Dulu, ketika masih tinggal bersama orang tua, kebahagiaan saya simple. Saya paling bahagia ketika Bapak membelikan sepatu baru. Rasa bahagia yang membuncah di dada, yang membuat saya ingin menari dan tak sabar melalui malam itu agar esok pagi bisa berangkat ke sekolah dengan si sepatu. Saya ingat merk sepatu yang lumayan terkenal saat itu dan harganya cukup mahal untuk kondisi perekonomian orang tua saya yang pas-pasan, yaitu Spotec. Sepatu hitam mengkilap yang terlihat gagah di kaki kala dipakai, kuat, dan super awet bertahun-tahun lamanya. Alasan terakhir itulah yang membuat Bapak membelikan merk ini. Sekali beli bisa dipakai selama 3 tahun di SMA, walau sebenarnya harganya cukup menguras dompet.
Malam harinya sepatu saya letakkan persis di bawah ranjang, seakan takut jika besok benda itu raib menguap. Berangkat ke sekolah hati menjadi ceria, dunia terasa indah, cerah, dada terasa plong dan semangat berapi-api. Bukan untuk niat menuntut ilmu, tapi lebih hendak pamer sepatu baru ke teman-teman. Sepatu Spotec ini seakan meningkatkan value saya dari anak keluarga kurang mampu menjadi anak keluarga sedikit mampu. Seakan eksistensi saya mampu terdongkrak bukan karena saya anak paling pintar di kelas, tapi karena kaki saya bersepatu baru. Entah apa yang saya pikirkan saat itu, tapi di usia belasan tahun, usia mencari jati diri, dan usia dimana rasa percaya diri setipis iman saya, maka urusan materi menjadi hal paling penting dalam hidup, di tengah ekonomi keluarga yang susah.
Makin beranjak dewasa, hal-hal yang membuat saya merasa bahagia tentunya banyak mengalami perubahan. Hal berbau materi masih menjadi subyek yang membuat happy, misal ketika kantor membagikan bonus, atau saat menghadiri sebuah acara tiba-tiba menerima door prize. Tapi rasa bahagia yang membuncah dan membuat dada saya penuh dengan perasaan hangat sebagaimana ketika sepatu Spotec baru saja dibelikan Bapak, jarang saya rasakan. Namun tetap ada satu hal, satu hal yang saya nilai benar-benar membuat bahagia hingga tak sabar untuk bangun pagi, tak sabar ingin cepat-cepat pulang ke rumah, atau puas melewatkan weekend dan libur panjang di rumah yaitu tanaman. Yep, tanaman-tanaman koleksi saya di halaman adalah penyumbang bahagia yang utama, selain tentu saja ketiga ekor kucing saya yang walau merepotkan tapi sering membuat ngakak. Dua hari libur weekend begitu cepat berlalu ketika sedang berkebun. Seakan, pagi baru saja menjelang dan tiba-tiba sudah beranjak senja! Tapi kalau mau flashback sejenak, ke ketika usia masih satu digit, saya selalu suka tanaman. Dimana pun berada, hanya tanaman yang menarik minat saya. Jiwa saya kering dan gersang, ketika tidak melakukan aktifitas berkebun, atau ketika tidak menyentuh tanaman.
Nah dua tahun belakangan ini saya sedang gandrung alias tergila-gila dengan anggrek. Hampir 90% koleksi yang saya miliki didapatkan dari toko online. Betapa mudahnya saat ini mengoleksi apapun yang dulu hanya bisa kita lihat di majalah belaka. Tanaman dari seluruh penjuru kota dan desa di Jawa, bahkan luar Jawa seperti Sulawesi dan Kalimantan, dengan mudah didatangkan ke rumah. Saat membuka kotak pembungkusnya saja sudah memberikan saya rasa semangat yang membuncah, tak sabar hendak bertemu dengan satu jenis anggrek yang beberapa hari lalu saya 'deal' saat live toko. Manambahkannya di halaman, bergabung bersama anggrek-anggrek lainnya, memberikan saya rasa puas yang susah dicari tandingannya. Mungkin seperti ini lah perasaan semua kolektor yang mengoleksi apapun yang menjadi minat mereka, perasaan greedy dan tamak hendak menambah koleksi sebanyak mungkin! Well, at least itu yang saya rasakan. 😢
Bagi kebanyakan orang, anggrek adalah tanaman hias yang susah untuk dibudidayakan, penuh tantangan dalam merawatnya, dan harganya memang lebih mahal dibandingkan dengan tanaman umumnya. Saya harus belajar dari nol, mulai dari membaca literatur, menonton berton-ton video hingga langsung menanamnya sendiri di rumah. Tak terhitung berapa banyak tanaman yang tewas di tangan saya, tapi semua itu tak mengurangi minat ini. Ada harga yang harus dibayar dalam setiap pelajaran. Untuk anggrek, harganya adalah waktu, tenaga dan uang membelinya. Hasil dari itu semua adalah perasaan bahagia dan keinginan untuk terus menggali ilmu dan teknik agar tanaman bisa survived, tumbuh subur, dan berbunga. Saat perjuangan itu membuahkan hasil, rasa puas dan bangga telah mampu menaklukkan satu tantangan membuncah di dalam hati. Saya merasa bahagia. Bahagia yang membuat saya ingin terus, dan terus belajar, merasa haus akan pengetahuan yang begitu luas dan baru 0.001% saya ketahui.
Jadi saya simpulkan saat ini, surga itu makan, bukan... Bukan...Bahagia itu sederhana. Sesederhana ketika sepatu Spotec baru saja dibelikan almarhum Bapak berpuluh tahun nan lampau. Sesederhana ketika kita menyalurkan hobi positif yang sangat disukai dan cintai, karena hobi itu mampu menyiram batin dan hati kita dengan kehangatan. Dengan kedamaian. Dengan ilmu yang tak berujung. Saya kini mengerti, mengapa petani rela berpanas dan berpeluh keringat di sawah dan ladang. Selain tentu saja berkebun dan bertanam adalah mata pencarian utama, menurut saya merawat tanaman sejak kecil hingga akhirnya bisa dipanen memberikan rasa kebahagiaan di dalam hati Pak dan Bu Petani lebih dari sekedar rupiah semata. Apapun itu bentuk kebahagiaan, berbahagialah bagi mereka yang bisa menemukannya. Karena tidak semua orang mendapatkan keberuntungan yang sama. Siram dan pupuklah kebahagiaan itu agar semakin flourish dan cherish. Bagi mereka yang belum menemukannya, belum terlambat untuk bertanya jauh di dalam relung hati terdalam. Apa sih yang benar-benar membuat saya bahagia? Dan, kejarlah!
Dendrobium silangan lama (jadulan), sayang id-nya tidak diketahui |
Wokeh menuju ke resep. Kini tidak susah menemukan odeng dijual di toko, resto, atau kafe, contohnya Family Mart dan Lawson. Lembaran tipis makanan yang terbuat daging ikan ini terasa sedap disantap bersama kuah panas yang gurih. Versi original (tidak pedas) dan spicy sama enaknya. Odeng atau eomuk merupakan sup dari Korea yang berisikan lembaran tipis daging ikan (fishcake) yang diproses sedemikian rupa. Nama odeng berasal dari kata dalam bahasa Jepang, oden, yang sebenarnya merupakan sup yang terbuat dari makanan olahan dari daging ikan, telur rebus, dan lobak di dalam kuah dashi.
Membuat odeng di rumah sebenarnya sangat mudah dan tentu saja lebih terjangkau biayanya dibandingkan membeli di mart. Lembaran ikan atau fishcake-nya sendiri saat ini banyak dijual di toko online, harganya sangat terjangkau dengan isi lumayan banyak. Sementara bahan utama kuahnya adalah anchovies. Anchovies atau teri Korea agak berbeda dengan lokal punya, jadi sebaiknya jangan digantikan dengan ikan teri lokal. Agar praktis saya pakai anchovies yang sudah menjadi bubuk saja, jadi tinggal nyebur-nyebur. Baik odeng maupun anchovies mudah ditemukan di ol-shop.
Nah yang saya bagikan resepnya kali ini adalah versi spicy-nya menggunakan gochujang (fermentasi cabai
Korea yang berbentuk paste), dan gochugaru (cabai bubuk/granule Korea yang
biasa untuk membuat kimchi). Skip gochujang jika tidak ada, tapi sebaiknya
jangan gantikan gochugaru dengan cabai lokal karena versi lokal kurang merah
warnanya dan terlalu pedas. Tidak ingin spicy? Hilangkan saja semua cabai-cabaian di resep, karena bubuk anchovies sudah memberikan rasa gurih. Agar warnanya kecoklatan seperti di mart, tambahkan kecap asin di dalam kuahnya ya.
Cuss ke resep!
Resep Spicy Odeng
Untuk 4 porsi
Bahan:
10 lembar odeng, potong dua memanjang
10 tusukan sate
1 batang wortel iris serong tipis
6 buah jamur shiitake iris tipis
2 batang daun bawang rajang kasar
Bumbu dan bahan lain:
1/2 buah bawang bombay, rajang kasar
800 - 1000 ml air
1 sendok makan bubuk anchovies
1 sendok makan gochujang
1 sendok teh gochugaru
2 sendok makan kecap asin
1/2 sendok teh lada bubuk
2 sendok teh gula pasir
Sayurannya optional, umumnya lobak, jamur, wortel dan
daun bawang.
Cara:
Tusuk lembaran odeng dengan tusukan sate. Sisihkan.
Masukkan air, bawang bombay, bubuk anchovies, dan semua bumbu lainnya ke panci. Rebus hingga mendidih.
Masukkan wortel, rebus matang. Tambahkan jamur, rebus 1 menit. Masukkan odeng dan daun bawang. Rebus sambil odeng disiram-siram hingga kuah mendidih. Cicipi rasanya, sesuaikan. Angkat dan sajikan panas. Yum!
0 komentar:
Posting Komentar
PEDOMAN BERKOMENTAR DI JTT:
Halo, terima kasih telah berkunjung di Just Try and Taste. Saya sangat menghargai feedback yang anda berikan, terutama mengenai eksperimen dalam mencoba resep-resep yang saya tampilkan.
Komentar yang anda tuliskan tidak secara otomatis ditampilkan karena harus menunggu persetujuan saya. Jadi jika komentar anda belum muncul tidak perlu menulis komentar baru yang sama sehingga akhirnya double/triple masuknya ke blog.
Saya akan menghapus komentar yang mengandung iklan, promosi jasa dan penjualan produk serta link hidup ke blog anda atau blog/website lain yang anda rekomendasikan yang menurut saya tidak relevan dengan isi artikel. Saya juga akan menghapus komentar yang menggunakan ID promosi.
Untuk menghindari komentar/pertanyaan yang sama atau hal yang sebenarnya sudah tercantum di artikel maka dimohon agar membaca artikel dengan seksama, tuntas dan secara keseluruhan, bukan hanya sepotong berisi resep dan bahan saja. Ada banyak info dan tips yang saya bagikan di paragraph pembuka dan jawaban di komentar-komentar sebelumnya.
Satu hal lagi, berikan tanda tanya cukup 1 (satu) saja diakhir pertanyaan, tidak perlu hingga dua atau puluhan tanda tanya, saya cukup mengerti dengan pertanyaan yang diajukan.
Untuk mendapatkan update rutin setiap kali saya memposting artikel baru anda bisa mendaftarkan email anda di Dapatkan Update Via Email. Atau kunjungi Facebook fan page Just Try and Taste; Twitter @justtryandtaste dan Instagram @justtryandtaste.
Semoga anda menikmati berselancar resep di Just Try & Taste. ^_^