Dulu, ketika bekerja di perusahaan lama, profesi saya adalah sebagai
trainer, tugas utama mengajar staf marketing yang ditempatkan di kantor cabang
sebuah bank BUMN. Karena bank BUMN ini memiliki cabang dari Sabang hingga
Merauke, maka trainer ditugaskan bergantian di berbagai kota, bahkan hingga ke
kota-kota kecil yang hanya bisa dijangkau dengan boat, ferry, atau pesawat
kecil. Satu hari, saya mendapatkan tugas mengajar di Jayapura, sendirian.
Berangkat di pukul sebelas malam dari Jakarta, transit sejenak di Biak, dan
tiba di Jayapura pagi hari sekitar pukul enam. Bandar Udara Internasional
Sentani terletak dekat dengan danau Sentani, ketika pesawat hendak landing maka
danau Sentani yang biru kehijauan terlihat dari atas dikelilingi dengan
hijaunya pepohonan, begitu indah dan peaceful.
Pengalaman ini sudah sangat lama berlalu, sehingga rupa Jayapura sendiri saya agak lupa-lupa ingat. Saat itu, seingat saya, Jayapura adalah sebuah kota kecil yang tidak terlalu ramai, dan hanya ada beberapa bangunan besar yang berdiri di sana, salah satunya adalah hotel bintang empat yang saya tempati. Walau berbintang empat, hotel ini berbeda dengan hotel bintang empat umumnya di kota lain di Indonesia. Kamarnya terasa pengap, berbau apak, dan ada kesan tua dan sedikit membuat bulu kuduk merinding, terutama ketika berjalan di sepanjang lorong kamar yang remang-remang. Tidak ada kejadian horor di sini, hanya perasaan saya dan rekan-rekan trainer lainnya yang pernah berkunjung di Jayapura dan menginap di hotel ini. Mungkin saat ini, sudah banyak hotel-hotel berbintang lainnya di Jayapura, tapi saat itu, hanya hotel ini lah yang letaknya dekat dengan cabang bank yang layak ditempati.
Saya hanya dua hari satu malam di sana, begitu pesawat mendarat
langsung meluncur menuju hotel, bersiap-siap untuk acara training siang hari. Sangat
singkat waktunya, dan ketika acara training selesai, bersama beberapa anak tim marketing di Jayapura kami makan di sebuah warung ikan panggang di tepian danau
Sentani. Saya lupa dengan bentuk ikan, rasanya, atau suasananya, karena jadwal
hari itu super hectic dan agak sedikit jet lag dari penerbangan panjang, tapi
ada satu peristiwa yang terus membekas hingga saat ini. Ketika jam tujuh malam
usai makan malam, saya langsung kembali ke hotel. Sebelum berangkat, teman-teman trainer lainnya sudah mewanti-wanti jika sebaiknya tidak
bepergian jauh dari hotel atau area kantor bank karena kondisi di Jayapura yang terkadang
kurang aman. Jadi selesai acara hari itu saya langsung kembali ke kamar hotel
dan bersiap untuk perjalanan panjang kembali ke Jakarta esok hari. Sehabis
membersihkan diri, saya melihat dari jendela kamar aktifitas ramai di lapangan
di depan hotel. Di seberang hotel memang ada sebuah lapangan kecil dan di pinggir lapangan saya melihat satu dua nama brand terkenal, salah satunya adalah Gelael.
Di lapangan itu tampak ibu-ibu Papua duduk di tanah menggelar dagangannya, ternyata saat malam hari lokasi itu berubah menjadi pasar tumpah yang lumayan ramai. Saya pun tak kuasa menahan diri dan turun ke bawah hendak melihat langsung. Ketika tiba di pintu hotel, saya bertanya kepada petugas keamanan yang berjaga. "Pak, itu yang di lapangan pasar ya?" Si petugas langsung mengiyakan dan ketika saya jawab hendak melihat langsung dia memberikan peringatan, "Jangan sekarang Bu. Nanti akan ada keramaian lewat, biasanya suka ada kerusuhan. Jadi Ibu tunggu saja sebentar," saya terheran-heran dengan jawabannya. Keramaian macam apa? Tapi tak menunggu lama, tiba-tiba di jalan utama tampak banyak orang berduyun-duyun berjalan sambil bernyanyi-nyanyi dan bertepuk tangan. Mereka tertawa dan menari-nari di tengah jalan yang tiba-tiba penuh dengan muda-mudi Papua. Mobil dan motor yang jumlahnya sangat sedikit menghilang digantikan dengan manusia yang berkonvoi sambil bernyanyi riang.
Saya di depan pintu hotel hanya bengong menatap itu semua, "Sering kejadian seperti ini Pak?" Tanya saya ke petugas hotel. "Hampir tiap malam, biasanya juga sambil mabuk-mabukan dan sering kerusuhan," jawabnya. Untungnya konvoi ini cepat berlalu, dan ketika suasana jalanan kembali lengang saya langsung menyebrang menghampiri pasar yang terlihat begitu menggoda. Bayangkan, sebuah pasar tradisional di malam hari dan berlokasi di Jayapura, di jantung kota Jayapura. Sebuah pengalaman super menarik bagi saya! Ada rasa deg-degan hendak berinteraksi dengan warga lokal, dan ada sedikit rasa takut jika kondisi pasar tidak aman. Belum ada satu trainer pun yang berani malam-malam keluar hotel dan berjalan-jalan di pasar tumpah ini! Tapi semua rasa was-was itu musnah tersaingi rasa semangat hendak melihat pasar tradisional ala masyarakat Papua.
Yang saya temukan adalah mama-mama Papua yang duduk
mendeprok di tanah, di depan mereka tergelar kain dan di atasnya diletakkan
berbagai dagangan terutama adalah sayur mayur dan buah-buahan lokal. Terung, tomat, labu, jeruk, dan
masih banyak lagi yang ditata dalam bentuk gunungan kecil. Mereka tidak menggunakan
timbangan, barang dagangan dijual menggunakan porsi yang sudah ditentukan si
penjual. Mama-mama ini begitu ramah, begitu ceria, begitu bersemangat menjual
dagangannya membuat hati saya terenyuh dan haru. Senyum lebar mereka begitu
tulus dan ketika saya bertanya ini dan itu dengan senang hati mereka menjawab.
Ingin rasanya saya membeli semua dagangan mereka malam itu, apa daya, money gak
cukup dan tentunya bagasi terbatas.
Sayur yang menarik hati saya adalah kangkung, bukan sembarang kangkung, ini jenis kangkung ukuran jumbo, batangnya besar, daunnya lebar, warnanya hijau muda, terasa lembut dan lunak ketika dipegang. Saya pernah menyantap plecing kangkung di Lombok, dan mereka menggunakan kangkung jumbo seperti ini. Hal lain yang menjadi minat saya adalah ikan asap, mereka menyebutnya ikan asar. Ikan tongkol atau cakalang ukuran besar yang diasap dan baru fresh dikeluarkan dari alat pengasapan, masih panas kala disentuh. Tobat, ikan asar di Papua tak ada lawannya, harum, dan terlihat menggiurkan. Berbeda dengan cakalang fufu ala Manado dimana ikan di fillet, maka ikan asar Papua berbentuk tongkol/cakalang utuh.
Saya
beli empat buah ikan asar, kalau bagasi bisa berubah jadi kantung Dorameon ingin rasanya saya
borong lebih banyak lagi. Bahkan 3 ikat kangkung Papua pun saya bawa ke
Jakarta. Setiba di Jakarta, dua ekor ikan asar ini saya kirimkan ke Ibu saya di
Paron, waktu itu beliau masih tinggal di sana, dan komentarnya sungguh membuat
happy. “Enak banget itu ikannya En! Sayang jauh ya mau belinya.” Satu ekor ikan
saya berikan ke Mbak yang membersihkan rumah kost saya waktu itu, dia super
excited dengan ikan istimewa ini, dan katanya bisa disantap keluarganya untuk
beberapa hari. Satu ekor saya simpan di kulkas dan diolah menjadi berbagai
masakan. Ikan ini ukurannya super besar, jadi 4 ekor saja sudah membuat
koper penuh dan hampir over baggage. Tapi tak sia-sia membawanya dari Papua!
Karena singkatnya perjalanan saya di Jayapura, banyak hal yang saya tak bisa mengingatnya lagi. Tapi pasar tumpah di depan hotel itu akan selalu terkenang selamanya. Momen yang sangat berkesan dan membuat saya happy, happy memutuskan malam itu berkunjung ke pasar tumpah di Jayapura. Saya belum pernah menemukan jenis ikan asar ini di Jakarta bahkan di online shop pun tidak ada yang menjual. Jenis cakalang fufu atau cakalang asap banyak yang menjual, tapi ikan asar super jumbo itu sepertinya susah diterbangkan dari Papua ke kota lainnya. Sungguh, Papua adalah tanah yang penuh potensi, penuh berkah. Begitu banyak sumber daya alam di sana yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup dan tingkat pendidikan rakyat Papua sendiri. Tapi yang terjadi adalah sumber dayanya dieksploitasi habis-habisan, dikeruk hanya untuk keuntungan segelintir orang atau kelompok, dan itu bukan rakyat Papua. Tolonglah pemerintah daerah dan pusat untuk lebih fokus membangun Papua demi rakyat Papua sendiri. Papua adalah bagian dari Indonesia, jangan dianak tirikan.
Menuju ke resep. Resto Manado di dekat kantor menjual menu ini, menu favorit kami semua jika bersantap di sana. Cakalang rabe rica namanya. Suwiran ikan cakalang asap bersama bumbu yang pedas dan berwarna jauh lebih gelap dari yang saya buat, dan tentu saja lebih banyak minyak yang dipakai. Masakannya memang super bergelimang minyak. Kalau melihat dari warnanya yang kecoklatan sepertinya resto membuat dalam jumlah banyak sekaligus dan masakan dihangatkan beberapa kali hingga warnanya tidak cerah. Biasanya saya memesan, cakalang rabe rica, tude goreng, tumis bunga pepaya dan bakwan jagung, disantap bertiga sudah super kekenyangan rasanya.
Anyway, walau menu itu super sedap tapi dibandrol harga mayan mahal, jadi saya bikin versi lebih irit kantong saja. Cakalang asapnya saya beli online, bukan jenis cakalang fufu khas Manado yang mayan mehong harganya. Cakalang versi ini produk rumahan di Pekalongan dan saya lihat direview bagus oleh banyak orang. Harganya juga jauh lebih murah, tapi kondisinya fresh, rasa serta aroma asapnya pas nendangnya. Jadi deh cakalang rabe versi ramah lingkungan. Saya goreng terlebih dulu si cakalang asap agar lebih kesat dan kering teksturnya, kalau susah cari cakalang asap bisa pakai ikan tongkol goreng atau ikan cue/pindang biasa, walau tentu saja jadi minus aroma asapnya. Gula pasir di resep optional, umumnya masakan Manado ‘haram’ menggunakan gula pasir, tapi lidah saya tidak bisa masakan tanpa gula. Jadi saya tambah 1/2 sendok makan gula pasir, dan menurut saya rasanya jadi lebih maknyus! Cuss ke resep ya.
Resep Cakalang Rabe Rica
Untuk 8 porsi
Bahan:
800 gram ikan cakalang asap
Bumbu dihaluskan:
200 gram cabai merah keriting
10 buah cabai rawit merah
10 siung bawang merah
5 siung bawang putih
1 batang serai ambil bagian putihnya, potong kasar
3 cm jahe
Bumbu lain:
4-5 sendok makan minyak untuk menumis
4 lembar daun jeruk purut sobek kasar
1 ½ sendok teh garam
1 sendok teh kaldu jamur
½ sendok makan gula pasir (optional, tapi pakai lebih enak)
Cara membuat:
Jika pakai cakalang asap utuh seperti saya, buang kepala dan duri tengahnya. Goreng hingga matang kecoklatan. Suwir-suwir kasar dagingnya. Sisihkan.
Panaskan 4-5 sendok makan minyak di pan, masukkan bumbu halus dan daun jeruk purut, tumis hingga matang dan berubah warna lebih gelap. Jika minyak kurang tambahkan lagi agar bumbu benar-benar matang sempurna. Masukkan garam, kaldu jamur, gula pasir, aduk rata. Cicipi rasanya, sesuaikan taste-nya.
Masukkan suwiran ikan, kecilkan api, aduk ikan hingga tercampur merata dengan bumbu. Masak 1-2 menit dengan api kecil, angkat dan sajikan dengan nasi hangat. Mantap buah menu sahur nih!
Seru nya cerita mu mba,, menyenangkan memang bisa merasakan langsung nuansa budaya disana,,
BalasHapusThanks cerita dan resep nya mba,,
Semangat menulis kembali mba en,,