Pertama kali saya tahu tentang tanaman bernama anggrek adalah saat di
sekolah dasar, kala itu di sepanjang jalan desa dari Ngawi menuju ke Paron,
banyak sekali jajaran pohon asam yang usianya sudah puluhan tahun. Pohon-pohon
asam ini memiliki batang kekar, dengan diameter besar, tubuhnya pendek untuk
ukuran pohon tua. Berjajar rapi di sepanjang sungai kecil atau parit, yang
memisahkan antara jalan dengan area persawahan milik petani. Paron merupakan
desa sentra padi dan palawija di mana sawah bertebaran di mana-mana. Saya paling
suka menelusuri jalan utama Paron ini, karena indah, hijau, sejuk dengan
deretan pohon asam yang rapi memagari tepian jalan. Di pohon-pohon asam ini lah
saya melihat anggrek liar menggelayuti dahannya, tertutup rimbunnya daun asam,
membuatnya aman dari terpaan sinar matahari Paron yang gahar.
Setiap kali naik angkutan umum menyelusuri jalanan ini, mata saya
jelalatan memandangi kerimbunan pohon asam, berusaha menghapal, pohon mana yang
ditumbuhi anggrek. Tidak semua pohon ada. Saya bertekad satu hari nanti, jika
saya memiliki sepeda, akan saya kayuh kendaraan roda dua itu ke sepanjang jalan
ini dan menjarah semua anggrek di sana. Mimpi yang penuh rasa greedy, seorang
bocah usia 9 tahun yang ingin merawat dan menanam anggrek tapi apa daya orang
tua tak mampu. Tapi sebuah kemauan kuat, sebuah tekad kuat yang muncul dari
dalam dada, akan didukung semesta. Seperti juga mimpi saya hendak mememelihara
anggrek liar.
Satu hari, saya mendapatkan sepeda mini bekas dari Bapak. Sejak
memiliki alat transportasi ini, area saya keluyuran sepulang sekolah semakin jauh
dibandingkan tanpa sepeda. Menjelajah banyak desa, sungai dan sendang (mata
air). Sungguh, saya bergidik sendiri, ketika saat ini mengingat betapa jauhnya
saya bermain kala itu. Seorang anak perempuan, usia 9 tahun, keluyuran naik
sepeda kemana-mana, dari siang hingga petang menjelang. Saat itu kondisi masih
sangat aman, jarang sekali terjadi kasus-kasus pejahat kelamin atau pedofil
seperti saat ini. Orang tua saya, waktu itu Ibu saya yang tinggal di Paron
bersama anak-anak, sementara Bapak dinas di Tanjung Pinang, tak terlalu memusingkan
anak-anaknya bermain. Ibu saya sehari-hari sudah dipusingkan dengan masalah ekonomi
dan masalah mendasar hidup seperti, “Apa yang akan kami makan esok hari?” Sedangkan
uang di dompet tidak ada. Sungguh penuh penderitaan. Jadi bagi beliau lebih baik anak-anak jauh
dari rumah, bermain bersama teman-temannya, dibandingkan merengek di rumah meminta
ini dan itu. Hati Ibu saya yang lembut tak tega harus menolak permintaan
anak-anak.
Puas berkeliling dengan sepeda, saya tak lupa dengan mimpi tentang anggrek
liar di pohon asam. Di hari libur, saat pagi baru menjelang, saya pedal sepeda
dengan kecepatan yang saya mampu menuju jalan raya Paron ke arah Ngawi. Jarak
Paron – Ngawi adalah tujuh kilometer, jarak menuju ke persawahan tempat di mana
pohon asam berada kira-kira lima kilometer. Bagi seorang bocah kecil, lima
kilometer sangatlah jauh, tapi hati saya sangat kuat jika sudah bertekad. Walau
peluh membanjiri jidat dan leher ini, baju basah kuyup, dan nafas ngos-ngosan,
saya tetap mengayuhkan kaki hingga tiba ke pohon asam. Saya parkirkan sepeda di
salah satu pohon yang telah saya ingat memiliki anggrek liar di dahannya.
Masalahnya sekarang bagaimana naik ke atas pohon asamnya?! Walau pohon-pohon
tersebut pendek untuk ukuran orang dewasa, tapi sangat tinggi untuk tubuh seorang
bocah. Akhirnya saya membawa sepeda menelusuri pohon lainnya hingga tiba di
pohon yang memiliki dahan rendah dan batang miring seakan hendak rubuh. Pohon
ini bisa dipanjat, dan walau anggrek liar yang ada di sana tidak sebanyak pohon
asam lainnya, ini pun sudah lebih dari cukup.
Rasa happy, euforia, dan senang yang tak terkira kala mampu meraih
batang anggrek pertama membuncah di dada. Anggrek-anggrek liar ini jenis spesies
namanya kuku macan atau Aerides odorata, bukan jenis anggrek istimewa atau langka,
karena banyak ditemukan di mana-mana terutama di Jawa. Anggrek ini sangat mudah
tumbuh, dan mudah dirawat, memiliki aroma wangi. Bunganya kecil menjuntai
banyak dalam satu tangkai, berwarna putih pink keunguan dan berbentuk melengkung
seperti kuku macan. Tanaman ini sudah tumbuh bertahun-tahun, bahkan mungkin
berpuluh tahun di pohon asam. Tenang, aman, damai dan jauh dari gangguan
manusia atau apapun hingga seorang bocah degil dan ‘nggeratak’ datang mencabut
mereka dari rumahnya. Beberapa batang berhasil saya jarah, ketika dirasa sudah
cukup, saya turun dengan cepat takut jika tiba-tiba datang orang dewasa yang
menegur.
Saya pulang ke rumah, kali ini mengayuh sepeda dengan tenaga ekstra
semangat, tak sabar ingin segera pulang dan tiba di halaman belakang. Tak sabar
ingin segera menanam anggrek-anggrek ini dan melihatnya tumbuh subur. Sungguh, tak
ada maksud lain dalam hati saya, kecuali ingin menanam anggrek, tanaman yang
belum pernah saya coba tanam saat itu, dan yang masih asing dalam kehidupan
sehari-hari kami. Setiba di rumah, saya lantas pergi ke pasar di depan rumah
dan mencari sabut kelapa yang banyak sekali dibuang oleh tukang kelapa di
pasar. Di Paron, kelapa tua yang masih menyisakan sedikit serabut banyak
dijual, dan serabut kelapa ini dibuang begitu saja berserakan di dekat lapak
tukang kelapa. Mau ambil sebanyak apa pun dipersilahkan dan saya bawa satu kantung
besar ke belakang rumah. Anggrek-anggrek kuku macan ini lantas saya tempelkan
di pohon sirsak milik Mbah di kebun bersama dengan lilitan sabut kelapanya.
Entahlah, saya sendiri tak tahu cara menanamnya, tapi mungkin seperti itulah,
karena tidak ada informasi jelas, dan tidak ada anggota keluarga yang tahu cara
menanamnya.
Di keluarga saya, tidak ada yang mencintai tanaman selayaknya saya,
kecuali Mbah Wedhok yang memang berdarah petani asli. Mereka tidak akan mengerti mengapa saya begitu penuh semangat,
seakan tak ada hari tanpa berbicara tentang anggrek-anggrek ini. Ibu saya justru
marah begitu tahu saya pergi jauh dari rumah demi mengambil tanaman ini di atas
pohon. “Kalau kamu jatuh, siapa yang akan tolong? Anak kok pencilakan kayak
gini,” komentar beliau tak terlalu saya gubris karena sedang mabuk kepayang
dengan si Aerides odorata yang sekarang nangkring di pohon sirsak. Seminggu
berlalu dengan aman, tanaman terlihat baik-baik saja, tidak layu atau kering,
tapi betapa terperanjatnya saya kala satu hari saya tak melihat anggrek-anggrek
ini di batang pohon sirsak. Panik, saya cari kesana kemari, dan akhirnya
menemukan tanaman tersebut teronggok di tempat sampah di belakang rumah. Tempat
sampah di rumah di kampung saat itu umumnya terbuat dari lubang besar di tanah
yang ditimbun sampah setiap hari hingga penuh. Ketika telah luber, sampah
lantas dibakar menimbulkan bau busuk, apak dan asap yang membumbung tinggi.
Kalau di Jakarta menggunakan cara ini, dijamin Pemadam Kebarakan langsung
datang bersama sirine nyaringnya.
“Ojo nandur anggrek neng kono! Kuwi mateni sirsakku (jangan menanam
anggrek disitu, itu membunuh pohon sirsakku),” tukas Mbah Wedhok kala melihat
saya berjongkok di tepian lubang sampah meratapi anggrek-anggrek yang
tercampakkan di sana. Perjuangan saya begitu sia-sia. Mimpi membayangkan bisa
melihat tanaman ini tumbuh subur berbunga, musnah begitu saja. Sungguh, saya
merasa sangat sedih melihat anggrek itu teronggok, terbuang dan tak mampu hidup
layak, lebih baik mereka tetap berada di pohon asam di tepian sawah. “Anggrek
ora mateni tanduran Mbah. Anggrek kuwi cuman nempel, dudu benalu (anggrek tidak
mematikan tanaman Mbah, anggrek itu cuman menempel, bukan benalu)!” teriak saya kecewa dan sakit
hati. Tapi Mbah mana peduli, bagi beliau, tanaman sirsak itu seribu kali jauh
berharga dibandingkan dengan anggrek-anggrek liar yang saya ambil dari jalanan.
Tak ada yang berani melawan Mbah, saya termasuk yang paling berani dibandingkan
kakak dan adik saya, saat itu. Ibu saya hanya diam membisu, karena kami semua
menumpang di rumah Mbah, jadi sangat wajar jika semua perintah Mbah adalah
aturan yang harus dituruti.
Saya gantung anggrek-anggrek yang masih bisa
diselamatkan di tepian teras belakang rumah, tapi karena terkena panas langsung
dan lingkungan yang jauh berbeda dari originalnya, perlahan mereka layu, kering
dan mati. Saya tak mampu menyelamatkannya. Sejak itu, saya tak pernah
berkeinginan mencabut anggrek dari habitat aslinya. Perlu waktu bertahun-tahun bagi
tanaman ini untuk bisa hidup di satu tempat, dan perlu waktu bertahun-tahun
mereka beradaptasi. Betapa egoisnya saya mencabut hidup mereka begitu saja,
betapa rasanya tak menghargai susah payahnya perjuangan si anggrek.
Kini, saya punya Aerides odorata di halaman rumah,
hasil hunting di online shop. Saya tahu, anggrek ini pun hasil menjarah para
hunter anggrek yang tersebar di seluruh penjuru pelosok Indonesia, apalagi saat
ini di mana demam anggrek spesies seakan melanda. Orang-orang semacam saya, yang
membeli anggrek jarahan alam, yang membuat pembolang anggrek semakin marak,
yang satu saat nanti akan melenyapkan anggrek spesies asli Indonesia di habitat aslinya. Arrgh!
Menuju ke resep. Saya punya banyak tomat di kulkas, tomat merah ukuran kecil dengan kulit yang telah kisut karena sudah hampir 2 minggu di sana. Saya suka membeli tomat, semata-mata karena mereka ranum, merah, terlihat segar, mengandung vitamin dan nutrisi, dan terkadang perlu diceburkan dalam satu masakan. Tapi ketika tomat-tomat itu telah ada di dalam kulkas, justru mangkrak begitu saja tak terjamah. Semua ide resep hendak memanfaatkannya terasa tak menarik. Tapi, tadi malam, tomat-tomat ini harus dieksekusi karena beberapa butir mulai busuk. Saya ingat satu resep tomat dengan telur yang terlihat lezat dan mudah sekali dibuat. Jam sembilan malam, saya keluarkan semua peralatan dan mulai memasak. Hanya perlu waktu 30 menit saja memprosesnya hingga mencuci semua perabot yang dipergunakan.
Dalam kuliner tanah air, tomat jarang dimasak sebagai bahan utamanya. Buah ini cenderung hanya sebagai pelengkap penderita saja, misal sebagai pemberi rasa asam atau warna merah di dalam masakan. Tetapi di beberapa negara, tomat justru hadir sebagai diva di dalam suatu masakan, aktor utama yang sangat penting, misal di kuliner Spanyol, Italia, Timur Tengah, dan Meksiko, di mana banyak sekali masakan yang terbuat dari tomat sebagai bahannya. Telur dengan tomat ini merupakan masakan ala Chinese yang mantap sekali sebagai selingan menu di rumah. Bahannya simple, murah meriah, cara membuatnya juga sangat mudah. Menu sat set yang sedap menemani nasi hangat.
Cus ke resep ya.
Tumis Telur Tomat
Untuk 4 porsi
Bahan:
5 butir telur kocok lepas
¼ sendok teh lada bubuk
½ sendok teh garam
Minyak untuk menggoreng
Bumbu:
2 sendok makan minyak untuk menumis
4 siung bawang putih cincang halus
2 cm jahe, cincang halus
1 sendok makan cabai kering tumbuk kasar (chili flakes)
600 gram tomat merah, belah 2 jika kecil dan 4 jika ukuran sedang
1 sendok makan kecap asin
½ sendok teh garam
1 ½ sendok makan gula pasir
½ sendok teh kaldu jamur
½ sendok teh lada bubuk
100 ml air
¼ sendok makan tepung maizena larutkan 2 sendok makan air
Cara:
Pecahkan telur ke mangkuk, tambahkan lada dan garam, kocok rata.
Panaskan 3-4 sdm minyak di wajan,
masukkan telur, biarkan sedikit mengeras baru kemudian aduk kuat dan cacah
dengan spatula hingga menjadi telur orak-arik. Jangan cacah terlalu kecil
ukurannya. Masak hingga telur matang, angkat. Sisihkan.
Panaskan 2 sendok makan minyak di wajan, tumis bawang putih, jahe hingga harum.
Masukkan cabai bubuk, tumis beberapa detik saja. Tambahkan tomat, aduk dan
masak hingga tomat layu dan agak lunak. Tambahkan kecap asin, garam, kaldu
jamur, gula pasir dan lada bubuk, aduk
rata.
Tuangkan air, masak hingga mendidih dan tomat menjadi lunak. Tambahkan
telur, aduk dan masak 1 menit. Tambahkan larutan maizena, masak hingga kuah
mengental dan mendidih. Cicipi rasanya, angkat. Sajikan dengan nasi hangat.
Yum!
0 komentar:
Posting Komentar
PEDOMAN BERKOMENTAR DI JTT:
Halo, terima kasih telah berkunjung di Just Try and Taste. Saya sangat menghargai feedback yang anda berikan, terutama mengenai eksperimen dalam mencoba resep-resep yang saya tampilkan.
Komentar yang anda tuliskan tidak secara otomatis ditampilkan karena harus menunggu persetujuan saya. Jadi jika komentar anda belum muncul tidak perlu menulis komentar baru yang sama sehingga akhirnya double/triple masuknya ke blog.
Saya akan menghapus komentar yang mengandung iklan, promosi jasa dan penjualan produk serta link hidup ke blog anda atau blog/website lain yang anda rekomendasikan yang menurut saya tidak relevan dengan isi artikel. Saya juga akan menghapus komentar yang menggunakan ID promosi.
Untuk menghindari komentar/pertanyaan yang sama atau hal yang sebenarnya sudah tercantum di artikel maka dimohon agar membaca artikel dengan seksama, tuntas dan secara keseluruhan, bukan hanya sepotong berisi resep dan bahan saja. Ada banyak info dan tips yang saya bagikan di paragraph pembuka dan jawaban di komentar-komentar sebelumnya.
Satu hal lagi, berikan tanda tanya cukup 1 (satu) saja diakhir pertanyaan, tidak perlu hingga dua atau puluhan tanda tanya, saya cukup mengerti dengan pertanyaan yang diajukan.
Untuk mendapatkan update rutin setiap kali saya memposting artikel baru anda bisa mendaftarkan email anda di Dapatkan Update Via Email. Atau kunjungi Facebook fan page Just Try and Taste; Twitter @justtryandtaste dan Instagram @justtryandtaste.
Semoga anda menikmati berselancar resep di Just Try & Taste. ^_^