saya haruslah berbulu tebal, gendut, bermuka bulat dengan hidung agak sedikit pesek, plus ekor tebal seperti sikat botol. Hm, jenis kucing British Shorthair bernama Coconut yang video You Tubenya sering sekali saya tonton.
Sepanjang sejarah yang berhubungan dengan perkucingan yang pernah saya alami, dulu ketika saya masih tinggal di Paron, seringkali kucing kampung nyasar di rumah. Jenis kucing tabby yang umum dipelihara orang. Warnanya pun paling umum, yaitu abu-abu loreng (tabby mackerel), bukan kembang telon atau calico aneka warna. Awalnya hanya diberi makan sekali, dua kali, lama-lama si kucing jadi betah dan stay. Di dalam keluarga, hanya adik saya, Wiwin, Tedy dan Dimas yang suka kucing, saya sendiri tidak terlalu peduli. Mereka inilah yang sibuk setiap hari 'menguyel-uyel' si kucing, memberikan makanan dan menamainya. Ada satu nama yang diberikan Tedy, yang sampai sekarang saya masih ingat saking uniknya yaitu Kol Dedek. Entah apa maksud nama itu. Si kucing yang tadinya penurut dan tidak berulah, makin lama makin confidence dan akhirnya mulai menggerayah meja dapur berisi lauk pauk. Ketika sepiring ikan bandeng lenyap disikat si meong, Ibu saya mulai mengomel-ngomel panjang kali lebar, dan alm. Bapak saya beraksi dengan sebuah karung dan sepeda motor. Si kucing masuk ke dalam karung dan dibuang di stasiun yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah. Tangisan Wiwin dan Tedy, tak mempan untuk membuat si kucing dipertahankan karena bagi keluarga miskin seperti kami, sepiring ikan bandeng lebih berharga dari pada seekor kucing peliharaan.
Pada akhirnya dalam sejarah, kami tak pernah punya kucing sebagai hewan peliharaan di rumah, karena jika ada, si kucing akan berakhir di dalam karung dan dibuang ke antah berantah yang hanya Bapak saya dan Tuhan yang tahu, bahkan si kucing pun tak tahu ada dimana dia saat itu. Kejadian ini berulang entah sudah berapa puluh kali, hingga kami besar, dewasa, dan akhirnya keluar dari rumah menuntut ilmu dan bekerja di kota lain. Tapi dari pengalaman itu, satu yang membekas dalam hati saya, memiliki hewan peliharaan hanya berujung rasa sedih, karena suatu saat harus siap jika berpisah dengannya. Seperti halnya ketika Mbah Wedhok memberikan seekor anak ayam yang saya beri nama Blirik dan sayangi setengah mati. Saya pelihara dengan penuh cinta dari anak ayam itu sebesar telur ayam negeri hingga tumbuh seukuran genggaman tangan orang dewasa. Ketika dipanggil namanya, dia bahkan tahu dan lari mendekat. Satu hari, hujan deras super deras menghajar Paron, diikuti dengan angin kencang dan selokan di samping rumah berubah menjadi sungai kecil yang berarus kuat. Blirik lenyap hari itu, tak kembali. Saya mencarinya sepanjang jalan raya Paron, memanggil namanya dalam remang senja. Malam itu saya menangis kehilangan Blirik dan sakitnya masih terasa hingga kini. Sejak itu saya tak pernah berminat punya pet.
Walau saya tidak mencintai kucing, bukan berarti tidak suka melihat aneka video mengenai hewan ini di You Tube. Ada banyak video tingkah laku konyol anjing dan kucing disana, dan saya suka ngakak-ngakak sendiri melihatnya. Video rescue cat and dog juga menjadi favorit saya, ada rasa takjub melihat seekor anjing atau kucing kurus, dekil, miserable menjelma menjadi sehat, gemuk, dan lucu hanya dengan sedikit kasih sayang dan perawatan. Jadi ketika saya berkunjung ke rumah adik saya, Wiwin, dan menemukan dia memelihara seekor anak kucing bernama Macron, saya ikut happy melihatnya. Di komplek perumahan adik saya, ada beberapa kucing betina dan jantan yang betah berdiam di seputaran jalan di depan rumahnya. Wiwin menyediakan makanan kucing kering di dalam kaleng. Setiap pagi atau sore hari dia akan mengguncang-guncangkan kaleng tersebut di depan rumahnya, kucing-kucing akan berdatangan mendekat meminta makanan.
Ada satu kucing betina bernama Lusi, tubuhnya kerdil, kecil dan sangat liar. Walaupun setiap hari diberi makanan, Lusi tetap mendesis jika kita terlalu mendekat dan sama sekali tidak bisa dielus kepalanya. Lusi tidak pernah sukses membesarkan anak-anaknya, beberapa kali dia melahirkan bayi dan semua berakhir mati. Satu hari tiba-tiba Lusi menggendong bayinya dan meletakkannya di depan pintu rumah Wiwin. Adik saya cukup takjub melihat Lusi mempercayakan anak semata wayangnya. Waktu itu Macron baru saja dilahirkan beberapa hari, masih sangat lemah dan membutuhkan susu induknya. Wiwin menyediakan sebuah box kardus berisi handuk bekas dan meminumkan susu cair ke bayi kucing ini setiap hari menggunakan sendok hingga si kitten tumbuh besar dan bisa mandiri.
Semua hal di atas tidak lantas membuat saya ingin memelihara kucing. Saya paling anti dengan keribetan dan kerepotan, dan memelihara kucing berarti menceburkan diri dalam kerepotan dan keruwetan itu. Saya bayangkan betapa susahnya hendak kemana-mana meninggalkan rumah dalam kurun waktu tertentu jika ada peliharaan. Bahkan tanaman sayuran di halaman saja kadang membuat saya berpikir dua kali jika hendak terbang beberapa hari ke Batam, apalagi kucing. Jadi ketika bulan November lalu selama tiga malam saya mendengar suara tangisan anak kucing yang begitu memelas di depan rumah, saya hanya tutup kepala ini dengan bantal dan kembali tidur. Prinsip saya, selama mata ini tidak melihat langsung maka semua akan baik-baik saja. Apalagi kucing kampung sangat banyak di jalanan di kompleks perumahan saya tinggal, jadi kejadian anak kucing kehilangan induk atau induk kucing kehilangan anak adalah hal biasa. Saya yakin dalam beberapa hari ke depan si anak kucing akan bertemu dengan emaknya. Atau jika skenario itu tidak terjadi maka akan ada orang berhati mulia yang kasihan dengan si kucing dan menolongnya. Itu pikiran simple saya, karena tak mau diribetkan dengan masalah perkucingan yang tampaknya semakin hari semakin semrawut di kota besar seperti Jakarta.
Tapi sepertinya, semua tetangga saya berpikiran sama, berharap ada tetangga lain yang mau hidupnya direpotkan dengan kucing. Jadi keesokan harinya saya pun masih mendengar si kitten menangis, dari suara nyaring berubah menjadi serak, menjadi gemetar dan kemudian hanya terdengar sayup-sayup lemah. Ketika hari berikutnya saya pulang kantor, saat hendak membuka gerbang pagar rumah yang memang tobat susahnya, saya mendengar tangisan si kucing kecil itu kembali, kali ini tepat di belakang badan saya. Saya menoleh dan melihat seekor kucing kampung kecil, berwarna abu-abu tak jelas, dekil, kurus kering, gemetar, super miserable alias memelas buanget berdiri di pintu bak sampah rumah tetangga depan. Kucing itu menatap langsung ke saya, dari bibirnya yang gemetar keluar suara meongan sedih yang serak. Tubuhnya bergetar mungkin kedinginan dan kelaparan apalagi selama beberapa hari itu hujan super deras mengguyur Jakarta. Saya kasihan melihatnya, makhluk kecil tak berdaya yang ditinggal induk kurang ajar tak bertanggungjawab, tapi rasa enggan direpotkan dengan seekor kucing lebih meraja. Setelah menguatkan hati saya lanjutkan masuk ke rumah, menutup gerbang dan kembali tak peduli. Akan ada orang berhati mulia yang menolongnya, dan orang itu bukan saya. Semua akan baik-baik saja.
Di dalam rumah, hati saya berkecamuk dengan rasa galau mempertimbangkan apakah saya harus menolong si anak kucing ataukah membiarkannya bertemu dengan takdirnya sendiri. Membayangkan betapa menderitanya si kucing tanpa seorang pun peduli bahkan tak ada kucing lain yang care, membuat saya merasa bersalah. Akhirnya saya buka pintu gerbang kembali dan saya panggil si kitten dari tepian jalan di depan rumah, "Hai pucy, pucy cat," tak diduga si kucing kecil itu jalan sempoyongan mendekat, menyeberang jalanan yang mungkin terasa bak lautan luas baginya. Bahkan si kucing nekat tetap berjalan walau sebuah truk ekspedisi datang mendekat. Keempat kakinya bergerak pelan, susah payah tapi tekadnya kuat untuk mendatangi saya. Si truk bahkan berhenti dan supirnya melongok melihat saya memanggil-manggil si kucing agar cepat menyeberang.
Saya giring dia ke teras tanpa menyentuhnya sama sekali karena kucing itu terlihat begitu dekil, kotor, dan bau. Saat itu saya baru sadar jika tak memiliki makanan kucing apapun di rumah, akhirnya saya telpon adik saya, Wiwin, yang berpengalaman dengan anak kucing. Instruksinya adalah, "Kasih serpihan ikan kembung goreng. Kucing suka ikan." Saya lari ke dapur membuka freezer dan menceburkan seekor kembung beku di wajan. Dalam lima menit kembung matang dan serpihan dagingnya saya kipas dengan selembar koran agar cepat dingin. Saya tidak memiliki susu cair biasa tapi selalu ada susu evaporated, jadi saya ambil sesendok dan dekatkan ke mulutnya, diluar dugaan si kitten mau menghirup susu kental itu. Dia tidak terlalu banyak makan, tapi itu lebih baik daripada perutnya benar-benar kosong. Ketika saya merasa dia sudah cukup tenang, saya giring kembali si kucing keluar pagar. Pikir saya, besok akan saya belikan makanan kucing kering dan letakkan di depan pagar, saya tak berminat memelihara atau mengadopsinya.
Si anak kucing mengeong ketakutan ketika pagar saya tutup kembali, dia tidak berlalu dari depan pagar, berdiri disana sambil menangis. Tapi saya tekadkan hati tak akan luluh. Jadi pagar saya kunci kembali dan masuk ke rumah. Walau tubuhnya kecil tapi dia tidak akan bisa menerobos bawah pagar, karena semua lubang tertutup kawat loket. Pagar saya memang rapat bagaikan Fort Knox, untuk menghalau segala macam hewan masuk yang mengganggu sayuran di halaman. Saya habiskan waktu dengan mandi, mencuci beberapa perabotan kotor di dapur, mungkin sekitar 30 menitan saya berkutat di dalam rumah hingga terdengar suara meongan yang agak histeris seakan kesakitan. Saya tergopoh-gopoh ke teras depan, dan menemukan kucing kecil itu sudah ada di depan pintu rumah. Terhenyak, tak percaya, saya berjalan ke pagar dan berusaha mengerti bagaimana mungkin kucing kecil lemah ini bisa masuk, jadi saya buka kembali pagar dan saya keluarkan si kitten. Saya berdiri di baliknya melihat perjuangan dia menerobos kawat loket. Antar kedua pintu pagar memang ada celah agak renggang yang saya tutup potongan kawat, jika kucing dewasa maka dia tak akan bisa menerobos celah itu, tapi kucing kecil seukuran kepalan tangan ini ternyata bisa masuk dengan susah payah menerobos tepian kawat yang tajam. Potongan-potongan kawat itulah yang menggores punggungnya dan membuatnya menjerit.
Tak tega melihatnya berusaha masuk kembali dengan sisa-sisa tenaga yang saya yakin sudah tidak ada, hanya tekad kuat yang membuatnya tetap berjuang, saya buka kembali pagar dan masukkan si kitten ke teras. Saya hela nafas dalam-dalam sambil pandangi makhluk kecil dekil kurus yang berusaha menempelkan badannya di kaki saya, dia tidak mengeong hanya berdiri gemetar sambil sesekali menengadahkan kepalanya memandang saya. Tatapan mata besarnya yang penuh kegalauan seakan berkata, "Mommy?" Gawat, sepertinya dia sudah memutuskan untuk mengadopsi saya sebagai emaknya! Akhirnya saya hanya bisa berkata, "Ok Cat, gue kagum dengan perjuangan lu berusaha bertahan hidup. Kalau ini memang takdir, maka gue ditakdirkan buat bantu lu supaya bisa sehat dan tumbuh. Tapi bukan berarti gue adopsi elu ya. Gue cuman bantu sebagai sesama makhluk hidup," saya berkata kencang-kencang dihadapannya, dan dia hanya memandang saya dengan muka sedih.
Saya ambil sebuah kardus besar bekas sayuran online, sebuah bak plastik tanaman yang belum terpakai, dan sehelai daster tua. Saya lubangi salah satu sisi kardus sebagai pintu jalan keluar si kucing, kardus saya telungkupkan sehingga menutup bak plastik berisi daster yang dilipat. Saya letakkan semangkuk air bersih, semangkuk susu cair, dan semangkuk serpihan ikan goreng di dekatnya. Di luar dugaan, si kitten berjalan masuk ke dalam rumah barunya, dan berbaring disana. Saya yakin dia lelah secara fisik dan emosi, dan baru sekarang bisa istirahat dengan nyaman dan aman. Hujan turun deras malam itu, suhu begitu dingin, tapi malam itu si kucing kecil melewati malam terbaiknya setelah berhari-hari di tepian jalan dalam deras hujan dan ketidakpastian. Sementara saya berbaring di kasur empuk, mata terbelalak, sambil otak berpikir keras apa yang harus dilakukan keesokan harinya karena ini adalah kucing pertama yang pernah saya rescue. Semua seakan gelap gulita.
Nantikan cerita saya selanjutnya di next post ya.
sukaaaaa....sukaaaa....
BalasHapusmberebes mili bacanya..
ditunggu part 2nya mba Endang..
Salam sayang buat si kitten
Masya Allah... kangen ama cerita2 Mba Endang. Semoga mba dan pucy cat nya bahagia terus yaaa....
BalasHapussetia menunggu cerita selanjutnyaaa..sehat2 buat pucy cat dan mbak Endang yang baik hatinya
BalasHapusTerima kasih banyak mba endang, aku bacanya sampai nangis terharu ��. Ditunggu kelanjutan cerita kucingnya mba ❤️
BalasHapus- dina
Mba Endang berbakat jadi penulis novel.. ^_^
BalasHapusWelcome to cat motherhood mba. Pgalaman saya dgn anabul adalah spanjang hidup saya hehehehe. Sempat berhenti krn terkena toxsoplasma tp entah anabul2 ini terus berdatangan. Saya menyayangi mereka spt anak sdr...entah lah spt mereka tau klo saya lemah hati pada mereka dan membalas cinta saya
BalasHapusmana lanjutannya mb aq mnunggu crita slanjutnya hihihi
BalasHapusMbak Endang, makasih ya udah ngeluangin waktu nulis khusus seperti ini. Tanpa ribet harus insert step by step resep masakan :)
BalasHapusDitunggu tulisan2 lainnya. Dan kalau ada rencana punya blog baru khusus buat tulisan2, dikabarin ke pembaca ya mbak biar bisa langsung meluncur ke blog barunya :)
Oke... Di tunggu ya kisah berikutnya...
BalasHapus