Semua orang punya jiwa keibuan yang lembut dan nurturing, atau
jiwa kebapakan yang maskulin dan melindungi. Kombinasi keduanya di dalam diri
kita akan saling melengkapi dan mengisi satu sama lain, yang membedakan hanyalah
kadarnya. ~ Me
Saya suka merawat tanaman. Ada kepuasan tersendiri memperhatikan mereka tumbuh, berkembang dan menjadi dewasa. Ada kebahagiaan di dada ini kala menyaksikan semua susah payah itu terbayarkan di ujung. Ada kebanggaan, bahwa seorang manusia biasa seperti saya, bisa menumbuhkan sayuran atau tumbuhan lainnya. Bukan hanya sekedar tumbuh, tapi subur dan lezat dipandang mata. Saya lebih menikmati setiap proses dan step-nya, dibandingkan memetik hasilnya kala panen. Tetapi tanaman tentunya berbeda dengan hewan, untuk yang satu ini saya hanya memiliki pengalaman yang sangat minim.
Dalam puluhan tahun kehidupan saya, hanya beberapa kali saja keluarga saya memelihara hewan peliharaan. Pertama adalah burung dara yang dibawa seorang sepupu dari desa nun jauh. Sepasang burung dara itu kemudian berkembang cepat menjadi puluhan ekor. Lambat laun, burung-burung ini lenyap satu persatu. Ada yang sakit, hilang tak jelas rimbanya, atau dimakan kucing. Penyebab terakhir yang paling banyak terjadi. Hewan peliharaan kedua adalah kelinci. Seorang tetangga di Paron memiliki banyak kelinci yang disukai bocah seperti kami. Akhirnya Ibu setuju memeliharanya di dapur, di dalam sebuah kandang berukuran 1 x 1 meter dan berisikan sekitar 4 ekor kelinci. Tak pernah terkena sinar matahari, tak pernah menginjak tanah, tak pernah hidup bebas, sementara pemiliknya tak mengerti cara memeliharanya. Waktu itu belum ada internet, sehigga informasi susah didapatkan. Kelinci-kelinci ini lantas terkena penyakit jamur di ujung telinga dan hidungnya, sebagian mati, sebagian disembelih menjadi lauk hari itu.
Jadi ketika seekor kucing kecil hadir dalam hidup saya, seorang single yang hidup sendirian di sebuah rumah besar, bersama halaman yang penuh dengan tanaman sayur, tidak pernah terbebani dengan apapun, dan tidak memiliki pengalaman mumpuni tentang cara merawat hewan peliharaan apalagi kucing, maka kepala ini pusing tujuh keliling. Si kitten, bernama Pucy, akhirnya saya terima dengan ikhlas tinggal di teras rumah, di dalam sebuah kotak kardus beralaskan daster tua. Tanpa persiapan apapun, dan tanpa ada kepedulian dengan kucing. Saya berencana membiarkan dia hidup di teras hingga tubuhnya kuat dan mampu mandiri. Ketika saatnya si kucing hendak pergi, hidup lepas bebas di jalanan, maka saya tak akan menghalanginya. Itu rencana saya. Dulu.
Tak pernah terpikirkan dalam kepala saya, jika Tuhan berencana lain, dan rencanaNya jauh melenceng dari plan manusia lemah ini. Tak pernah terpikirkan, jika jiwa nurturing saya yang suka merawat apapun, termasuk seekor anak kucing yang lemah dan sakit-sakitan akan meluap luber. Tak pernah terbersit dalam benak jika kemudian ribuan jam saya lalui untuk menonton ratusan video kucing, dan membaca segambreng literatur tentang hewan ini. Tak terbayangkan jika kemudian saya merasa menjadi sedikit tahu tentang kucing dan jatuh cinta setengah mati pada mereka. Well, untuk menuju ke ujung memang harus dimulai dari pangkal bukan?
Ketika pulang dari kantor, kucing kecil ini terlihat menunggu di luar gerbang dan langsung lari masuk menyelusup dari bawah pagar saat melihat saya datang bak jendral dari ujung jalan Pete (btw, ini dibaca pete ya, temannya jengkol dan sayuran lainnya, karena jalanan di seputar komplek perumahan ini memang diberi nama sayur-sayuran). Ada terbersit kelegaan atau niat jahat dalam hati, berharap Pucy lebih suka di jalan bersama kucing-kucing lainnya yang berkeliaran di depan rumah. Saya ingin agar beban ini segera lepas dari pundak dan kembali hidup bebas tanpa tanggung-jawab. Tapi itu tak pernah terjadi! Pucy selalu kembali dan kembali masuk ke halaman setiap kali saya pulang. Dan ketika saya masuk ke dalam rumah, dia akan bersembunyi bawah kolong rak di teras. Mendekam di sana, tak terlihat, dan tak mau memperlihatkan diri.
Setelah beberapa hari hidup bersama Pucy, saya jadi tahu jika kucing ini sangat picky dengan makanan. Dia tidak suka ikan kembung goreng, atau kukus, tidak suka makanan kucing murah merk Bold yang saya sajikan di mangkuk, tidak suka makanan kucing basah dalam pouch merk Whiskas, LifeCat, atau Me0. Setiap hari, sebelum pagi berangkat ke kantor, saya letakkan beraneka ragam makanan ini di dalam piring-piring kecil, berharap style ala warung Padang ini akan menarik minatnya. Berharap selama seharian saya di kantor, si kecil ini akan menghabiskan semua makanan tersebut, menjadi gendut dan sehat! Gampang kan? Merawat kucing toh tidak susah, ada jutaan kucing di jalanan yang hidupnya baik-baik saja tanpa ada perhatian khusus. Itu yang ada dalam benak saya waktu itu. Jadi betapa stress-nya saya kala setiap hari pulang dari kantor di jam setengah enam, menemukan semua (semua!) makanan yang saya hamparkan tak disentuh sedikit pun. Hanya beberapa butir Bold hilang dari mangkuk, selebihnya semua utuh. Sungguh, saya dibuat pusing dan speechless!
Selesai mandi sore, biasanya saya akan sibuk beredar mengecek pot-pot tanaman. Melakukan kegiatan gardening malam hari adalah hal biasa karena bagi gardener maniak macam saya, semua waktu tepat untuk berkebun. Tapi sejak si Pucy ini mendekam di halaman, terpaksa saya meluangkan sedikit perhatian untuknya. Ketika dipanggil namanya, kepala mungilnya akan nongol dari kolong rak, dan mata memelasnya menatap penuh memelas yang membuat hati saya menjadi super melas! Sungguh, Pucy adalah anak kucing paling miserable yang pernah saya lihat. Dalam bayangan saya, seekor anak kucing adalah hewan yang aktif, lincah bergerak kesana-kemari, tak akan pernah bisa diam. Tapi Pucy sama sekali tidak bersikap selayaknya anak kucing normal. Selain bulunya yang kucel dan acak-acakan, bulu di ujung hidung dan di jari-jari kakinya pun rontok. Tubuhnya lesu, gerakannya lamban tertatih-tatih, dia juga tidak mengeong sedikit pun. Tak pernah saya mendengar dia bersuara sejak di-rescue dari jalan. “Hey Pucy, kamu ini kenapa sih? Kamu itu super memelas,” kalimat itu selalu saya ucapkan ketika sore hari kami bersua. Dia hanya menatap saya dengan mata besarnya, mata yang penuh dengan kesedihan. Saat itu, saya sama sekali tak tahu ciri-ciri kucing sakit, atau kucing yang demam. Saya berpikir, dia masih stres dengan lingkungan barunya, dan perlu beradaptasi dengan saya.
Seminggu berlalu, Pucy tak kunjung menampakkan perubahan fisik, justru kondisinya semakin lemah. Satu sore, saya menemukan tak ada makanan yang berkurang sama sekali di jajaran piring ala warung Padang itu, hingga saya panik dan tergopoh-gopoh memesan KFC melalui GoFood. Chicken fillet goreng datang tiga puluh menit kemudian. Betapa happy-nya saya kala Pucy menyantap suwiran daging ayam berbumbu dengan lahap, bahkan menghabiskan satu potong besar sendiri. Saya sudah mengkalkulasi dalam otak berapa biaya yang harus saya bakar jika chicken fillet ini akan menjadi makanan favoritnya in the future. Tapi kalau dia suka, saya rela berkorban makan berlauk tempe setiap hari asalkan Pucy bisa tumbuh gendut. Ketika saya merasa dia sudah puas dan kenyang, saya tinggal sendirian di teras untuk mandi dan berbenah di dalam. Sekitar pukul tujuh ketika kembali ke teras, betapa terperanjatnya saya melihat muntahan chicken fillet menumpuk di lantai teras. Semua potongan ayam yang dimakan dikeluarkannya kembali, utuh tanpa dicerna sedikitpun. Saat itu lah saya merasa panik. Kucing ini sakit! Signal itu baru masuk dalam otak lemot ini setelah Pucy tinggal seminggu bersama saya.
Googling sana sini, saya menemukan seorang dokter hewan yang tidak terlalu jauh kliniknya dari rumah. Hanya 10 menit saja menaiki bajaj yang banyak bersliweran di jalan Pete. Esok harinya, kebetulan hari Sabtu, saya masukkan Pucy ke dalam tas kucing plastik yang dibeli seharga 50 ribu di ol-shop. Saya datang sepagi mungkin agar bisa mendapatkan nomor antrian awal, karena menurut review di Google, Vet ini sangat ramai dan antrinya lama. Kami hanya perlu menunggu sekitar 30 menit saja untuk bertemu dengan dokter yang berusia sekitar awal 60-an. Beliau sangat ramah dan terlihat tulus menyukai hewan. “Ada apa ini? Siapa namanya?” Pertanyaannya ini membuat saya lumayan gelagapan menjawabnya. Pertama, saya sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan Pucy, yang kedua sepertinya nama Pucy kurang oke juga menjadi nama seekor kucing. Dokter kemudian menyentuh si kitten dan langsung berkomentar, “Suhunya tinggi Bu, demam ini kucingnya. Makanya lesu,” Saya lantas bercerita jika kucing ini baru saja di-rescue seminggu yang lalu, dan menceritakan kronologis semuanya, mulai dari dia tak suka makan, tak mau makan, hingga muntah.
“Lucu wajahnya Bu, cakep ini kucingnya. Diadopsi saja nggak pa-pa, bisa jadi berkah buat Ibu dan kucingnya juga,” kata Pak Dokter sambil memasangkan selang infus di kaki Pucy supaya demamnya cepat turun. Saya hanya mengiyakan saja sambil menonton semua prosesnya, hati saya mulai dirambati perasaan cemas, cemas jika Pucy tidak bisa melewati semua ini dan tewas. Saya akan menjadi tertuduh utama karena kurang responsif dengan kondisinya. Proses semuanya tidak memakan waktu lama, tiga puluh menit kemudian dokter mengeluarkan obat penurun demam, vitamin, dan spuit kecil dari laci, “Diberikan tiga kali sehari ya Bu untuk obatnya, vitaminnya sehari dua kali saja. Tahu cara meminumkan obat melalui spuit?” Tanyanya yang langsung saya balas dengan gelengan kuat-kuat. Tobat, gimana cara memasukkan obat ke mulut kucing? Taringnya saja sudah membuat saya gemetaran. “Gampang Bu, kucingnya juga nurut kok ini. Tarik sedikit tengkuknya supaya kepalanya menengadah ke atas, masukkan spuit dari samping. Gampang kan?” Jelas dokter sambil mempraktekkan semuanya. Saya hanya ho-oh tak percaya diri menanggapinya, membayangkan ketika semua itu harus dilakukan sendiri pasti tak akan segampang itu saudara-saudara.
“Demamnya sudah turun Bu, tuh lihat sudah aktif lagi kan. Dua,
tiga hari sudah normal ini. Semoga nafsu makannya bisa meningkat dan cepat
gendut. Namanya siapa tadi ya?” Tanya Pak Dokter sambil membuka sebuah buku saku
kecil yang memang diberikan ke setiap pemilik hewan peliharaan yang datang ke klinik. “Chichi,
dokter.” Sejak hari itulah, Pucy si kucing kecil berubah namanya menjadi
Chichi, semata-mata karena kucing ini sudah terbiasa dengan nama Pucy, dan tahu
jika dipanggil Pucy. Menggantinya dengan Chichi sepertinya jauh lebih logis
dibandingkan dengan Samson atau Bruno. Hari itu saya belajar banyak hal, seperti
mengenali tanda-tanda kucing sakit, tahu jika kucing demam dari suhu tubuhnya
yang lebih tinggi dibandingkan biasanya, tahu bagaimana cara membawa kucing ke
Vet, dan tahu jika biaya pengobatan hewan di Vet lebih mahal dibandingkan jika
saya pergi ke klinik manusia.
Sejak itu, saya belajar menggunakan spuit, mulai dari cairan obat 'muncrat' dan membasahi muka imut berbulunya, hingga saya menjadi ahli dengan cepat. Jika dilakukan dengan penuh confidence maka si kucing akan mengerti dan enggan melawan. Sejak dibawa ke Vet dan rutin mengkonsumsi obat dan vitamin, kondisi Chichi membaik dengan cepat. Dia berubah dalam sekejap dari kitten yang lesu dan bosan hidup menjadi kitten yang aktif dan semangat untuk hidup. Saya baru menyadari, ternyata semua kitten sama tingkahnya, selama kondisinya sehat. Jadi sebenarnya sejak saya rescue dari jalan hingga seminggu di rumah, Chichi dalam kondisi sakit, demam, dan perlu diobati. Tepok jidat!
Untuk urusan makan, Chichi masih sama, picky. Saya stop semua wet food berbagai merk yang pernah dibeli dan ganti dengan ayam cincang atau daging sapi cincang yang dimasak sendiri. So far, dia suka dada ayam giling yang dibentuk seperti nugget dan dikukus. Chichi masih mau sesekali diberi daging sapi lokal dari pasar, tentu saja setelah dicincang dengan chopper dan ditumis tanpa minyak. Saya tidak pernah memberikan raw food kepadanya. Saya juga mulai aktif membaca literatur tentang kucing, banyak artikel dari luar mengulas panjang lebar dengan informasi yang lebih terpercaya dibandingkan lokal. Dari berbagai artikel itu saya jadi tahu mengapa kucing tidak suka minum, dan mengapa penyakit gagal ginjal menjadi momok dan pembunuh nomor satu pada kucing peliharaan.
Kalau menelusuri sejarah nenek moyang kucing yang berasal dari daerah gurun, wajar jika kucing tidak terlalu suka minum, karena beradaptasi dengan kondisi lingkungan dia hidup saat itu. Kucing liar mendapatkan cairan bagi tubuhnya dari hewan buruan yang berhasil ditangkap. Permasalahannya adalah, kucing rumahan tidak berburu dan tidak menyantap daging mentah, kebanyakan bahkan diberi makan full dry food yang praktis bagi pemiliknya tetapi tidak sehat untuk kucing dalam jangka panjang jika tidak diimbangi dengan minum yang banyak. Garam juga fatal buat kucing karena garam membuat fungsi ginjalnya terganggu jadi saya tidak pernah memasukkan garam ke dalam makanan homemade yang saya buat untuk kucing. Saya perhatikan, banyak kucing jalanan atau kucing rumahan diberi makan ikan cue atau ikan pindang kukus yang tinggi garam, padahal makanan ini lambat laun akan membunuh kucing-kucing tersebut. Vet di klinik Amore di Kemang yang pernah saya kunjungi bercerita, kebanyakan pasien kucing mereka tidak tertolong nyawanya karena gagal ginjal kronis, setelah ditelusuri diet si kucing adalah melulu ikan cue.
Hampir dua bulan Chichi saya pelihara, bulunya berangsur mengkilap dan terasa lembut ketika disentuh. Perutnya gembul dan badannya berisi. Setiap malam sepulang kantor, saya akan mengajaknya bermain di teras, anak ini super clingy dan selalu menempelkan badannya di kaki. Ketika mengantuk, Chichi akan merangkak naik ke pangkuan saya dan tidur nyenyak disitu. Kami hidup berdua di rumah ini, melakukan aktifitas bersama, hanya pada malam hari kala waktunya tidur, saya akan mengucapkan goodbye dan masuk ke dalam rumah meninggalkan Chichi yang berdiri di depan pintu dengan tatapan sedih. Dia ingin masuk ke dalam rumah, dan tak mengerti mengapa saya tega meninggalkannya sendiri. Kucing ini kemudian akan berjalan lunglai, wajahnya penuh rasa kecewa, menuju ke bed khusus yang saya letakkan di teras. Walau saya tahu teras itu aman dan tertutup dari dunia luar, tidak terkena hujan dan terlindungi, tetap saja hati saya pedih meninggalkan dia sendirian. Tapi saya kuatkan diri, Chichi harus terbiasa hidup di luar rumah, agar bisa bebas nantinya.
Di satu pagi, ketika saya membuka pintu depan, Chichi seperti biasa akan menyambut saya. Bocil ini memiliki sifat ceria dan aktif tapi hari itu dia berjalan lesu menghampiri kaki saya, setelah sejenak menyentuhkan tubuhnya, dia kembali ke kasur dan merebahkan diri di sana. Ini tingkah yang sama sekali tidak biasa terlebih di pagi hari ketika kucing umumnya super aktif. Saya kemudian meraba badannya dan terasa suhunya lebih tinggi dari biasanya. Panik, saya lantas segera berganti pakaian dan berangkat ke dokter hewan yang pernah dikunjungi beberapa bulan lalu. Dulu ketika pengalaman saya masih minim tentang kucing dan klinik hewan, saya beranggapan jika klinik langganan ini cukup lengkap fasilitasnya. Jadi ketika dokter memeriksa suhu dan kemudian menyntikkan obat penurun panas, tanpa melakukan pemeriksaan darah, saya menganggapnya sebagai prosedur umum. Tapi kini setelah makin sering membawa kucing sakit ke berbagai klinik, maka prosedur pemeriksaan harusnya lebih lengkap. Pemeriksaan darah selalu dilakukan jika kucing demam dan kehilangan nafsu makan, untuk mengetahui apakah si kucing terpapar virus atau tidak.
Saya merasa berdosa selama ini membiarkan Chichi tinggal di teras, rasa berdosa itu masih membekas hingga kini. Setiap kali saya ingat betapa jahatnya saya membiarkan Chichi di luar sementara saya tidur hangat di atas kasur di dalam rumah, langsung saya raih dia, dekap kuat dan ciumi hingga dia mendesis-desis mengancam. Walau teras itu aman, tetapi angin kencang yang menerpa terasa sangat dingin. Apalagi saat itu musim hujan dan suhu menjadi sejuk di Jakarta. Bocil ini demam karena terpapar angin dan suhu dingin, sementara tempat perlindungan yang saya sediakan tidak memadai. Sepulang dari klinik, Chichi saya bawa ke kamar dan rebahkan di atas kasur, mulai detik itu anak ini akan tidur di dalam rumah, di atas kasur bersama saya. Sepertinya, kami akan terus bersama sampai entah kapan. Lanjut ke next posting ya.
Cek posting saya tentang Mengadopsi Kucing Part 1 - Intermezo di link di disini ya.
0 komentar:
Posting Komentar
PEDOMAN BERKOMENTAR DI JTT:
Halo, terima kasih telah berkunjung di Just Try and Taste. Saya sangat menghargai feedback yang anda berikan, terutama mengenai eksperimen dalam mencoba resep-resep yang saya tampilkan.
Komentar yang anda tuliskan tidak secara otomatis ditampilkan karena harus menunggu persetujuan saya. Jadi jika komentar anda belum muncul tidak perlu menulis komentar baru yang sama sehingga akhirnya double/triple masuknya ke blog.
Saya akan menghapus komentar yang mengandung iklan, promosi jasa dan penjualan produk serta link hidup ke blog anda atau blog/website lain yang anda rekomendasikan yang menurut saya tidak relevan dengan isi artikel. Saya juga akan menghapus komentar yang menggunakan ID promosi.
Untuk menghindari komentar/pertanyaan yang sama atau hal yang sebenarnya sudah tercantum di artikel maka dimohon agar membaca artikel dengan seksama, tuntas dan secara keseluruhan, bukan hanya sepotong berisi resep dan bahan saja. Ada banyak info dan tips yang saya bagikan di paragraph pembuka dan jawaban di komentar-komentar sebelumnya.
Satu hal lagi, berikan tanda tanya cukup 1 (satu) saja diakhir pertanyaan, tidak perlu hingga dua atau puluhan tanda tanya, saya cukup mengerti dengan pertanyaan yang diajukan.
Untuk mendapatkan update rutin setiap kali saya memposting artikel baru anda bisa mendaftarkan email anda di Dapatkan Update Via Email. Atau kunjungi Facebook fan page Just Try and Taste; Twitter @justtryandtaste dan Instagram @justtryandtaste.
Semoga anda menikmati berselancar resep di Just Try & Taste. ^_^