21 Februari 2025

Jalan-Jalan Ke Pelantar - Tanjung Pinang


Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Akte kelahiran saya mencantumkan tempat kelahiran adalah Tanjung Pinang, tapi sebenarnya saya lahir di Ngawi, di sebuah panti bersalin bernama Panti Bahagia. Karena kakak dan adik saya, semua dilahirkan di Tanjung Pinang, alm. Bapak waktu itu membuat akte kelahiran sekaligus kami semua bertiga di Tanjung Pinang. Jadilah itu sebagai kota kelahiran saya. Sejarah keluarga saya, tinggal dan pergi dari Tanjung Pinang mengikuti Bapak berdinas di TNI AU memang membingungkan. Jadi Ibu saya sebenarnya adalah penduduk asli Tanjung Pinang, bertemu dengan Bapak yang asli dari Paron, Ngawi. Kakak saya, sebagai anak pertama, dilahirkan di Tanjung Pinang. Kemudian anak kedua (kakak saya meninggal ketika masih bayi) dan saya (anak ketiga), dilahirkan di Paron. Adik saya, Wiwin, anak keempat, dilahirkan di Tanjung Pinang. Jadi memang kami dan Tanjung Pinang seakan tak terpisahkan tapi akhirnya terpisah juga ketika semua dewasa. 

Ketika masih usia di bawah satu tahun, keluarga saya pindah ke Tanjung Pinang. Saat itu kakak kedua saya sudah meninggal karena sakit, jadi hanya Ibu, Bapak, kakak saya, Mbak Wulan, dan saya yang berangkat ke sana. Sejak itu hingga usia sekitar 8 tahun saya tinggal di Tanjung Pinang. Saya mengalami  masa TK dan sebagian masa SD di kota ini, dan pengalaman saya waktu itu hanya samar-samar belaka. Memori saya masih mengingat banyak kenakalan dan keberandalan yang dilakukan waktu itu dan memang tobat berandalnya saya waktu itu. Seingat saya gak ada hal baik yang pernah dilakukan yang membuat orang tua saya bangga atau happy dengan anaknya.

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Sebagai anak ketiga, saya pemberontak sejak kecil. Kerjaan saya sehari-hari sepulang sekolah adalah bermain. Rumah kami di Tanjung Unggat waktu itu, masih banyak rawa dan hutan di belakang rumah, jadi banyak hal yang bisa dieksplore hingga kemana-mana. Jarak jelajah saya, lumayan jauh, hingga menemukan perkampungan Bugis yang dikelilingi oleh kebun jeruk. Mencuri jeruk, sering saya lakukan. Jeruk keprok yang belum matang dan ukurannya masih kecil, saya jarah bersama teman-teman seumuran hingga akhirnya ketahuan si pemilik kebun. Kami lari pontang-panting, tunggang langgang dengan segala macam gaya agar selamat dari si pemilik yang marah dan mengejar kami sambil mengacung-acungkan parangnya. Itu pengalaman super horor dan masih teringat hingga kini. Saat itu, saya berpikir jika sampai tertangkap, si bapak petani akan mencincang kami kecil-kecil dan melemparkan ke laut. Tanjung Pinang yang saya ingat ya hanya sebatas itu. Tanjung Unggat adalah tempat dimana rumah terakhir yang kami tempati, sementara di Tanjung Uban adalah rumah pertama yang terekam dalam memori. Keduanya memiliki kesan tersendiri, tetapi pengalaman saya bergerilya hutan dan laut lebih banyak di Tanjung Unggat. 

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Ketika libur panjang Idul Adha tahun lalu, saya mengunjungi Ibu yang saat ini ikut bersama kakak saya di Batam. Mengisi hari liburan, Ibu saya mengajak saya dan Dimas, adik bungsu saya yang sekarang juga tinggal di Batam untuk jalan-jalan di Tanjung Pinang. Batam - Tanjung Pinang mudah dijangkau dengan ferry yang setiap tiga puluh menit ready berangkat, jadi memang tidak perlu menunggu lama. Kakak saya, Mbak Wulan, karena kesibukan kerja, tidak turut serta. Tujuan utama saya dan Ibu adalah Pasar Pelantar yang memang surganya makanan enak, terutama seafood. Ibu saya punya langganan tukang ikan bakar di dekat kios ikan di Pasar Pelantar, kami cukup membayar jasa bakar, nasi, dan sambal, sementara ikannya dibeli di pasar. Kami berangkat pagi hari agar tiba di pasar Pelantar lebih dini dan ikan-ikan tangkapan hari itu masih segar. Ferry Oceanna dari Batam ke Tanjung Pinang tidak terlalu penuh, masih banyak kursi kosong, perjalanan sekitar satu jam yang lumayan nyaman karena kondisi Ferry yang ber-AC dengan kursi berjok empuk dan TV yang selalu on menampilkan sinetron Indonesia tak bermutu. Sungguh, saya lebih baik menonton film Warkop jadul dari pada harus mendengarkan percakapan sinetron yang  memuakkan.

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Kami tiba di Pelabuhan Sri Bintan Pura sekitar pukul delapan pagi, dan pemandangan yang pertama kali terlihat adalah Gedung Gonggong, sesuai namanya gedung yang menjulang tinggi dan berwarna kuning gonjreng ini memang berbentuk seperti siput gonggong, seafood yang menjadi kuliner khas Tanjung Pinang. Saya tidak singgah di Gedung Gonggong, karena tujuan kami adalah secepatnya tiba di Pasar Pelantar dan makan! Pasar Pelantar tidak terlalu jauh jaraknya dari Pelabuhan Sri Bintan dan ada banyak angkutan umum maupun ojek berjajar di depan pelabuhan mencari penumpang, tapi kami memilih berjalan kaki saja. Menurut Ibu, menuju perjalanan ke Pasar Pelantar ada warung penjual mi lendir yang lumayan enak rasanya. Mi lendir termasuk kuliner icon di sini dan wajib dicicipi jika ke Tanjung Pinang, walau warung yang akan kami tuju ini tidak seenak penjual mi lendir langganan Ibu yang jaraknya agak jauh, saya tidak patah semangat. Saya suka mi lendir, di di pasar di Batam ada penjual mi lendir, jaraknya tidak jauh dari rumah kakak saya, dan rasanya enak. Tapi saya tetap penasaran dengan mi lendir di Tanjung Pinang. 

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Tanjung Pinang adalah Ibukota Propinsi Kepulauan Riau dan merupakan kota terbesar kedua setelah Batam. Berbeda dengan Batam yang memiliki ciri khas kota metropolitan seperti Jakarta, maka Tajung Pinang tetap menjaga heritage atau kultur budayanya, karena itu disebut sebagai Kota Heritage. Berbeda juga dengan Batam yang ramai dengan restoran, atau tempat makan dengan irama dan riak bisnis yang cepat, maka Tanjung Pinang terlihat lengang, sepi, dan tenang. Keramaian di sini hanyalah lalu lalang angkutan umum yang mungkin karena masih di kawasan pelabuhan dan pasar, jumlahnya sangat banyak. Tapi di Tanjung Pinang justru saya merasakan ketentraman dan ketenangan, nuansa-nuansa khas Melayu Pecinan yang menjadi aspek yang ditonjolkan di Tanjung Pinang justru membuat kita serasa berjalan di kota tua seperti di Glodok atau Mangga Dua, hanya minus keramaiannya saja. Saya rasa, menghabiskan masa tua di Tanjung Pinang akan jauh lebih tenang dibandingkan di Batam. Satu hal lainnya yang menurut saya, masyarakat Tanjung Pinang kudu bangga adalah betapa bersihnya kota ini. Saya tidak melihat tumpukan sampah, atau plastik, kertas pembungkus bertebaran. Semua tertata rapi dan bersih. Hebat!

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang
Mie Lendir

Kami tiba di warung mi lendir bernama Anekaria, kiosnya tidak terlalu besar, beberapa orang tampak sedang bersantap di sana. Dua orang penjual sibuk di depan meja jualan merebus mi. Mi lendir adalah santapan yang terbuat dari mi dan tauge yang direbus dan disiram dengan kuah kacang kental yang terasa manis asin gurih. Mi ditabur dengan irisan daun kucai dan diberi sebutir telur. Kuah kacang mi lendir tidak terlalu dominan kacang tanah selayaknya gado-gado, dan dikentalkan dengan tepung tapioka. Saya suka dengan makanan ini, karena porsinya tidak terlalu besar dan kuah kacangnya tidak terasa berat di lidah. Rasa mi lendir di sini cukup enak, hanya memang tidak selezat mi lendir di Batam, dan Ibu saya setuju dengan pendapat ini. Menurut beliau, ada satu warung mi lendir lainnya di Tanjung Pinang yang lebih terkenal tetapi jaraknya lumayan jauh dari pasar Pelantar, sementara kami harus segera tiba di pasar mengejar ikan yang masih segar. Sesungguhnya, saya masih sanggup menelan porsi mi kedua, tapi teringat dengan rencana hendak berpesta ikan bakar, maka porsi kedua itu hanya dalam khayalan saja. 

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Kami melanjutkan perjalanan santai menuju ke pasar Pelantar, dulu, dulu sekali ketika saya masih kecil dan tinggal di kota ini, saya sering mengunjungi Pelantar. Dalam bayangan saya, pasar ini kumuh dan jorok, becek dan sangat tidak beraturan. Tapi kini, pasar Pelantar sesungguhnya mirip-mirip dengan Pasar Glodok di Jakarta. Jalanan beraspal dengan sisi kiri dan kanan penuh dengan toko-toko menjual aneka macam kebutuhan rumah tangga, yang terutama adalah hasil laut. Ikan teri, cumi-cumi kering, ebi, dan segala macam hasil laut kering mudah ditemukan di sini. Buah-buahan segar dan sayuran segar yang membuat saya ngiler habis juga melimpah ruah, terutama nanas. Buah ini berukuran sangat besar, ranum dan pastinya manis rasanya. Sayang bobotnya berat, tak sanggup rasanya jika harus berjalan sepanjang pasar menenteng nanas berkilo-kilo. 

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang
Kembang Tahu

Kami singgah di sebuah kios penjual air tahu yang sudah berdagang di situ sejak berpuluh-puluh tahun nan lampau, sejak Ibu saya masih muda dan tinggal di Tanjung Pinang. Tentu saja kini yang menjual sudah berganti generasi. Air tahu atau kalau di Jakarta disebut dengan kembang tahu atau bubur tahu, sebenarnya adalah susu kedelai biasa, hanya disini rasanya sungguh lekker karena asli tanpa campuran dan kental. Susu bisa disajikan panas atau dingin tergantung selera bersama tambahan gula jawa. Sungguh sedap rasanya! Kembang tahunya terasa lembut, silky dan lumer di mulut kala dikudap. Saya bahkan membeli beberapa bungkus untuk disantap di Batam. Pagi itu perut ini telah diisi dengan sepiring mi lendir, 2 gelas air tahu dan semangkuk kembang tahu, belum terlalu penuh, dan kami akan menyantap ikan bakar tepat saat jam makan siang tiba.

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Perjalanan menuju kios ikan segar di Pasar Pelantar dilanjutkan, Ibu saya karena sudah lama sekali tidak berkunjung ke pasar ini agak lupa-lupa ingat, dan kami tersasar beberapa kali hingga akhirnya menemukan pasar ikan tujuan. Jika di Jakarta ada yang seperti ini, saya bisa kalap dan memborong banyak ikan. Bayangkan saja, jajaran ikan segar hasil tangkapan tadi malam bergeletakan di atas meja los penjual ikan, jenisnya bermacam-macam dan jarang saya temukan di Jakarta. Saya tidak begitu mengerti dengan nama-nama ikan yang begitu asing ini, tapi tongkol, kakap, tamban dan selar adalah ikan yang umum dijual. Di sini lah saya belajar membedakan ikan tongkol hitam dan putih, dan walau sudah dijelaskan Ibu saya berkali-kali, saya tetap tidak bisa membedakannya. Kami membeli banyak tongkol hitam ukuran besar, sebagian akan di bakar sebagai makan siang dan sebagian lagi akan saya bawa ke Jakarta. Saya berpikir, Chichi, kucing jantan yang super picky itu pasti akan suka. Harga ikan-ikan disini sangat murah, tongkol hitam besar sekilo hanya 20 ribu rupiah saja, dan 1 ekor ikan sekitar dua setengah kilo. Hanya ikan kakap dan ikan belang kuning yang saya pilih yang agak mahal harganya, di atas lima puluh ribu rupiah, tapi Bapak penjual ikan meyakinkan saya jika ikan tersebut  lezat rasanya. 

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Setelah semua ikan dibeli dan dibersihkan, kami berjalan ke warung makanan yang letaknya tidak jauh dari los ikan. Di sini Ibu saya memiliki langganan warung yang menyediakan jasa membakar ikan dengan racikan bumbu yang simple tapi lezat. Selain jasa membakar, si Bapak pemilik warung akan menyajikannya bersama nasi, sambal dan kuah kaldu yang lezat. Semua ikan yang kami beli lantas dibakar karena sebagian akan dibawa kembali ke Batam dalam kondisi matang. Ikan tongkol hitam yang montok dan penuh daging ini memang terasa super gurih dan lezat, dan ikan ini menjadi pilihan Dimas, adik saya. Saya memilih jenis kakap dan ikan dengan warna kuning belang kehijauan yang cantik, sementara Ibu saya menyukai ikan kuwe. Ketika semua disajikan di meja, kami ber-oh dan ah sendiri, karena meja menjadi penuh sesak dengan makanan, bahkan hendak meletakkan botol air mineral saja susah. Semua ikan segar ini terasa super sedap, disantap di tengah air yang panas tapi sejuk dikipasi oleh angin laut semilir. Sungguh, jika ke Batam lagi, saya akan mengajak Ibu ke Pasar Pelantar dan menyantap ikan bakar lagi, karena super sedap. Apalagi semua seafood segambreng yang kami makan (hingga megap-megap kekenyangan), plus ongkos membakar ikan sangat murah sekali. Benar-benar tidak rugi melewatkan waktu di sini.

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang
Otak-otak ikan

Keluar dari warung makan kami meluncur ke Pasar Pelantar mencari pedagang otak-otak, ini juga menjadi kuliner wajib jika berkunjung ke Tanjung Pinang. Di Batam tentu saja banyak pedagang otak-otak ikan atau sotong, tapi Tanjung Pinang adalah asal makanan ini berada, jadi wajib dibeli. Berbeda dengan otak-otak di Jakarta dan Makasar, otak-otak ikan khas Tanjung Pinang memiliki rasa pedas, bewarna kuning atau kadang kemerahan, teksturnya tidak kenyal tetapi dibuat dari full ikan, sehingga rasanya super gurih. Karena dibesarkan sejak kecil dengan otak-otak ini, saya lebih suka versi ini dibandingkan dengan otak-otak di Jakarta. Sayangnya, otak-otak kali ini tak seenak yang ada di dalam bayangan saya, adonan ikannya dicampur dengan tepung sehingga teksturnya agak kenyal dan rasanya pun kurang gurih. Sebenarnya kami mendapatkan rekomendasi penjual otak-otak yang lezat, hanya sayangnya jaraknya agak jauh dari Pasar Pelantar, jadi kami batalkan berkunjung ke sana. Pukul 2 siang kami meluncur ke Pelabuhan Sri Bintan Pura, kali ini karena hari sudah siang dan perut yang kekenyangan kami naik angkutan umum ke sana. Tanjung Pinang yang sepi membuat angkutan umum ini banyak yang kosong dan hanya mengantarkan kami bertiga ke Pelabuhan. Saya berikan ongkos lebih ke abang sopir, karena kasihan juga melihat mobil yang kosong melompong seperti ini.

Jalan-Jalan ke Tanjung Pinang

Kembali ke Batam, naik ferry Oceanna kembali, kali ini kami salah strategi, tidak menunggu ferry berikutnya tapi langsung naik ferry yang sudah menunggu di dermaga, padahal setiap 30 menit selalu ada ferry baru melabuh. Alhasil ferry sudah penuh sesak penumpang, hanya Ibu saya yang mendapatkan tempat duduk di dalam kapal, sementara saya dan Dimas terlempar ke kursi di buritan, tempat mereka yang hendak merokok. Saya duduk bersama mas-mas, bapak-bapak, dan ada beberapa wanita di sana, angin kencang menerpa dan ombak tampak jelas dari kursi yang diduduki. Walau bete, tapi pengalaman duduk di buritan kapal ini seru juga, dari situ saya bisa melihat dengan leluasa birunya air laut, jajaran pulau-pulau kecil di seputar Kepulauan Riau dan kapal-kapal yang bersliweran. Menarik, tapi cukup sekali ini saja.

Kami tiba di Batam sekitar pukul empat sore, hari masih terang dan udara Batam yang baru saja diguyur hujan terasa segar. Pengalaman di Tanjung Pinang seharian itu terus terang akan segera berlalu dari memori saya, tapi satu yang tak akan dilupakan, rasa ikan bakar yang nendang. Ah, Tanjung Pinang, kapan kah daku akan kembali lagi kesana? 




0 komentar:

Posting Komentar

PEDOMAN BERKOMENTAR DI JTT:

Halo, terima kasih telah berkunjung di Just Try and Taste. Saya sangat menghargai feedback yang anda berikan, terutama mengenai eksperimen dalam mencoba resep-resep yang saya tampilkan.

Komentar yang anda tuliskan tidak secara otomatis ditampilkan karena harus menunggu persetujuan saya. Jadi jika komentar anda belum muncul tidak perlu menulis komentar baru yang sama sehingga akhirnya double/triple masuknya ke blog.

Saya akan menghapus komentar yang mengandung iklan, promosi jasa dan penjualan produk serta link hidup ke blog anda atau blog/website lain yang anda rekomendasikan yang menurut saya tidak relevan dengan isi artikel. Saya juga akan menghapus komentar yang menggunakan ID promosi.

Untuk menghindari komentar/pertanyaan yang sama atau hal yang sebenarnya sudah tercantum di artikel maka dimohon agar membaca artikel dengan seksama, tuntas dan secara keseluruhan, bukan hanya sepotong berisi resep dan bahan saja. Ada banyak info dan tips yang saya bagikan di paragraph pembuka dan jawaban di komentar-komentar sebelumnya.

Satu hal lagi, berikan tanda tanya cukup 1 (satu) saja diakhir pertanyaan, tidak perlu hingga dua atau puluhan tanda tanya, saya cukup mengerti dengan pertanyaan yang diajukan.

Untuk mendapatkan update rutin setiap kali saya memposting artikel baru anda bisa mendaftarkan email anda di Dapatkan Update Via Email. Atau kunjungi Facebook fan page Just Try and Taste; Twitter @justtryandtaste dan Instagram @justtryandtaste.

Semoga anda menikmati berselancar resep di Just Try & Taste. ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...